Monday, February 10, 2014

after the rain


Aku menatap ayunan yang bergerak lambat-lambat. Gerakan kecil pada papan kayunya menggetarkan  sudut kecil dalam memoriku. Aku berjingkat menghampirinya, menghindari beberapa genangan yang tercipta sehabis hujan.

Udara sejuk sore itu membuat rambut-rambut halusku meremang. Aku menyentuh rantai besi yang menjadi penyanggah di kanan kiri ayunan. Basah dan dingin. Titik-titik air yang menyentuh ujung jariku mencairkan momen yang membeku di dalam hatiku.

Aku menginjakkan kedua kakiku pada papan kayu merah yang telah pudar dimakan waktu. Dulu, warnanya pasti tidak sekusam ini saat kamu masih di sini. Aku tersenyum getir. Membayangkanmu ikut berayun di sebelahku. Berlomba siapa yang berhasil melambung lebih tinggi.

Aku memejamkan mata, menghirup udara sore yang terasa lembab di kulit. Dalam gelap telingaku masih merekam suaramu. Kamu yang tertawa renyah menantang angin. Kamu yang berteriak bebas menyerukan namaku di bawah langit senja.

Jingga yang sejak tadi mendominasi langit mulai kehilangan warnanya. Aku menghentikan ayunanku, seiring dengan gerak daun yang mendadak hening. Waktu seakan enggan bergerak. Aku membasahi kerongkonganku. Menahan butir-butir air mata yang mendesak sejak tadi.

Kalau hujan akhirnya berhenti dan meninggalkan pemandangan seindah ini, mungkin kepergianmu seharusnya juga menyisakan sedikit kebahagiaan, kan? Lalu, kalau ada belahan dunia di sebelah sana yang gantian menikmati cahaya mentari, seharusnya kamu juga bahagia di sana, kan? Bersamanya.

Aku melangkah turun dari ayunan. Kamu tahu? Aku sudah lelah berlari. Mengejarmu. Membiarkan diriku kehabisan napas sementara kamu tidak pernah menoleh. Jadi, kurasa ini saatnya untuk berhenti dan mengatur napas sejenak. Aku harap suatu saat nanti kita bisa bertemu. Berjalan beriringan. Dan tertawa bersama lagi.

1 comment: