Saturday, June 7, 2014

peti hati


“Jadi?”

“Jadi apa?” Winza mengangkat kepalanya menatap Vica. Ia menutup catatan biologi yang sejak tadi ditekuninya.

Vica menghela napas panjang, tau sejak tadi ocehannya sama sekali tidak didengarkan oleh sahabatnya—sama seperti lagu entah apa yang sedang diputar di Kaftee & Bun saat ini. “Jadi kalau dia akhirnya nembak lo, lo terima apa nggak?” Vica bertanya dengan lambat dan tegas.

Winza mengalihkan pandangannya ke jendela yang menghadap jalanan. Di luar, rintik-rintik hujan mulai turun, beberapa pejalan kaki mengenakan payung, sementara yang lain berlari-lari kecil berlomba dengan hujan yang semakin deras. Ia berharap dapat berbaur dengan hujan saat ini, ia lebih memilih basah daripada harus menghadapi pertanyaan Vica.

“Win…” Vica tahu betul gestur sahabatnya itu. Winza paling anti dengan pertanyaan macam ini—pertanyaan apa pun yang menyangkut cowok, tapi sebagai sahabat—orang yang paling tahu latar belakang Winza, Vica merasa punya tanggung jawab untuk membantu sahabatnya itu.

“Boleh kita nggak ngomongin ini?” Winza bertanya lurus-lurus.

“Mau sampai kapan kita nggak ngomongin ini?” Vica memberanikan diri menatap Winza. Ia tahu membicarakan topik ini akan membuka luka lama sahabatnya, tapi  ia juga tahu, satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka Winza adalah dengan membukanya, lalu mengobatinya pelan-pelan walaupun perih.

Winza mengangkat bahu. “Selamanya kalau perlu”.

Vica menggigit bagian bawah bibirnya. Ngilu rasanya mendengar nada sedingin dan segetir itu keluar dari mulut sahabatnya.

“Arya orang baik,” Vica tidak tahu harus berkata apalagi. “Elo tahu kan gue nggak akan bilang begini kalau gue nggak benar-benar yakin dia nggak akan nyakitin lo?”

“Gue tahu Arya baik,” Winza tersenyum sambil mengaduk ice hazelnut chocolate-nya. “Baik banget”.

“Dan elo suka dia,” Vica berkata hati-hati.

“Gue nggak membuka hati gue untuk siapa pun,” Winza menjawab dengan nada yang tidak ingin dibantah. “Nggak untuk Arya atau orang lain. Nggak sekarang atau nanti”.

“Win, elo nggak bisa menutup hati lo terus-terusan,” Vica menatap kedua mata sahabatnya dalam-dalam.

“Gue nggak mau sakit hati, Vic, elo tahu itu,” tutur Winza dengan pandangan menerawang. “Bertahun-tahun gue nemenin nyokap untuk sembuh dari sakit hatinya, bertahun-tahun gue di samping dia untuk berjuang hidup sendiri, bertahun-tahun gue denger dia nangis di tengah malam, elo pikir gue akan bisa mempercayakan hati gue untuk orang lain? Jatuh cinta bikin orang rapuh, Vic. Elo juga gitu kan? Ingat waktu elo putus sama Erik? Lebih baik gue nggak jatuh cinta daripada harus sakit hati.”

Vica terdiam sejenak. “Gue cuma pengen liat lo bahagia, Win. Dan kalau elo pikir elo bisa bahagia dengan menyimpan hati lo rapat-rapat, elo salah besar. Mungkin memang elo nggak akan sakit hati. Tapi walau hati lo disimpan di kotak yang paling rapat sekali pun, di tempat yang tanpa udara, hati lo akan berubah dimakan waktu. To love is indeed to be vulnerable, Win. Manusia jatuh cinta, lalu sakit hati dan terluka, tapi setidaknya luka itu bisa sembuh. Elo berhak dicintai, Win, dan gue pengen elo ngerasain itu. Hati lo berhak dimiliki oleh seseorang, bukan hanya disimpan di tempat yang tidak bisa dijangkau siapa-siapa. Elo—“

“Vic…” Winza memotong ucapan sahabatnya. “The thing is, I’m not ready to be vulnerable”.

Not yet”.

No comments:

Post a Comment