Saturday, June 14, 2014

fall apart


Kita sewujud pelaut yang tak berhenti bernavigasi, mencari arah, mencari tanda, hanya terkadang badai datang tanpa arah dan pertanda.


Pria itu terduduk lemas di kursinya. Kakinya yang terlihat kokoh sedikit gemetar. Raut mukanya yang keras berubah gentar. Ia menatap nanar wanita berjas putih di depannya.

“Lepra?” aku membaca gerak bibirnya, suaranya hanya serupa napas yang tercekat karena menahan air mata.

“Penyakit Bapak bisa sembuh,” wanita berkacamata di hadapannya berusaha menenangkan,”Sangat bisa jika diobati dengan benar”.

Pria itu menggeleng keras, seakan kalimat tadi tidak pernah terlontar dari mulut sang dokter, seakan lepra adalah hukuman mati. Setetes air mata bergulir mengikuti garis pipinya yang mulai berkerut. Ia cepat-cepat menyekanya, sekilas aku dapat melihat urat-urat besar yang saling menyilang di sana sebelum ia kembali menyembunyikan kedua tangannya di atas meja.  Entah sudah berapa banyak keringat yang ia cucurkan untuk menghidupi keluarganya, entah sudah berapa banyak beban yang harus dipikulnya.

Samar-samar Bapak itu melirik ke sebelah kanannya, ke arah seorang pria berkacamata dan berkemeja kotak-kotak yang mengantarnya datang. Usianya kira-kira sepuluh tahun lebih muda daripada Si Bapak. Baru kali ini aku melihat seorang majikan datang mengantar anak buahnya. Bapak ini pastilah seorang hamba yang setia dan pekerja keras.

“Menular, Dok?” sang majikan berdeham, pelan-pelan ia menggeser duduknya ke kanan, menjauhi Bapak itu. Aku melihat Si Bapak hanya bergeming di tempatnya, mungkin sedang sibuk mempertahankan dunianya yang perlahan runtuh, mungkin sedang membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang asing ketika orang-orang di sekitarnya satu per satu akan menjauhinya, mungkin sedang sibuk memikirkan bagaimana nasib keluargnya jika majikan di sebelahnya ini nanti memecatnya.



Jakarta, 10 Juni 2014

No comments:

Post a Comment