Lo dimana?
Aku
menatap pesan yang baru saja kukirim di layar
ponsel tanpa berkedip.
Kaftée & Bun
Kedua
sudut bibirku tertarik ke atas saat jawaban itu tiba hanya beberapa detik
setelahnya.
Oke,
gue ke sana ya.
Aku
memasukkan ponselku ke saku celana, lalu menyambar kunci mobil yang tergeletak
di atas meja ruang tengah.
*
Suasana
Kaftée & Bun tidak terlalu ramai. Tentu saja karena hari ini bukan akhir
pekan dan jam pulang sekolah masih belum tiba. Hanya ada beberapa pengunjung
berusia dua puluhan yang sibuk dengan laptop
dan pekerjaan mereka masing-masing.
Pikiranku
mau tak mau melayang pada lima tahun silam, saat kafe ini baru dibuka dan
dekorasinya belum seapik sekarang, namun tetap saja, tempat ini jadi tempat
favoritku. Karena di sini, aku menghabiskan banyak waktu untuk mengenalmu.
Mataku
menyapu seisi ruangan. Tak sulit menemukanmu. Aku mengulum senyum. Lima tahun.
Dan kamu sama sekali tidak berubah. Kamu masih Mila yang akan memilih duduk di
sudut dengan secangkir ice café latte
ditemani buku favoritmu.
Masih
ingatkah kamu, dulu ketika kita dengan seragam putih abu-abu menyerbu masuk
tempat ini—berusaha secepat mungkin menyelamatkan diri dari teriknya matahari
di luar sana, kamu dengan kecepatan penuh akan menghempaskan dirimu di sana, di
sofa yang berada di pojok, tempat yang sering luput dari pandangan
orang-orang—bahkan pelayan kafe ini sekalipun. “Suka banget ‘ngumpet’ di sini,” begitu aku pernah berkomentar, “Gue nggak suka jadi pusat perhatian,”
dan itu jawabanmu.
“Hai,”
Aku menyapamu setelah lima tahun tak berjumpa. ”Mila,” Dan ini adalah kali
pertama aku menyebut namamu lagi dengan lidahku, rasanya seperti rasa rindu
bercampur bahagia yang tumpah.
Kamu
mendongak. “Hai, lama nggak ketemu.” senyummu merekah, senyum yang sama seperti
yang selalu ku ingat. Kamu benar-benar tidak berubah. Masih Mila yang sederhana
tanpa pulasan make up. Mila yang
cukup bahagia dengan kaos dan jeans serta rambut kuncir kuda.
Kamu
mempersilakanku duduk.
Aku
terpaku.
Percayakah
kamu, jika kubilang aku mengencani beberapa gadis di Paris? Semua dari mereka
berperawakan tinggi semampai, pandai bersolek, berpakaian modis, cerdas, pintar
membawa diri. Oh, tentu saja kamu akan percaya. Tapi percayakah kamu, jika
kubilang tak ada satu pun dari mereka yang mampu mengalahkan daya tarikmu?
Mungkin kamu akan tertawa mendengar hal ini. Aku juga tak mengerti. Entah
bagaimana kamu justru terlihat cantik dan bersinar dengan segala
kesederhanaanmu itu.
Aku
percaya aku akan jatuh cinta lagi padamu jika aku berbicara denganmu.
“Mila,”
Sebuah suara merusak konsentrasiku. Seorang pria yang tak kukenal menghampirimu,
mengecup keningmu ringan.
“Hai,
Di,” Kamu tersenyum lebar, senyum yang tak pernah kulihat sebelumnya. “Kenalin
Di, ini Damar, temen SMA aku yang waktu itu pernah aku ceritain sekolah di
Paris. Damar, ini Aldi, pacar gue”.
Aku
memaksakan seulas senyum. Kamu tidak pernah bercerita tentang Aldi. Sejak kapan
kalian bersama?
Bodoh.
Aku
tersenyum pahit.
Bodoh.
Aku
memiliki kesempatan besar lima tahun lalu. Seharusnya aku mengatakannya waktu
itu. Saat kita sering menghabiskan waktu di sini ditemani tumpukan soal yang
seakan tidak ada habisnya. Saat aku dan kamu bisa saling tertawa lepas
dihadapan satu sama lain.
But the thing is, we’re all scared to say
the things worth saying, aren’t we?
picturetakenfrom:pinterest.com |
No comments:
Post a Comment