Tuesday, February 21, 2017

umbrella, anyone?

sometimes the greatest kind of love lies in the simplest kind of act.


I was standing under a shade in a parking lot across a hospital. It was raining, and I was cursing quietly because it started pouring before I could reach the hospital. I had an umbrella, but still, the idea of crossing the street in such a heavy rain ruined my mood. And oh, don’t forget the puddles and splish-splashes that caused by the passing cars.

“Anyone want to cross the street?” A voice of a woman interrupted my excessive thoughts.

I turned my head to look to who’s talking. A woman in her mid 40’s was standing with a bright blue umbrella. She smiled. Offering to share her umbrella once again.

I looked around; there were some people who were sharing the same shelter with me. Some of them didn’t bring their umbrella with them, but they shook their head politely. Some of them—maybe as stunned as I am, were just glaring at the woman.

“She is the CEO,” my friend who was standing beside me whispered.

“CEO?” I repeated.

“Anyone? I still have some space under my umbrella that we can share,” The woman asked for one more time until she’s sure that no one wanted to cross the street with her.

“CEO of the hospital,” she nodded towards the huge building that stands tall across the street.

“Really?” I stared at her back.

Wow.

It was somehow warmed your heart on that cold weather.

I looked at my own umbrella in my hand. How on earth that it never cross my mind to share my umbrella to a stranger who wants to cross a street. Such a simple kindness that can makes someone’s day.


But maybe it’s just a human thing; how we usually forget that sometimes the greatest kind of love lies in the simplest kind of act.

picturetakenfrom:pinterest.com

Thursday, February 16, 2017

selalu ada sepercik cahaya


Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. “Mungkin memang Kayla bolehnya jadi insinyur, Yah. Menolong orang kan nggak melulu harus jadi dokter,” mungkin tak dapat banyak membantu, tapi aku ingin Ayah tahu bahwa sekolah kedokteran bukanlah segalanya—walau memang menjadi mimpiku sejak kecil.

“Kalau saja kita masih seperti dulu, ya,” Ayah tersenyum getir. “Ayah bisa kasih kamu apa pun yang kamu mau”.

“Kalau memang bukan jalannya ya, mau sekaya apa pun juga nggak akan jadi, Yah,” aku mengambil sepotong pisang goreng buatan Ibu, berusaha membuat suasana jadi lebih santai. Pikiranku mau tak mau kembali ke masa lalu karena ayah mengungkitnya.

Dulu keluarga kami jauh lebih mapan dari sekarang. Dulu kami tinggal di sebuah perumahan elite dengan rumah tiga tingkat yang dijaga 24 jam oleh satpam. Dulu Ayah dan Ibu punya usaha yang seakan tidak pernah berhenti mencetak uang.

Dulu.

Tidak mudah memang ketika semua itu harus berakhir, ketika kami harus pindah ke pinggir kota dengan rumah yang sederhana. Tidak mudah ketika akhirnya aku harus pindah ke sekolah dengan harga yang lebih terjangkau. Tidak mudah belajar menyusuri jalanan ibu kota dengan angkot atau bus TransJakarta. Berganti kebiasaan dari yang tadinya bisa membeli baju kapan pun aku mau, menjadi harus cukup puas dengan satu tahun dua kali paling banyak.

Tidak mudah memang, tapi aku juga tidak ingin memarahi keadaan atau meratapi nasib. Aku sendiri terkejut dengan diriku. Aku pikir aku akan jatuh dalam keadaan depresi, tapi ternyata tidak. It’s hard—goddamn hard, but somehow bearable.

Mungkin karena kondisi kami yang baru membuatku melihat dan merasa banyak hal. Mungkin karena usaha Ayah yang bangkrut membuat kami lebih sering makan sekeluarga di rumah. Mungkin karena Ayah yang lebih sering ada di rumah sekarang membuat aku sadar bahwa ternyata aku punya ayah yang senang bercanda. Mungkin karena sekarang sumber bahagiaku bukan lagi dengan menghabiskan uang ketika jalan-jalan ke luar negeri, melainkan cukup dengan bercerita banyak dan tertawa banyak bersama ayah dan ibu di rumah.

Dulu aku memang bahagia. Namun sekarang, ketika aku bahagia, bahagianya justru terasa lebih bahagia,

Mungkin karena bahagiaku sekarang tak terukur dengan materi, melainkan dengan sesuatu yang lebih mahal harganya, seperti pelukan Ayah ketika aku hendak berangkat sekolah, atau masakan Ibu yang menanti di meja makan.

Sesederhana itu.


“Karena sebenarnya banyak hal yang tadinya kita pikir membahagiakan untuk dibeli dengan uang, ternyata tidak lebih berharga dari hal-hal kecil yang dapat kita peroleh dengan cuma-cuma”.

kalau sepercik cahaya bisa menerobos masuk lewat tirai yang tertutup, maka kamu pun bisa bahagia

Saturday, February 4, 2017

do you miss God as much as you miss your phone?

I believe that people nowadays rarely forget to bring her/his phone. Back then, when the first hand phone was introduced, it was common for someone to left her/his phone at home. They’re not used to bring their phone anywhere. But then, time flies, technology advances, people change, and here we are, standing on the earth where smartphones are human’s best friends.

It is like a pair of glasses for those who needed.
A second skin.
A comfort zone.
We lost ourselves when it is not around.

Sad, isn’t it?

Do you seek your God habitually, like you seek your phone?
Do you chat to God as eager as you chat your friends for the latest updates?
Do you tell God your story today as often as you update your Snapchat or Instastory?
Do you read bible—or scroll through your e-bible, as much as you scroll down your Instagram feed?
Do you love your God more than you ‘love’ your friends’ posts?
Do you still pray to God because you long for him, or do you do it out of routine, or even worse—does it take a lot of effort to do it?
Do you check in places a lot instead of check on God?
Do you?


Do you?

picturetakenfrom:picjumbo.com