Hari
ini, sembilan tahun yang lalu, masih segar dalam ingatanku segalanya tentang
kita. Aku masih dapat mencium aroma laut dan dan mengecap asinnya udara hari
itu. Aku masih dapat mendengar deburan ombak yang sesekali menyapu bersih apa
pun yang terdapat di pinggir pantai. Aku masih merekam hangatnya mentari siang
itu, birunya langit, putihnya pasir, aku masih memutar-mutar memori tentang
kita.
“Nggak
terasa ya, sebentar lagi kita kuliah,” kamu duduk di sebelahku, ikut memandang
garis datar yang memisahkan laut dengan cakrawala.
“Kuliah,
dapet kerja, nikah, punya anak…” aku melanjutkan, sambil memejamkan mata,
menikmati hembusan angin yang terasa lengket di kulit.
Kamu
ikut tersenyum,”It’s just like a blink of
an eye, you know? Our life…”
Aku
menggeleng,”Like a speed of light.
Gue bahkan nggak tahu untuk apa semua ini. Masuk Otago; taking med school; being a
physician, a great surgeon, lalu apa? Cari duit? Jadi istri orang? Jadi
ibu? Then what? Apa yang sebenarnya
sedang gue kejar? What is my main
purpose? My ultimate one?”
Kamu
hanya diam mendengar ocehanku, aku tahu kamu juga memikirkannya. Lalu aku
menatap Higa dan Mei yang tengah bermain di laut. Kita semua memikirkannya,
sekalipun beberapa menutupinya dengan keceriaan liburan kelulusan sekolah.
“Kalau
lo apa? Apa tujuan hidup lo?” Aku memiringkan kepala, menikmati wajahmu yang
nampak berpikir keras.
Kamu
menatap langit sambil membiarkan kedua sikumu bertumpu pada pasir. “Entahlah.
Mungkin kuliah, cari kerja, jadi kaya, dan hidup bahagia selamanya sama orang
yang gue cintai”.
Jantungku
berdegup cepat saat mendengar bagian akhir kalimatmu.
“Reiii!”
Teriakan Mei dari jauh dengan cepat mengembalikanku pada kenyataan pahit. Kamu
melambai kepadanya. Sorot teduh itu… tidak bisakah kalau kamu menujukannya
untukku?
“Happily ever after itu cuma ada di dongeng
tahu?” aku menanggapi.
Tawamu
berderai,”Iya, tapi hidup bahagia nggak. It
simply takes your loved ones to be happy, to hang on in the worst of your life”.
“Kayak
Mei maksud lo?” Aku memberanikan diri bertanya.
“Semoga,”
lagi-lagi kamu menatapnya dengan penuh kelembutan. “Gue mau bilang nanti
malem”.
Aku
merasakan sekujur tubuhku kaku. “Oh ya?” Aku memaksakan diri untuk terdengar
tenang, memberikan dukungan selayaknya seorang sahabat,”Wah, good luck ya! Jangan lupa traktirannya
kalau ja—”
“Keeey!”
Mei menarik tanganku,”Main air yuk! Nggak bosen apa duduk di sini terus? Can’t you hear the ocean’s calling?”
Aku
tersenyum datar sambil menggeleng,”Nggak ah, nanti aja gue nyusul. Rei, elo aja
gih, main sana!”
“Ayo,
Rei!” Mei mengedikkan kepalanya, sebelum akhirnya kembali ke laut. Kamu
menyusulnya tanpa berpikir dua kali.
“Yakin
nggak mau?” kamu menoleh ke belakang.
Aku
menggeleng.
“Elo
patah hati,” sebuah suara mengejutkanku. Kini gantian Higa yang duduk di
sebelahku.
Aku
menunduk mengamati pasir yang mengotori kakiku,”Rei mau bilang malem ini”.
“Gue
tahu,” Higa berkata enteng, kecut,”Gue juga sakit hati tau?”
Aku
menatapnya, lalu ingat kalau Mei adalah cinta pertamanya sampai hari ini.
“Pernah
nggak elo terpikir buat bilang yang sebenarnya ama Rei?”
“Bilang
apa?” alisku bertaut.
“Ya,
bilang kalau elo suka dia. Siapa tahu dengan begitu dia nggak jadi nembak Mei”.
“Kayak
elo, yang udah nyatain perasaan ke Mei dan ditolak?” tanyaku.
“Seenggaknya,
gue udah lega”.
“Mei
itu sahabat gue. Rei juga. Elo juga. We’re
just like family, dan gue memilih mempertahankan yang udah ada. I’m leaving shortly anyway,” Aku
tersenyum getir, menutup pembicaraan, lalu mengajak Higa menyusul yang lain sebelum matahari semakin tinggi.
“Key?”
Sebuah suara lemah mengembalikanku pada kenyataan.
“Rei,
how do you feel?” Aku mendekat ke
tempat tidur, keadaan mu sudah lebih baik dari lima jam yang lalu, saat kamu
dan Mei di bawa ke UGD pasca kecelakaan lalu lintas.
“Mei?”
Aku
menggeleng,“Maaf”.
Aku
menunggu reaksimu. Tapi, kamu tetap tenang, seolah sudah mengetahui bahwa hal
ini akan terjadi.
“Rei…”
Aku menyentuh lenganmu.
“There is no happily ever after, Doc. You’re
right”.
“No. But you can still be happy as long as
you have someone who loves you”.
“Who?”
“Me”.
picturetakenfrom:pinterest.com |
is this just a crop from huge amount of writing with full conflict and plot and other stuff?
ReplyDeleteKalo iya.. Hei, it's worth to wait.. I love your writings sejak pertama berpapasan dengan blog ini..
Hei Nia, makasih ya sudah mau mampir dan baca, and thanks for your appreciation too, it means a lot :) No, this is just a scene popped-up in my head, hehe...
Deletesalam kenal ya
ReplyDeletejika berkenan follow balik ya..
makasih....
Eeeh~ DIputus di saat yang tepat >.< hahahah~ ciri khas kamu banget heheheh~ Suka deh karya yang satu ini, pemilihan katanya itu loh...sweet banget XD good job!
ReplyDelete