Thursday, September 24, 2015

aimer

Lo dimana?

Aku menatap  pesan yang baru saja kukirim di layar ponsel tanpa berkedip.

Kaftée & Bun

Kedua sudut bibirku tertarik ke atas saat jawaban itu tiba hanya beberapa detik setelahnya.

            Oke, gue ke sana ya.

Aku memasukkan ponselku ke saku celana, lalu menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja ruang tengah.

*

Suasana Kaftée & Bun tidak terlalu ramai. Tentu saja karena hari ini bukan akhir pekan dan jam pulang sekolah masih belum tiba. Hanya ada beberapa pengunjung berusia dua puluhan yang sibuk dengan laptop dan pekerjaan mereka masing-masing.

Pikiranku mau tak mau melayang pada lima tahun silam, saat kafe ini baru dibuka dan dekorasinya belum seapik sekarang, namun tetap saja, tempat ini jadi tempat favoritku. Karena di sini, aku menghabiskan banyak waktu untuk mengenalmu.

Mataku menyapu seisi ruangan. Tak sulit menemukanmu. Aku mengulum senyum. Lima tahun. Dan kamu sama sekali tidak berubah. Kamu masih Mila yang akan memilih duduk di sudut dengan secangkir ice café latte ditemani buku favoritmu.

Masih ingatkah kamu, dulu ketika kita dengan seragam putih abu-abu menyerbu masuk tempat ini—berusaha secepat mungkin menyelamatkan diri dari teriknya matahari di luar sana, kamu dengan kecepatan penuh akan menghempaskan dirimu di sana, di sofa yang berada di pojok, tempat yang sering luput dari pandangan orang-orang—bahkan pelayan kafe ini sekalipun. “Suka banget ‘ngumpet’ di sini,” begitu aku pernah berkomentar, “Gue nggak suka jadi pusat perhatian,” dan itu jawabanmu.

“Hai,” Aku menyapamu setelah lima tahun tak berjumpa. ”Mila,” Dan ini adalah kali pertama aku menyebut namamu lagi dengan lidahku, rasanya seperti rasa rindu bercampur bahagia yang tumpah.

Kamu mendongak. “Hai, lama nggak ketemu.” senyummu merekah, senyum yang sama seperti yang selalu ku ingat. Kamu benar-benar tidak berubah. Masih Mila yang sederhana tanpa pulasan make up. Mila yang cukup bahagia dengan kaos dan jeans serta rambut kuncir kuda.

Kamu mempersilakanku duduk.

Aku terpaku.

Percayakah kamu, jika kubilang aku mengencani beberapa gadis di Paris? Semua dari mereka berperawakan tinggi semampai, pandai bersolek, berpakaian modis, cerdas, pintar membawa diri. Oh, tentu saja kamu akan percaya. Tapi percayakah kamu, jika kubilang tak ada satu pun dari mereka yang mampu mengalahkan daya tarikmu? Mungkin kamu akan tertawa mendengar hal ini. Aku juga tak mengerti. Entah bagaimana kamu justru terlihat cantik dan bersinar dengan segala kesederhanaanmu itu.

Aku percaya aku akan jatuh cinta lagi padamu jika aku berbicara denganmu.

“Mila,” Sebuah suara merusak konsentrasiku. Seorang pria yang tak kukenal menghampirimu, mengecup keningmu ringan.

“Hai, Di,” Kamu tersenyum lebar, senyum yang tak pernah kulihat sebelumnya. “Kenalin Di, ini Damar, temen SMA aku yang waktu itu pernah aku ceritain sekolah di Paris. Damar, ini Aldi, pacar gue”.

Aku memaksakan seulas senyum. Kamu tidak pernah bercerita tentang Aldi. Sejak kapan kalian bersama?

Bodoh.

Aku tersenyum pahit.

Bodoh.

Aku memiliki kesempatan besar lima tahun lalu. Seharusnya aku mengatakannya waktu itu. Saat kita sering menghabiskan waktu di sini ditemani tumpukan soal yang seakan tidak ada habisnya. Saat aku dan kamu bisa saling tertawa lepas dihadapan satu sama lain.

But the thing is, we’re all scared to say the things worth saying, aren’t we?

picturetakenfrom:pinterest.com


No comments:

Post a Comment