Aku
menatap ayunan yang bergerak lambat-lambat. Gerakan kecil pada papan kayunya
menggetarkan sudut kecil dalam memoriku.
Aku berjingkat menghampirinya, menghindari beberapa genangan yang
tercipta sehabis hujan.
Udara
sejuk sore itu membuat rambut-rambut halusku meremang. Aku menyentuh rantai
besi yang menjadi penyanggah di kanan kiri ayunan. Basah dan dingin.
Titik-titik air yang menyentuh ujung jariku mencairkan momen yang membeku di
dalam hatiku.
Aku
menginjakkan kedua kakiku pada papan kayu merah yang telah pudar dimakan waktu.
Dulu, warnanya pasti tidak sekusam ini saat kamu masih di sini. Aku tersenyum
getir. Membayangkanmu ikut berayun di sebelahku. Berlomba siapa yang berhasil
melambung lebih tinggi.
Aku
memejamkan mata, menghirup udara sore yang terasa lembab di kulit. Dalam gelap
telingaku masih merekam suaramu. Kamu yang tertawa renyah menantang angin. Kamu
yang berteriak bebas menyerukan namaku di bawah langit senja.
Jingga
yang sejak tadi mendominasi langit mulai kehilangan warnanya. Aku menghentikan
ayunanku, seiring dengan gerak daun yang mendadak hening. Waktu seakan enggan
bergerak. Aku membasahi kerongkonganku. Menahan butir-butir air mata yang
mendesak sejak tadi.
Kalau
hujan akhirnya berhenti dan meninggalkan pemandangan seindah ini, mungkin
kepergianmu seharusnya juga menyisakan sedikit kebahagiaan, kan? Lalu, kalau
ada belahan dunia di sebelah sana yang gantian menikmati cahaya mentari,
seharusnya kamu juga bahagia di sana, kan? Bersamanya.
Aku
melangkah turun dari ayunan. Kamu tahu? Aku sudah lelah berlari. Mengejarmu. Membiarkan
diriku kehabisan napas sementara kamu tidak pernah menoleh. Jadi, kurasa ini
saatnya untuk berhenti dan mengatur napas sejenak. Aku harap suatu saat nanti
kita bisa bertemu. Berjalan beriringan. Dan tertawa bersama lagi.
likeee itttt
ReplyDelete