“Mau
atau nggak?”
Pertanyaan dengan nada setengah mendesak itu menusuk gendang
telinga Irina. Jantungnya berdegup keras. Ia menelan ludah. Ia tahu jawabannya
akan membawa perubahan besar—bahkan mungkin mengubah seluruh hidupnya.
Irina
tidak pernah benar-benar punya pilihan. Segala sesuatu dalam hidupnya seakan
sudah diplot. Masuk jurusan bisnis selepas SMA, melanjutkan studi S2 di UK
setelah lulus, mengambil alih perusahaan multi nasional ayahnya di usianya yang
ke-26, menikah dengan anak dari salah satu rekan bisnis ayahnya, lalu punya
anak sambil mengurus perusahaan.
Dan
sekarang—tepat di depan matanya, tergeletak secarik kertas HVS berukuran A4
dengan tulisan besar-besar di atasnya.
University of Rochester
Eastman School of Music
***
Tiketnya
untuk hengkang dari cetak biru yang telah disusun ayahnya sejak dulu. Irina
menggigit bagian bawah bibirnya. Tangannya kini bergetar kecil di sisi
tubuhnya.
“Ini
gara-gara gue main api ya, Vik?” Irina melirik Viko, sahabatnya yang sejak tadi
menunggu. Ia nggak pernah menyangka tindakan iseng-isengnya mendaftar scholarship di salah satu universitas
ternama di New York itu akan membuahkan hasil.
Viko
menggeleng kecil. “Ini gara-gara lo ngikutin kata hati lo.”
Mata
Irina bergerak ke bawah, menyusuri deretan huruf yang lebih kecil. String faculty—Strings, harp, and guitar
department. “Harpa,” bisik Irina, mendadak ia dapat membayangkan dirinya
memetik alat musik kesayangannya itu di salah satu panggung di Rochester.
“Tunggu
apalagi, sih?” Viko mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. “Bukannya selama ini
harpa yang jadi teman lo? Bukannya selalu harpa yang jadi mimpi lo?”
Irina
masih mematung. Seumur hidupnya ia tahu bahwa harpa adalah keinginan
terbesarnya—cita-citanya. Tapi ia juga tahu posisinya. Di mana ia berada—di
bawah atap keluarga Samara, pemilik salah satu perusahaan multi nasional
terbesar di Indonesia. Seluruh langkah hidupnya diatur dan diawasi oleh
keluarga besar. Dan banting setir dari bisnis ke musik—yang menurut sebagian
besar keluarganya nggak punya masa depan, adalah pilihan nekat.
“Ini
hidup lo, Ri. Bukan hidup bokap lo. Bukan hidup keluarga besar lo. Coba
bayangin, kalau suatu hari nanti elo berdiri di atas kantor perusahaan bokap lo
dengan segala kemewahan dan kesuksesanny, dan elo ngeliat hidup lo, elo yakin
nggak akan menyesal nggak ngambil pilihan ini? Elo yakin akan bahagia dengan
proyek dan tender bermilyar-milyar dan bukannya duduk di atas panggung sambil
memetik harpa kesayangan lo itu? Elo pilih yang mana, Ri?”
Yang kedua. Tentu saja yang kedua. Irina
bergidik ngeri membayangkan dirinya terperangkap di balik meja dalam kantor
Ayahnya. Ia ingin musiknya—harpanya. Ia ingin mimpinya. Dan kalau pada akhirnya
ia gagal, ia tahu ia nggak akan menyesal karena pernah mencoba. “Tapi—“ Irina
membayangkan akan seperti apa reaksi ayahnya.
Viko
tersenyum, seakan tahu apa yang ada di dalam kepala sahabatnya. “Kalau itu
memang mimpi lo, maka mimpi itu patut diperjuangkan kan?”