Sunday, October 4, 2015

tiga detik.

Love is a big story consists of thousands tiny precious moments.—Arlo

“Jatuh cinta lo?” Devan menoleh dan mendapati Arlo melirik ponselnya yang sejak tadi ia pegang.

Arlo tersenyum penuh arti saat bergabung dengan Devan di ruang tamu kost. “Siapa namanya?” Arlo melirik ponsel Devan lagi yang masih menampilkan gambar yang sama—potret seorang gadis berambut hitam sebahu yang diambil dari samping.

“Leona,” Devan menjawab, nama yang beberapa hari belakangan ini selalu memenuhi kepalanya hingga ia merasa butuh melakukan sesuatu agar tidak gila.

“Cantik, Bro,” Komentar Arlo sambil memindahkan saluran televisi yang sejak tadi tidak ditonton oleh adik kelasnya yang lebih muda tiga tahun darinya itu. “Udah seberapa deket lo?”

Devan menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. “Ng—”

Man.” Arlo menatap Devan lurus-lurus,”Jangan bilang kalian sama sekali belom deket?”

Devan hanya bisa nyengir sebagai jawaban. “Dia bahkan belom tahu nama gue, Bang”.

Oh, come on, make a move dong, Denovan Wiridja,” Arlo meninju bahu Devan ringan. “Mau sampai kapan elo bengong doang ngeliatin tuh foto? Puas lo pacaran sama iPhone?”

“Iya, tapi, Bang—” Devan lagi-lagi menggaruk tengkuknya, dalam hati menertawai dirinya yang begitu pengecut. Bagaimana mau kenalan, ia bahkan tidak berani menyapa Leona saat mereka berpapasan di koridor sekolah.

First move is always the hardest, Bro,” Arlo seakan mengetahui pikiran Devan. “Baby step is okay”.

“Elo kenal Lila, pacar gue, kan?” Lanjut Arlo.

Devan mengangguk, ia pernah mengobrol beberapa kali dengan gadis itu saat Arlo membawanya ke sini.

“Tiga detik,” Arlo mengacungkan ketiga jarinya di udara. “Itu adalah lamanya waktu Lila melirik gue pertama kali. Cuma tiga detik, Bro. Tapi itu adalah tiga detik paling gila yang bisa menjungkir balikkan hati gue. Jantung gue rasanya mau copot. Gue nggak pernah tau kalau jantung gue bisa berdetak secepat dan sekencang itu cuma gara-gara satu cewek. Lila dengan rambut panjangnya yang selalu dikuncir kuda, matanya yang besar, bibirnya yang sedang tersenyum. Bibirnya. Damn, it was the best three seconds in my entire life”. Arlo tersenyum sendiri mengenang hari itu. “Cuma dilirik doang, Bro. Cuma tiga detik. Tapi kalau itu adalah cewek yang lo suka, man, senengnya ngalahin rasa seneng kalau klub bola favorit lo menang piala tujuh tahun berturut-turut”.

Devan tertawa mendengar cerita Arlo.


“Sejak hari itu gue jadi makin semangat ngejar Lila. Gue selalu berusaha menarik perhatian Lila, entah itu ngobrol kencang-kencang sama temen gue, main gitar di kelas, atau bikin keributan kecil. Semua karena gue ingin merasakan tiga detik – tiga detik lainnya diperhatikan Lila. Lalu perlahan tiga detik itu jadi tiga puluh detik, tiga puluh detik jadi satu menit, satu menit jadi satu jam, sampai akhirnya kami akrab dan gue punya keberanian buat nembak Lila. It’s been three years, but these three years started in three seconds.” Arlo tersenyum lalu menepuk bahu Devan. “Jadi, Bro, ciptain tiga detik lo sendiri, dan lihat sendiri gimana tiga detik tergila dalam hidup lo bisa bikin lo ngelakuin hal-hal gila lainnya untuk ngedapetin Leona”.

picturetakenfrom:pinterest.com


No comments:

Post a Comment