Saturday, October 3, 2015

an ode for you.

Aku menatap jari-jariku yang menari lincah di atas deretan senar vertikal. Aku tidak berkonsentrasi pada laguku—nada apa yang harus kumainkan setelah nada sebelumnya, aku tidak berkonsentrasi pada permainan harpaku. Memainkan lagu ini sudah menjadi otomatis sejak aku melatihnya gila-gilaan. Aku ingin permainanku sempurna di atas panggung ini, saat ini, momen yang paling kunanti-nantikan seumur hidupku. Momen di mana panggung ini adalah milikku sendiri. Musik ini adalah jiwaku. I want it to be perfect. But, the thing is, it can’t be perfect without your presence.

Mataku mulai terasa panas. Bukannya berkonsentrasi pada permainanku, aku malah mati-matian berkonsentrasi agar air mataku tidak mengalir. Tepat satu minggu lalu, di panggung ini, saat aku sedang melatih laguku, tepat ketika laguku berakhir, kiamatku dimulai.

“Si…” Raka menghampiriku, suaranya lebih rendah dari biasanya. Aku dapat melihat matanya memerah. “Oma—”

Aku tidak ingat jelas apa yang Raka ucapkan saat itu, detiknya berikutnya yang aku ingat adalah saat aku menghambur masuk melalui pintu IGD seperti orang kesetanan.

No, no, no, no, no. Please don’t let her die. God, please don’t let her die. Seperti mantra, kalimat itu terus kuulang sepanjang perjalanan sementara Raka menyetir dengan kecepatan penuh di sebelahku.

God, please.

Aku menyibak tirai dengan keras. Di sana ia terbaring. Begitu tenang, begitu diam, sementara isak tangis keluarga yang lain memenuhi gendang telingaku. Tanpa memedulikan beberapa perawat yang tengah membereskan peralatan resusitasi, aku menyerbu masuk.  Aku memeluk tubuhnya sambil merasakan hangat yang perlahan mulai menghilang. “Oma…”

Raka mengajakku duduk di sebuah bangku di rumah sakit, sementara keluarga yang lain bergantian melihat Oma. “Oma janji mau datang ke konser tunggal aku,” Hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulutku setelah aku lelah menangis meraung-raung. Satu janji yang sejak tadi terus menerus memenuhi otakku, satu-satunya janji yang tidak akan pernah bisa ia tepati.

Raka hanya diam di sebelahku. Aku tahu ia juga kehilangan. Raka telah mengenal Oma jauh sebelum kami berpacaran—saat status kami masih sepasang sahabat. Oma selalu menyambut hangat Raka jika aku mengajaknya ke rumah, bahkan Raka bilang Oma adalah orang yang mendorongnya untuk menembakku.

She is the closest person to a mother that I have, Ka,” aku kembali terisak. Raka menaruh tangannya di kepalaku dan membelaiku lembut. Sejak kedua orangtuaku bercerai, Oma menggantikan peran ibu dalam hidupku. Ia yang mengantarku di hari pertamaku masuk sekolah. Ia yang membujukku untuk makan saat aku sakit. Ia yang berlari-lari dengan payung menjemputku saat hari hujan dan aku lupa membawa payung. Ia yang dengan sabar mebacakan cerita untukku hingga aku terlelap. Ia yang pertama kali aku ceritakan saat aku pertama kali jatuh cinta, ia juga yang memelukku saat aku menangis berhari-hari karena patah hati. Dan Oma juga satu-satunya orang selain Raka yang selalu mendukungku bermain harpa. Ia yang membelaku di depan Papa saat Papa memaksaku mengambil kedokteran sementara aku memilih sekolah musik. Ia juga yang membuatku tidak menyerah dan terus bermain harpa walau akhirnya aku harus mengalah pada Papa.

Air mataku akhirnya jatuh. Menimbulkan kilatan bening pada senar yang kupetik. Aku memejamkan mata. Harusnya Oma ada di sini, berada di antara ratusan pasang mata yang menatapku bermain saat ini. Mendengarku bermain. Aku bahkan belum bilang padanya bahwa aku akan bermain di konser tunggalku sendiri, aku ingin hari ini menjadi kejutan untuknya. Ia pasti akan sangat bangga padaku.

I can picture her sitting over there in the crowd, smiling at me, whispering, ‘Well done, Sisi’.

Instead,
Here I am, playing for her up above, whispering in my heart,

’Well done, Oma. You did great. Thank you for being a great mother for me’.

picturetakenfrom:pinterest.com



No comments:

Post a Comment