“Bi!
Bi! Bian!”
Bianca
terkesiap. Ia menoleh cepat. Suara itu.
“Nolan?”
Bianca selalu suka cara Nolan memanggil namanya.
“Hai,
Bi,” sosok Nolan perlahan muncul dalam kegelapan. “Apa kabar?” Laki-laki dengan
polo shirt hitam polos dan celana bermuda itu nyengir lebar, seolah tidak
menyadari tatapan horror Bianca.
“Kamu—“
Bianca berusaha menggapai Nolan dengan tangannya yang bergetar. Nolan tidak
seharusnya ada di sini, walau ia senang luar biasa mendapati Nolan berdiri
tegak di depannya.
“Nolan?”
Bianca menelan ludah, air matanya mendadak menyesaki pelupuk matanya. Ia
menarik kembali tangannya, berusaha menahan agar tangisannya tidak semakin
keras. Kedua lututnya terasa lemas.
“Hei,”
Nolan menyentuh bahu Bianca saat gadis itu meluruh ke tanah. “Bianca, aku di
sini”.
Usapan
halus Nolan di punggungnya dan kecupan ringan cowok itu di kening Bianca
membuat tangisnya semakin menjadi. Bianca ingin mendorong sosok itu, Ia tahu
membiarkan Nolan memperlakukannya semanis—dan sehangat ini justru akan
membuatnya semakin sakit nantinya.
“Kenapa
kamu bisa ada di sini?” Bianca menghapus air matanya yang tidak dapat berhenti
mengalir.
“Untuk
menemuimu,” Nolan berbisik di telinga Bianca sambil memeluknya. “I miss you, Bi”
Tenggorokan
Bianca tercekat, hatinya terasa ngilu.
“Kamu
kurusan,” Nolan melepaskan pelukannya dan memperhatikan Bianca dari jarak yang
lebih jauh. “Makan yang banyak, jangan bikin aku khawatir”.
“Kamu
udah nggak pernah ngingetin aku buat makan lagi,” Bi berusaha tertawa, tapi
yang keluar hanyalah isakan.
“I’m sorry, Bi,” Nolan kembali menarik
Bianca ke dalam pelukannya, mengelus kepala gadis itu selama yang ia bisa. “Aku
benar-benar minta maaf. Maaf karena nggak bisa lagi berada di samping kamu.”
“Kamu
tahu, setiap hari aku masih bisa ngebayangin suara kamu manggil nama aku. Aku
masih bisa ngerasain pelukan kamu, aku masih bisa ngerasain gandengan kamu di
tangan aku, aku masih bisa ngebayangin sentuhan kami di kepala aku, aku—“ Bi
tidak sanggup melanjutkan.
“Maaf,
Bi,” Nolan membenamkan kepalanya pada bahu Bi. Hal terakhir yang diinginkannya
adalah membuat Bianca menangis karena dirinya. “Maaf. Maaf.”
“I even can smell you in the middle of the
night,” tutur Bianca dengan napas naik turun.
“Sorry, for making it hard for you, Bi,”
bisik Nolan. “Aku harap aku bisa selalu di samping kamu, tapi kalau kamu mau,
kamu boleh—“
“Aku
nggak mau ngelupain kamu, Nolan!” Bianca menarik tubuhnya hingga tatapan mereka
beradu.
“Dengar
dulu sampai selesai, Bi,” Nolan mencubit kecil pipi Bianca. “Aku nggak minta kamu
ngelupain aku. Tapi aku mau kamu tahu, kalau kamu—I mean, if you find someone else in the middle of your journey, it’s
okay for me. I love you, Bi. Always”.
“Nolan…”
Bianca memeluk tubuh laki-laki itu sekali lagi, berusaha merasakan hangat yang
biasa melingkupinya. Namun tubuh itu semakin lama semakin dingin, membuat hati
Bianca seakan ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum es.
“Hei,
Bi,” Nolan mengecup pipi Bianca ringan. “It’s
okay to cry as much as you like, but don’t forget to be happy after it. See you
again, someday up there in heaven, Bi. Aku bakal nunggu kamu. Janji.”
Nolan? Bianca membuka kedua matanya. Ia
menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Matahari belum memancarkan sinarnya
di luar sana.
Air
mata Bianca tiba-tiba saja bergulir tanpa henti membasahi kedua belah pipinya. Until we meet again, Nolan. Lihat aku dari atas sana ya, it will be hard
like hell to continue living without you, but I promise I’ll be happy. I will.
picturetakenfrom:pinterest.com |
I guess it is both a blessing and a curse to be able to love someone deeply. –Bianca