Love is a big story consists of thousands tiny
precious moments.—Arlo
“Jatuh
cinta lo?” Devan menoleh dan mendapati Arlo melirik ponselnya yang sejak tadi
ia pegang.
Arlo
tersenyum penuh arti saat bergabung dengan Devan di ruang tamu kost. “Siapa
namanya?” Arlo melirik ponsel Devan lagi yang masih menampilkan gambar yang
sama—potret seorang gadis berambut hitam sebahu yang diambil dari samping.
“Leona,”
Devan menjawab, nama yang beberapa hari belakangan ini selalu memenuhi
kepalanya hingga ia merasa butuh melakukan sesuatu agar tidak gila.
“Cantik,
Bro,” Komentar Arlo sambil memindahkan saluran televisi yang sejak tadi tidak
ditonton oleh adik kelasnya yang lebih muda tiga tahun darinya itu. “Udah
seberapa deket lo?”
Devan
menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. “Ng—”
“Man.” Arlo menatap Devan
lurus-lurus,”Jangan bilang kalian sama sekali belom deket?”
Devan
hanya bisa nyengir sebagai jawaban. “Dia bahkan belom tahu nama gue, Bang”.
“Oh, come on, make a move dong, Denovan Wiridja,” Arlo meninju bahu
Devan ringan. “Mau sampai kapan elo bengong doang ngeliatin tuh foto? Puas lo
pacaran sama iPhone?”
“Iya,
tapi, Bang—” Devan lagi-lagi menggaruk tengkuknya, dalam hati menertawai
dirinya yang begitu pengecut. Bagaimana mau kenalan, ia bahkan tidak berani
menyapa Leona saat mereka berpapasan di koridor sekolah.
“First move is always the hardest, Bro,”
Arlo seakan mengetahui pikiran Devan. “Baby
step is okay”.
“Elo
kenal Lila, pacar gue, kan?” Lanjut Arlo.
Devan
mengangguk, ia pernah mengobrol beberapa kali dengan gadis itu saat Arlo
membawanya ke sini.
“Tiga
detik,” Arlo mengacungkan ketiga jarinya di udara. “Itu adalah lamanya waktu
Lila melirik gue pertama kali. Cuma tiga detik, Bro. Tapi itu adalah tiga detik
paling gila yang bisa menjungkir balikkan hati gue. Jantung gue rasanya mau
copot. Gue nggak pernah tau kalau jantung gue bisa berdetak secepat dan
sekencang itu cuma gara-gara satu cewek. Lila dengan rambut panjangnya yang
selalu dikuncir kuda, matanya yang besar, bibirnya yang sedang tersenyum. Bibirnya.
Damn, it was the best three seconds in my
entire life”. Arlo tersenyum sendiri mengenang hari itu. “Cuma dilirik
doang, Bro. Cuma tiga detik. Tapi kalau itu adalah cewek yang lo suka, man, senengnya ngalahin rasa seneng
kalau klub bola favorit lo menang piala tujuh tahun berturut-turut”.
Devan
tertawa mendengar cerita Arlo.
“Sejak
hari itu gue jadi makin semangat ngejar Lila. Gue selalu berusaha menarik
perhatian Lila, entah itu ngobrol kencang-kencang sama temen gue, main gitar di
kelas, atau bikin keributan kecil. Semua karena gue ingin merasakan tiga detik
– tiga detik lainnya diperhatikan Lila. Lalu perlahan tiga detik itu jadi tiga
puluh detik, tiga puluh detik jadi satu menit, satu menit jadi satu jam, sampai
akhirnya kami akrab dan gue punya keberanian buat nembak Lila. It’s been three years, but these three years
started in three seconds.” Arlo tersenyum lalu menepuk bahu Devan. “Jadi,
Bro, ciptain tiga detik lo sendiri, dan lihat sendiri gimana tiga detik tergila
dalam hidup lo bisa bikin lo ngelakuin hal-hal gila lainnya untuk ngedapetin
Leona”.
No comments:
Post a Comment