Sekolah
kedokteran membawa saya merasakan ‘sensasi’ tidur di banyak tempat. Mulai dari
di atas lantai dengan hanya beralaskan selembar sleeping bag atau matras tipis, di ranjang kost-an yang ketika ditiduri kayunya berderit dan spring bed-nya melesak ke dalam, di atas
sofa keras yang pernya menusuk tulang belakang, sampai tertidur di kursi dengan
posisi duduk.
Orangtua
saya bisa saja menyediakan ranjang yang empuk di kamar saya, memesan hotel
berbintang dengan ranjang yang nyaman selama berlibur, tapi lucunya, saya
merasa bahwa waktu tidur yang paling berharga justru bukan di tempat-tempat
paling nyaman tersebut. Bukan tempat tidur full
latex yang mengingatkan saya bahwa tidur adalah sebuah barang mewah,
melainkan kerja keras sepanjang hari tanpa jeda. Saya jarang sekali teringat
untuk bersyukur atas waktu tidur yang saya miliki ketika sedang libur di
rumah. Sebaliknya, waktu tidur satu hingga dua jam di rumah sakitlah yang
membuat saya bersyukur bahwa saya masih diberi kesempatan untuk beristirahat.
Jadi,
kalau dipikir-pikir ternyata bukan seberapa mahal, seberapa nyaman, seberapa
mewah tempatnya. Bukan seberapa banyak nilai materi yang melekat yang membuat
suatu hal jadi berharga. Seperti tidur yang sangat berharga walau hanya diatas
sehelai sleeping bag dan di atas
lantai yang berdebu, seperti satu jam waktu tidur di tengah lelahnya jaga
malam, banyak hal di dunia ini yang harganya tidak dapat dipatok berdasarkan angka,
rupiah, dan gengsi.
Bersyukurlah
:)