Wednesday, June 10, 2015

kembali.

Kaki Adhira Artika menyentuh pekarangan rumahnya setelah sekian lama. Banyak yang berubah di sana, halamannya bukan lagi sebuah taman yang dihiasi aneka bunga warna-warni kesukaan ibunya. Masih lekat dalam ingatannya ketika dirinya yang berumur sembilan tahun saat itu sering menghabiskan waktu di taman kebanggaan ibunya, mereka sering menggelar tikar di atas rumput dan menyesap teh bersama di sore hari.

Angin sore itu berhembus pelan, menerbangkan daun-daun kering yang berserakan di teras rumahnya. Adhira tidak dapat mengingat sejak kapan rumahnya menjadi dingin dan kaku. Tidak ada lagi cahaya di sana, tidak ada lagi gelak tawa yang terdengar di dalamnya, tidak ada lagi setetes kehangatan yang mampu mencairkan udara suram yang melayang-layang di udara.

“Non, Ara?” Adhira menoleh saat panggilan kecilnya terlantun di udara. Suara yang begitu dikenalnya—suara yang selalu menyambutnya saat kaki-kaki kecilnya melangkah lincah menyeberangi halaman sekolah menuju gerbang.

“Pak Hasna,” Dilihatnya seorang laki-laki yang jauh lebih tua dari yang diingatnya. Kerut-kerut usia tercetak jelas di seluruh wajahnya, tangannya penuh dengan keriput-keriput, tubuhnya yang dulu tinggi tegap kini mulai bungkuk, namun satu yang tak berubah dari Pak Hasna—supir setia keluarganya, adalah senyumnya yang seakan tak dapat lekang oleh waktu. “Non Ara sudah dewasa ya, sampai pangling Bapak”.

“Bapak masih di sini?” Ara melangkah mendekat, hak sepatunya menimbulkan bunyi nyaring yang memecah kesunyian. Menurut perhitungan Ara, Pak Hasna seharusnya sudah pensiun sejak lima tahun yang lalu.

Pak Hasna mengangguk, masih sambil tersenyum. Senyum yang menurut Ara tidak pantas didapatkannya. “Ibu sudah minta Bapak untuk pensiun dari lama, tapi kalau lihat Ibu, Bapak jadi nggak tega Non. Kasihan Ibu sendiri. Kalau Bapak pensiun, nggak ada lagi yang bisa mengantar Ibu kemana-mana”.

Ara terdiam. Pak Hasna baru saja melemparkan sebilah tombak ke hatinya dan Ara tidak berniat untuk mencabutnya karena ia merasa layak mendapatkannya. Kilasan memori memenuhi kepalanya, berganti-gantian dengan cepat, seperti potongan film yang difastforward. Di sini—di rumah yang hampir sepuluh tahun ia tinggalkan, banyak hal telah terjadi. Di sini ia memulai hidupnya dengan penuh tawa, namun di sini pula ia mengenal tangis yang tak pernah berhenti sepanjang malam. Saat Ayah meninggalkannya dan Ibu, saat Ibu menjadi depresi dan tak dapat mengurus dirinya sendiri, saat Ibu membawa seorang laki-laki dan menjadikan rumah ini bagai neraka bagi Ara, Ara tahu suatu hari nanti ia harus pergi. Dan ia melakukannya di ulang tahunnya yang ke-19, di malam saat ayah tirinya membuka pintu rumah dengan bau alkohol yang menyengat dan mulai memukuli ibunya.

Ara pergi. Ia tahu meninggalkan Ibu adalah pilihan terburuk dalam hidupnya, namun berada di rumah ini berarti menciptakan trauma dalam hidupnya lagi dan lagi.

“Maaf, Pak,” Setetes air mata jatuh membasahi pipi Ara. Ia tahu ‘maaf’ bukanlah kata yang cukup untuk membayar kesalahannya. Pak Hasna menggeleng lembut, seakan mengerti segala keputusan bodoh yang dibuatnya beberapa tahun lalu. “Dan terima kasih karena sudah menggantikan Ara menjaga Ibu”. Ara merasa pertahanannya runtuh, ia meluruh ke tanah bersamaan dengan segala penyesalannya yang mengalir deras. “Maaf,” Ia berbisik, meski ia tahu segalanya sudah terlambat. “Maaf, maaf, maaf”.

“Non Ara,” Ara merasakan sebuah pelukan hangat membungkusnya. “Nggak ada yang perlu disesali. Tahu apa yang Ibu bilang sebelum pergi? Ibu bangga sama Non Ara, Ibu bersyukur Non Ara bisa tumbuh dengan baik di luar sana, bahkan bisa sampai kerja di Amerika. Waktu tahu Non Ara jadi pembawa berita di sana, Ibu langsung pasang parabola, katanya mau lihat Non Ara siaran. Sampai hari terakhirnya, TV ibu nggak pernah mati loh, soalnya Ibu nggak pernah tahu kapan Non Ara akan siaran lagi”.


Ara merasa sekujur tubuhnya bergetar semakin hebat. Ia merindukan Ibu. Ia berharap dapat memutar waktu, ia ingin kembali bertemu Ibu, memeluknya, meminta maaf, menghabiskan waktu satu hari lagi bersamanya, dan mengubah segalanya.


picturetakenfrom:pinterest.com

No comments:

Post a Comment