“Ah
ini,” Alex menggenggam cincin yang menjadi bandul di lehernya. “Gue nggak
pernah sempat ngasih ini ke dia”.
“Kenapa?”
Anggia melirik Alex, laki-laki itu menatap senja dengan ekspresi yang tak dapat
Anggia artikan, seperti merindu akan seseorang yang teramat sangat, seperti
menantikan sesuatu yang tak kunjung datang. “Did she leave?”
“Sort of,” Alex menghela napas berat.
“Kemana?”
Anggia bertanya ragu. “Did she went somewhere
you can’t reach her?”.
Alex
menatap Anggia sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke langit. “Not really”.
“Did she…” Anggia menggantung kalimatnya
sebelum melanjutkan. “Did she left forever?”
Alex
tertawa kecil. “Apa maksud lo? Tentu aja nggak. Gue nggak akan di sini kalau
gitu”.
“Jadi?
Kenapa lo nggak ngasih cincin itu ke dia?” Anggia terdiam lalu menyadari
sesuatu. “Kalian putus?”
Alex
terbahak. “Gue nggak akan pakai cincin ini kalau gue putus”.
“Jadi
kenapa dong?”
Alex
tersenyum tipis. “Gue nggak akan pernah lupa malam itu. Satu-satunya malam saat
gue nge-book resto fancy khusus buat ngelamar Alya.
Setengah mati gue mempersiapkan kata-kata yang bagus buat ngelamar dia, dan
tiba-tiba aja di tengah makan malam dia memberi gue satu kabar yang rasanya
bikin seluruh dunia gue runtuh seketika. Dia diterima kerja di Houston. Alya
pernah bilang kemungkinan dia kecil banget diterima dan dia hampir ngelupain
lamaran dia ke Houston, but then the good
news came, dan shit, gimana
mungkin gue mencegah dia buat pergi. It’s
her dream job. Gue nggak mungkin bisa ngelupain bagaimana matanya
berbinar-binar saat cerita ke gue soal dia keterima kerja, dan gue juga nggak
bisa ngelupain bagaimana gue berusaha menjaga hati gue tetap utuh sementara
rencana gue hancur di depan mata gue".
“Lo
nggak jadi ngelamar Alya malam itu?”
Alex
menggeleng. “Elo nggak tahu seberapa berat gue menahan diri gue untuk nggak
berlutut di depan Alya malam itu, ngeluarin cincin yang udah gue siapin di
kantong celana gue, dan menanyakan pertanyaan yang—damn, sejak tiga tahun lalu ingin gue tanyakan ‘will you marry me?’, tapi ngeliat Alya
yang begitu bahagia malam itu, gue tahu gue harus ngebiarin dia ngejar mimpinya
dulu. Gue nggak bisa jadi egois dan membebani dia dengan pilihan yang sulit. So I made the choice for her, I’ll wait”.
Anggia
terdiam.
“Beberapa
teman yang tahu gue membatalkan lamaran gue bilang gue gila. Mereka bilang gue
bodoh karena melepas Alya, mereka bilang gue mungkin aja kehilangan Alya. Dia
mungkin banget ketemu laki-laki lain di luar sana yang lebih baik dari gue. Dan
ya, mungkin gue emang cowok paling bodoh di dunia.”
Anggia
menggeleng. “Nggak juga ah, I think it’s
romantic, because anyone can say ‘I love you’, but only a little can say ‘I’ll
wait for you’, jadi, ya, elo memilih pilihan yang tepat, Lex, nunggu Alya
pulang”.
picturetakenfrom:pinterest.com |
No comments:
Post a Comment