Saturday, March 8, 2014

tiket


“Mau atau nggak?”

Pertanyaan dengan nada setengah mendesak itu menusuk gendang telinga Irina. Jantungnya berdegup keras. Ia menelan ludah. Ia tahu jawabannya akan membawa perubahan besar—bahkan mungkin mengubah seluruh hidupnya.

Irina tidak pernah benar-benar punya pilihan. Segala sesuatu dalam hidupnya seakan sudah diplot. Masuk jurusan bisnis selepas SMA, melanjutkan studi S2 di UK setelah lulus, mengambil alih perusahaan multi nasional ayahnya di usianya yang ke-26, menikah dengan anak dari salah satu rekan bisnis ayahnya, lalu punya anak sambil mengurus perusahaan.

Dan sekarang—tepat di depan matanya, tergeletak secarik kertas HVS berukuran A4 dengan tulisan besar-besar di atasnya.


University of Rochester
Eastman School of Music
***

Tiketnya untuk hengkang dari cetak biru yang telah disusun ayahnya sejak dulu. Irina menggigit bagian bawah bibirnya. Tangannya kini bergetar kecil di sisi tubuhnya.

“Ini gara-gara gue main api ya, Vik?” Irina melirik Viko, sahabatnya yang sejak tadi menunggu. Ia nggak pernah menyangka tindakan iseng-isengnya mendaftar scholarship di salah satu universitas ternama di New York itu akan membuahkan hasil.

Viko menggeleng kecil. “Ini gara-gara lo ngikutin kata hati lo.”

Mata Irina bergerak ke bawah, menyusuri deretan huruf yang lebih kecil. String faculty—Strings, harp, and guitar department. “Harpa,” bisik Irina, mendadak ia dapat membayangkan dirinya memetik alat musik kesayangannya itu di salah satu panggung di Rochester.

“Tunggu apalagi, sih?” Viko mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. “Bukannya selama ini harpa yang jadi teman lo? Bukannya selalu harpa yang jadi mimpi lo?”

Irina masih mematung. Seumur hidupnya ia tahu bahwa harpa adalah keinginan terbesarnya—cita-citanya. Tapi ia juga tahu posisinya. Di mana ia berada—di bawah atap keluarga Samara, pemilik salah satu perusahaan multi nasional terbesar di Indonesia. Seluruh langkah hidupnya diatur dan diawasi oleh keluarga besar. Dan banting setir dari bisnis ke musik—yang menurut sebagian besar keluarganya nggak punya masa depan, adalah pilihan nekat.

“Ini hidup lo, Ri. Bukan hidup bokap lo. Bukan hidup keluarga besar lo. Coba bayangin, kalau suatu hari nanti elo berdiri di atas kantor perusahaan bokap lo dengan segala kemewahan dan kesuksesanny, dan elo ngeliat hidup lo, elo yakin nggak akan menyesal nggak ngambil pilihan ini? Elo yakin akan bahagia dengan proyek dan tender bermilyar-milyar dan bukannya duduk di atas panggung sambil memetik harpa kesayangan lo itu? Elo pilih yang mana, Ri?”

Yang kedua. Tentu saja yang kedua. Irina bergidik ngeri membayangkan dirinya terperangkap di balik meja dalam kantor Ayahnya. Ia ingin musiknya—harpanya. Ia ingin mimpinya. Dan kalau pada akhirnya ia gagal, ia tahu ia nggak akan menyesal karena pernah mencoba. “Tapi—“ Irina membayangkan akan seperti apa reaksi ayahnya.

Viko tersenyum, seakan tahu apa yang ada di dalam kepala sahabatnya. “Kalau itu memang mimpi lo, maka mimpi itu patut diperjuangkan kan?”

No comments:

Post a Comment