Kaki
Adhira Artika menyentuh pekarangan rumahnya setelah sekian lama. Banyak yang
berubah di sana, halamannya bukan lagi sebuah taman yang dihiasi aneka bunga
warna-warni kesukaan ibunya. Masih lekat dalam ingatannya ketika dirinya yang
berumur sembilan tahun saat itu sering menghabiskan waktu di taman kebanggaan
ibunya, mereka sering menggelar tikar di atas rumput dan menyesap teh bersama
di sore hari.
Angin
sore itu berhembus pelan, menerbangkan daun-daun kering yang berserakan di
teras rumahnya. Adhira tidak dapat mengingat sejak kapan rumahnya menjadi
dingin dan kaku. Tidak ada lagi cahaya di sana, tidak ada lagi gelak tawa yang
terdengar di dalamnya, tidak ada lagi setetes kehangatan yang mampu mencairkan
udara suram yang melayang-layang di udara.
“Non,
Ara?” Adhira menoleh saat panggilan kecilnya terlantun di udara. Suara yang
begitu dikenalnya—suara yang selalu menyambutnya saat kaki-kaki kecilnya
melangkah lincah menyeberangi halaman sekolah menuju gerbang.
“Pak
Hasna,” Dilihatnya seorang laki-laki yang jauh lebih tua dari yang diingatnya.
Kerut-kerut usia tercetak jelas di seluruh wajahnya, tangannya penuh dengan
keriput-keriput, tubuhnya yang dulu tinggi tegap kini mulai bungkuk, namun satu
yang tak berubah dari Pak Hasna—supir setia keluarganya, adalah senyumnya yang
seakan tak dapat lekang oleh waktu. “Non Ara sudah dewasa ya, sampai pangling
Bapak”.
“Bapak
masih di sini?” Ara melangkah mendekat, hak sepatunya menimbulkan bunyi nyaring
yang memecah kesunyian. Menurut perhitungan Ara, Pak Hasna seharusnya sudah
pensiun sejak lima tahun yang lalu.
Pak
Hasna mengangguk, masih sambil tersenyum. Senyum yang menurut Ara tidak pantas didapatkannya.
“Ibu sudah minta Bapak untuk pensiun dari lama, tapi kalau lihat Ibu, Bapak
jadi nggak tega Non. Kasihan Ibu sendiri. Kalau Bapak pensiun, nggak ada lagi
yang bisa mengantar Ibu kemana-mana”.
Ara
terdiam. Pak Hasna baru saja melemparkan sebilah tombak ke hatinya dan Ara
tidak berniat untuk mencabutnya karena ia merasa layak mendapatkannya. Kilasan
memori memenuhi kepalanya, berganti-gantian dengan cepat, seperti potongan film
yang difastforward. Di sini—di rumah
yang hampir sepuluh tahun ia tinggalkan, banyak hal telah terjadi. Di sini ia
memulai hidupnya dengan penuh tawa, namun di sini pula ia mengenal tangis yang
tak pernah berhenti sepanjang malam. Saat Ayah meninggalkannya dan Ibu, saat
Ibu menjadi depresi dan tak dapat mengurus dirinya sendiri, saat Ibu membawa
seorang laki-laki dan menjadikan rumah ini bagai neraka bagi Ara, Ara tahu
suatu hari nanti ia harus pergi. Dan ia melakukannya di ulang tahunnya yang
ke-19, di malam saat ayah tirinya membuka pintu rumah dengan bau alkohol yang
menyengat dan mulai memukuli ibunya.
Ara
pergi. Ia tahu meninggalkan Ibu adalah pilihan terburuk dalam hidupnya, namun berada
di rumah ini berarti menciptakan trauma dalam hidupnya lagi dan lagi.
“Maaf,
Pak,” Setetes air mata jatuh membasahi pipi Ara. Ia tahu ‘maaf’ bukanlah kata
yang cukup untuk membayar kesalahannya. Pak Hasna menggeleng lembut, seakan
mengerti segala keputusan bodoh yang dibuatnya beberapa tahun lalu. “Dan terima
kasih karena sudah menggantikan Ara menjaga Ibu”. Ara merasa pertahanannya
runtuh, ia meluruh ke tanah bersamaan dengan segala penyesalannya yang mengalir
deras. “Maaf,” Ia berbisik, meski ia tahu segalanya sudah terlambat. “Maaf,
maaf, maaf”.
“Non
Ara,” Ara merasakan sebuah pelukan hangat membungkusnya. “Nggak ada yang perlu
disesali. Tahu apa yang Ibu bilang sebelum pergi? Ibu bangga sama Non Ara, Ibu
bersyukur Non Ara bisa tumbuh dengan baik di luar sana, bahkan bisa sampai
kerja di Amerika. Waktu tahu Non Ara jadi pembawa berita di sana, Ibu langsung
pasang parabola, katanya mau lihat Non Ara siaran. Sampai hari terakhirnya, TV
ibu nggak pernah mati loh, soalnya Ibu nggak pernah tahu kapan Non Ara akan
siaran lagi”.
Ara
merasa sekujur tubuhnya bergetar semakin hebat. Ia merindukan Ibu. Ia berharap
dapat memutar waktu, ia ingin kembali bertemu Ibu, memeluknya, meminta maaf, menghabiskan
waktu satu hari lagi bersamanya, dan mengubah segalanya.
picturetakenfrom:pinterest.com |
No comments:
Post a Comment