“Jadi?”
“Jadi
apa?” Winza mengangkat kepalanya menatap Vica. Ia menutup catatan biologi yang
sejak tadi ditekuninya.
Vica
menghela napas panjang, tau sejak tadi ocehannya sama sekali tidak didengarkan
oleh sahabatnya—sama seperti lagu entah apa yang sedang diputar di Kaftee &
Bun saat ini. “Jadi kalau dia akhirnya nembak lo, lo terima apa nggak?” Vica
bertanya dengan lambat dan tegas.
Winza
mengalihkan pandangannya ke jendela yang menghadap jalanan. Di luar,
rintik-rintik hujan mulai turun, beberapa pejalan kaki mengenakan payung,
sementara yang lain berlari-lari kecil berlomba dengan hujan yang semakin
deras. Ia berharap dapat berbaur dengan hujan saat ini, ia lebih memilih basah
daripada harus menghadapi pertanyaan Vica.
“Win…”
Vica tahu betul gestur sahabatnya itu. Winza paling anti dengan pertanyaan
macam ini—pertanyaan apa pun yang menyangkut cowok, tapi sebagai sahabat—orang
yang paling tahu latar belakang Winza, Vica merasa punya tanggung jawab untuk
membantu sahabatnya itu.
“Boleh
kita nggak ngomongin ini?” Winza bertanya lurus-lurus.
“Mau
sampai kapan kita nggak ngomongin ini?” Vica memberanikan diri menatap Winza.
Ia tahu membicarakan topik ini akan membuka luka lama sahabatnya, tapi ia juga tahu, satu-satunya cara untuk
menyembuhkan luka Winza adalah dengan membukanya, lalu mengobatinya pelan-pelan
walaupun perih.
Winza
mengangkat bahu. “Selamanya kalau perlu”.
Vica
menggigit bagian bawah bibirnya. Ngilu rasanya mendengar nada sedingin dan
segetir itu keluar dari mulut sahabatnya.
“Arya
orang baik,” Vica tidak tahu harus berkata apalagi. “Elo tahu kan gue nggak
akan bilang begini kalau gue nggak benar-benar yakin dia nggak akan nyakitin
lo?”
“Gue
tahu Arya baik,” Winza tersenyum sambil mengaduk ice hazelnut chocolate-nya. “Baik banget”.
“Dan
elo suka dia,” Vica berkata hati-hati.
“Gue
nggak membuka hati gue untuk siapa pun,” Winza menjawab dengan nada yang tidak
ingin dibantah. “Nggak untuk Arya atau orang lain. Nggak sekarang atau nanti”.
“Win,
elo nggak bisa menutup hati lo terus-terusan,” Vica menatap kedua mata
sahabatnya dalam-dalam.
“Gue
nggak mau sakit hati, Vic, elo tahu itu,” tutur Winza dengan pandangan
menerawang. “Bertahun-tahun gue nemenin nyokap untuk sembuh dari sakit hatinya,
bertahun-tahun gue di samping dia untuk berjuang hidup sendiri, bertahun-tahun
gue denger dia nangis di tengah malam, elo pikir gue akan bisa mempercayakan
hati gue untuk orang lain? Jatuh cinta bikin orang rapuh, Vic. Elo juga gitu
kan? Ingat waktu elo putus sama Erik? Lebih baik gue nggak jatuh cinta daripada
harus sakit hati.”
Vica
terdiam sejenak. “Gue cuma pengen liat lo bahagia, Win. Dan kalau elo pikir elo
bisa bahagia dengan menyimpan hati lo rapat-rapat, elo salah besar. Mungkin
memang elo nggak akan sakit hati. Tapi walau hati lo disimpan di kotak yang
paling rapat sekali pun, di tempat yang tanpa udara, hati lo akan berubah
dimakan waktu. To love is indeed to be
vulnerable, Win. Manusia jatuh cinta, lalu sakit hati dan terluka, tapi
setidaknya luka itu bisa sembuh. Elo berhak dicintai, Win, dan gue pengen elo
ngerasain itu. Hati lo berhak dimiliki oleh seseorang, bukan hanya disimpan di
tempat yang tidak bisa dijangkau siapa-siapa. Elo—“
“Vic…”
Winza memotong ucapan sahabatnya. “The
thing is, I’m not ready to be vulnerable”.
“Not yet”.
No comments:
Post a Comment