picturetakenfrom:pinterest.com |
“Indah kan?” kamu menoleh seraya tersenyum puas.
Aku hanya mengangguk sambil menikmati langit yang bersalut
awan putih. Kulitku merasakan lembabnya rerumputan tempat kita berbaring.
“Kapan terakhir kali kita seperti ini?” aku menyuarakan
pertanyaan yang sejak tadi bergelut dalam otak.
Kamu berpikir sejenak, aku berani bertaruh kamu juga lupa.
Saking lamanya. Terlalu lama.
“Sudah menemukan apa yang kamu cari, Tuan Petualang?” aku
tidak dapat menyembunyikan nada sinis pada dua kata terakhirku sekali pun ingin.
“Kamu marah?” kamu terdengar khawatir.
Aku menarik napas dalam-dalam. Hari secerah ini bukankah
akan sayang sekali jika harus dihabiskan dengan marah-marah?
“Hei,” kamu menyandarkan kepala ke pundakku.
Aroma shampoomu yang menguar membuatku terbuai. Aku rindu.
“Kenapa aku harus bertahan menunggumu?”
“Cinta?” kamu tertawa kecil.
“Memangnya dengan cinta semua bisa diatasi? Apa cinta bisa
membuatmu sabar? Membuatmu mengerti? Apa cinta sehebat itu?”
“Lalu apa yang membuatmu bertahan sampai saat ini?” kamu
balik bertanya.
“Rasa takut? Aku takut jika suatu hari aku bangun dan
menyadari bahwa kamu tidak akan kembali. Aku takut kehilangan, maka aku terus
menunggu untuk membuktikan aku salah”.
“Jangan takut kalau begitu”.
“Kenapa? Apa yang membuatku yakin kamu akan terus ada?”
desakku. Aku jengah dengan segala basa-basi yang terus berulang ini,”Kamu akan
pergi lagi, berkelana entah kemana, dan aku akan sendiri lagi”.
“Ini pekerjaanku”.
“Aku tahu. Aku berusaha
mengerti”.
“Kamu tahu? Ketika aku sampai di sebuah tempat dan menemui
tempat yang luar biasa indah seperti ini, aku selalu berharap kamu ada
bersamaku. Aku selalu berharap agar kita dapat menyaksikan hal-hal ajaib
tersebut bersama”.
Aku memutar bola mata. “Apa ini salah satu cara untuk merayu
ku? Kalau iya, sama sekali tidak berhasil”.
Kamu tertawa lagi. Kesal rasanya melihat mood mu yang begitu ringan hari ini,
sementara aku membawa berbagai luapan emosi yang tertahan selama ini.
“Bagaimana kamu bisa begitu santai? Apa aku tidak lagi
penting? Apa kita tidak ada artinya
lagi?” Aku nyaris meledak.
“Justru sebaliknya”.
Keningku berkerut.
“Jangan khawatir. Kita akan baik-baik saja. Bukankah aku
bilang jangan takut?”
“Kenapa?”
Kamu bangkit dan menutupi langit di hadapanku dengan
wajahmu. Sorotmu tegas, seperti saat pertama kali kita berkenalan. Lalu aku
mendengar sebuah kalimat itu dari mulutmu,“Karena kamu adalah tempatku
untuk pulang. Selalu. Sejauh apa pun aku pergi”.
No comments:
Post a Comment