“Rumah
kamu nggak banyak berubah ya,” Ata melihat sekelilingnya, rumah milik Vico yang
mulai samar dalam ingatannya. “Dulu waktu SD kita sering main petak umpet di
sini bareng teman-teman sekolah ya, soalnya rumah kamu paling besar sih”.
“Ingat
nggak waktu dulu kita ngumpet di kamar aku?” Vico menunjuk pintu kamarnya.
“Ingat
dong,” Ata tergelak. “Kalau nggak ada lo waktu itu aku pasti udah kena duluan”.
“Kamu
payah sih,” Vico mengacak rambut Ata ringan, membuat jantung gadis itu berdebar
lebih cepat—seperti dulu.
Semua bermula pada saat itu. Saat dimana
kamu membagi tempat bersembunyimu denganku yang tidak tahu harus bersembunyi di
mana sedang hitungan mundur hampir mencapai nol. Saat dimana aku duduk
bersisian denganmu di dalam sebuah lemari baju yang sempit. Diantara
helaian-helaian kain yang berjajar itu, untuk pertama kalinya aku menghirup
aroma tubuhmu—bau sabun yang bercampur keringat, aroma yang entah mengapa tidak
pernah aku lupakan hingga sekarang.
“Tapi
nggak nyangka ya,” Vico mengganti-ganti saluran televisi di ruang keluarganya
tanpa berkonsentrasi penuh. “Lihat bagaimana kita berakhir sekarang”.
Ata
mengangguk. “Dulu kita cuma teman SD ya, aku bahkan nggak dekat sama sekali
sama kamu”.
“Kayaknya
bisa dihitung jari deh berapa kali kita ngobrol dulu”. Vico menyetujui.
“Terus
kamu pindah waktu kelas tiga SD,” Ata melanjutkan. “SMP dan SMA kita beda walau
kita masih satu kompleks”.
“Waktu
SMP aku sering lihat kamu lewat depan rumah aku kalau mau berangkat sekolah,”
Vico tersenyum nostalgis. “Aku kadang mikir mau nyapa kamu, but that’s it. Kamu cuma teman SD, aku
bahkan ragu kamu masih ingat aku apa nggak”.
“Aku
juga sering lihat kamu pulang sekolah waktu SMA,” balas Ata.
Kamu dengan seragam acak-acakan dan bola
basket di tangan. Kamu dengan gitar yang tersandang pada bahumu di lain hari.
Kamu dengan tawa lebarmu yang membuatku berharap dapat memutar balik waktu dan
mengenalmu lebih jauh.
“Oh,
aku lihat kamu waktu kamu mau ke prom,” Vico menambahkan. “Waktu itu aku baru
pulang latihan band dan kebetulan
lewatin rumah kamu”.
“Tahu
dari mana aku mau ke prom?” ledek Ata.
“Waktu
itu lagi zaman-zamannya prom sih,” Vico beralasan. “Kamu tahu, I wished I could be your partner that night.
Aneh memang, mengingat kita belum terlalu kenal waktu itu.”
Ata
mengangguk. “Dulu aku selalu mikir, mungkin suatu hari nanti aku akan ketemu
seseorang, entah siapa, yang jadi pasangan aku. Aku nggak pernah nyangka orang
itu kamu. The boy from my childhood. The boy whose house just around the corner.”
“Kecewa?”
Vico menaikan kedua alisnya sambil tersenyum lebar.
Ata
menggeleng. “Seneng banget. Karena sama kamu aku bisa jadi diriku sendiri. Because you’re that person whom I can be
silly with and act like I am eight.”
picturetakenfrom:pinterest.com |