Saturday, December 5, 2015

natal pagi beraroma vanilla

Alana menatap kosong lampu-lampu natal yang berpendar di sekitarnya. Samar-samar alunan lagu little drummer boy versi Pentatonix memenuhi gendang telinganya. Ia menerawang jauh, mengabaikan barisan pohon natal bernuansa silver yang menghiasi kawasan taman Tribeca siang itu, mengabaikan tawa dan canda para pengunjung yang berlalu lalang di sekelilingnya.

Alana menghembuskan napas berat. Ini adalah pagi natal, dan ia rindu keluarganya. Ia kangen Yogyakarta. Padahal ini baru tahun pertamanya menghabiskan natal di ibukota, namun ternyata kentalnya suasana natal di tempat ini membuatnya merindukan rumah dan merayakan natal di sana.

Seorang wanita berusia tiga puluhan melintas di depan Alana, wanita itu mendorong seorang nenek yang berada di kursi roda, di belakangnya seorang bocah laki-laki yang kurang lebih berusia lima tahun mengikutinya dengan langkah lebar-lebar sambil memegangi topi santa yang kebesaran di kepalanya. Satu sudut bibir Alana tertarik keatas, hatinya terasa pedih, ia berharap berada di rumah saat ini. Ia berharap detik ini ia sedang duduk di salah satu kursi di meja makan kayu bersama Ibu, Ayah, Opung, dan Bima, adiknya. Ia dapat membayangkan aroma ayam panggang bercampur rempah buatan ibu yang menguar memenuhi ruang makan. Lalu Ayah akan menyetel lagu-lagu natal dari piringan hitam legendarisnya. Opung akan mengajak mereka semua berdoa sebelum makan, dan Bima akan mencuri-curi mencicipi ayam panggangnya terlebih dulu saat mereka berdoa. Diakhir hari mereka akan sama-sama berangkat ke gereja untuk menghadiri perayaan natal. Tapi, Alana harus merelakan semua tradisi itu tahun ini karena kuliahnya.

Natal di Jakarta juga nggak buruk-buruk amat, kok, begitu seorang teman pernah menghiburnya saat ia mengeluh soal tidak dapat kembali ke kampung halamannya tahun ini. Alana tersenyum kecut sambil menghapus setitik air mata yang mulai muncul di sudut matanya. “Coba buktiin kalau natal gue nggak akan buruk-buruk amat,” Alana berbicara sendiri.

“Oke, akan gue buktiin”.

Alana mendongak mendengar sebuah suara bariton menjawabnya. Ia kenal suara itu. Keeve. Benar saja, di hadapannya laki-laki itu tersenyum lebar sambil menampakkan deretan gigi putihnya. Belum sempat Alana bereaksi, Keeve sudah menarik tangan gadis itu kasual.

Keeve membawa Alana ke gedung apartemen miliknya yang berada tidak jauh dari taman Tribeca. Mereka kini berada di depan sebuah pintu kayu dengan Christmas wreath mungil yang tergantung di depannya. “Siap?” Keeve mengerling jenaka pada Alana, membuat kedua alis gadis itu bertaut. Tidak sampai satu detik setelahnya, laki-laki itu membuka pintu di hadapan mereka.

“MERRY CHRISTMAS!!!” Sambutan meriah di hadapannya membuat Alana mundur beberapa langkah. Ia mengerjap beberapa kali. Di depannya, berdiri Ailin, Dera, Thomas, Aria, Kika, dan masih banyak lagi teman sekelasnya, semua menyambutnya dengan senyum lebar.

“Sini,” Aria menarik tangan Alana dan mengenakan bando bertanduk rusa di kepalanya, membuatnya sama seperti yang lain. Aria mempersilahkan Alana yang masih terkejut untuk duduk bergabung dengan mereka di sofa. Alana memperhatikan meja di hadapannya yang tampak meriah. Ada pizza berukuran besar dengan berbagai macam topping, beraneka jenis minuman soda, kue tart sewarna salju yang aroma vanillanya memenuhi sudut ruangan. Kedua sudut bibir Alana mau tak mau tertarik ke atas. Ia baru sadar ternyata natal dapat hadir dalam berbagai macam kemasan.

“Tuh kan, gue bilang juga apa,” Alana merasakan napas hangat Keeve di telinganya. “Nggak buruk-buruk banget kan?”

Alana mengangguk. Mungkin bukan natal terbaik yang pernah dilaluinya, tapi mungkin suatu hari nanti ia akan merindukan momen ini. Sebuah pagi di hari natal yang beraroma vanilla.

picturetakenfrom:pinterest.com



No comments:

Post a Comment