I got some money from this short story. Not much, but there is such a happiness when you know there were people appreciating your work. So, here it is, a story that I post to pedemunegeri.com during independence day. This story was inspired by children at Kampus Diakonia Modern. Enjoy:)
#Pede17an cerpen-- Rumah Merdeka
Aku masih ingat saat pertama kali menginjakkan kaki di lantai dingin itu. Saat senyum-senyum kecil menyambutku. Saat mata-mata ingin tahu menatapku dari kepala hingga kaki. Mereka begitu bersemangat, bergitu bersahabat, aku dapat merasakan aura sehangat matahari terpancar dari mereka.
Tapi, tidak. Bahkan jika mereka memelukku pun aku tidak akan luluh. Aku hanya ingin meringkuk di pojokan. Menunduk dalam-dalam. Melipat tubuhku sekecil mungkin hingga tak terlihat. Aku ingin meratap, ingin menangis, ingin mengutuki nasibku yang ditinggal Ibu tadi pagi.
Masih segar dalam ingatanku, suara ban yang berdecit keras, jeritan ibu, histeria orang-orang yang tengah melintas, gelas plastik yang terlempar, dan suara koin-koin yang berdenting menumbuk tanah. Yang kulihat selanjutnya adalah tubuh lunglai ibu yang bersimbah darah. Untuk sedetik yang terasa seperti setahun aku membencinya karena menjadikanku sebatang kara.
*
Sebuah coffee shop di Paris, Perancis.
Aku menghirup uap caramel latte di depanku sebelum menyesapnya dalam-dalam. Sore yang lembab di ibukota, aku dapat melihat orang dengan jas hujan atau payung berlalu lalang melalui jendela di sebelahku.
"Nina," laki-laki yang sejak tadi kutunggu akhirnya datang juga. Ia langsung mengambil tempat di hadapanku.
"Hai," aku tersenyum menyambutnya. Ia santai seperti biasa, dengan rambut yang sedikit berantakan dan senyum kekanakan di wajahnya.
"Udah lama?" tanyanya kasual dalam bahasa Indonesia. Sebagai sesama pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di negeri orang, kami lebih suka berbincang dalam bahasa pertiwi. Lebih 'ngena' begitu menurut Juna.
Aku menggeleng. "Baru aja". Ia memanggil seorang pelayan lalu memesan espresso favoritnya.
"Akhirnya... Besok ya?" Ia kembali menatapku. Tatapan yang sama yang selalu memikatku sejak pertama kali bertemu. Sorot tajam yang menenangkan.
Aku mendesah sambil tersenyum tipis. "Ya. Tiga tahun terasa cepat sekali, terutama jika kamu melakukan hal yang disukai". Juna mengangguk setuju.
Tiga tahun... Tak pernah lagi kuinjakkan kaki di tanah air. Setiap hari kusangkal keinginanku untuk berpulang karena birokrasi akademi.
"Dan tempat pertama yang akan kamu kunjungi adalah tempat itu kan? Apa namanya? Rumah Merdeka?"
"Rumah Merdeka," aku mengangguk bersemangat. Rumah singgah yang mengubah hidupku. Tempat yang menerimaku dalam keadaan terburuk dalam hidupku. Selama delapan tahun di dalamnya, aku akhirnya menemukan diriku, passionku dalam dunia literatur. Dari sana aku mencecap pendidikan meski tidak formal, dari sana pula aku belajar bahasa Perancis yang kini menjadi nadiku. Aku beruntung sekali, tak pernah ku bayangkan sosokku yang kecil kumuh dulu, kini dapat duduk di sebuah kafe mewah jauh dari tanah kelahiranku. Kata Bunda Marni, pengasuhku di Rumah Damai, semua ini anugerah dan hasil kerja kerasku yang tak pernah berhenti belajar. Tapi bagiku, ini adalah hasil pengorbanan Ibu. Tanpa kejadian naas itu, aku tidak mungkin di sini sekarang, dengan gelar sarjana pada namaku. Jika Ibu masih ada, mungkin aku akan tetap mengamen di jalan, atau paling bagus, jadi penjual koran.
Sekalipun kini aku hidup mapan, jangan kira aku pernah bersyukur atas perginya Ibu. Kamu tidak akan dapat membayangkan sakit hatiku ditinggal Ibu. Setiap sebuah kelas selesai di Rumah Merdeka, aku selalu berharap dapat naik ke pangkuan Ibu dan menceritakan apa saja yang sudah kupelajari. Aku ingin dia tahu aku baik-baik saja, aku senang, cukup makan, dan kini aku cerdas. Aku kini tahu mengapa roda mobil dapat berputar, mengapa ada siang dan malam, mengapa langit dapat menangis, tapi Ibu tidak pernah ada untuk mendengarku. Aku ingin Ibu menyaksikan dan menemaniku bertumbuh, Aku ingin ia menasihatiku di hari pertama aku menstruasi, Aku ingin ia mengecupku di hari ulang tahunku yang ketujuh belas, aku ingin ia memelukku di hari aku mendapat beasiswa, aku ingin dia ada... di seluruh momen kehidupanku.
"Kamu akan mengunjungi makam ibu mu?" Juna tahu segalanya tentang ku. Tentang hidupku yang keras dulu di bawah himpitan kemiskinan, tentang Ibu yang memberikan nyawanya dan membebaskan ku dari semua belenggu itu.
"Ya. Ibu memang hanya peminta-minta, tapi dia telah memberikanku hidup yang luar biasa. Aku bisa sekolah tinggi, bertemu denganmu, dan mendapat pekerjaan yang layak. Aku berani bertaruh bahwa Ibu tidak pernah sedetik pun membayangkannya ketika membesarkanku".
Juna tersenyum lembut,"Kemerdekaan... Memang butuh pengorbanan ya?"
Aku menyetujuinya. "Aku yakin, masih banyak anak-anak sepertiku berkeliaran di jalanan Indonesia. Mereka yang memiliki potensi namun masih terjerat kemiskinan. Mereka yang hidup merdeka namun masih tidak berdaya. Aku harap, semua bisa berubah kelak".
"Bukankah untuk itu kamu pulang?" Juna mengingatkan,"Untuk meneruskan jejak Rumah Merdeka dengan caramu sendiri? Untuk memberi kebebasan memilih bagi anak-anak seperti mu? Pergilah, aku akan menyusulmu secepatnya".
Tapi, tidak. Bahkan jika mereka memelukku pun aku tidak akan luluh. Aku hanya ingin meringkuk di pojokan. Menunduk dalam-dalam. Melipat tubuhku sekecil mungkin hingga tak terlihat. Aku ingin meratap, ingin menangis, ingin mengutuki nasibku yang ditinggal Ibu tadi pagi.
Masih segar dalam ingatanku, suara ban yang berdecit keras, jeritan ibu, histeria orang-orang yang tengah melintas, gelas plastik yang terlempar, dan suara koin-koin yang berdenting menumbuk tanah. Yang kulihat selanjutnya adalah tubuh lunglai ibu yang bersimbah darah. Untuk sedetik yang terasa seperti setahun aku membencinya karena menjadikanku sebatang kara.
*
Sebuah coffee shop di Paris, Perancis.
Aku menghirup uap caramel latte di depanku sebelum menyesapnya dalam-dalam. Sore yang lembab di ibukota, aku dapat melihat orang dengan jas hujan atau payung berlalu lalang melalui jendela di sebelahku.
"Nina," laki-laki yang sejak tadi kutunggu akhirnya datang juga. Ia langsung mengambil tempat di hadapanku.
"Hai," aku tersenyum menyambutnya. Ia santai seperti biasa, dengan rambut yang sedikit berantakan dan senyum kekanakan di wajahnya.
"Udah lama?" tanyanya kasual dalam bahasa Indonesia. Sebagai sesama pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di negeri orang, kami lebih suka berbincang dalam bahasa pertiwi. Lebih 'ngena' begitu menurut Juna.
Aku menggeleng. "Baru aja". Ia memanggil seorang pelayan lalu memesan espresso favoritnya.
"Akhirnya... Besok ya?" Ia kembali menatapku. Tatapan yang sama yang selalu memikatku sejak pertama kali bertemu. Sorot tajam yang menenangkan.
Aku mendesah sambil tersenyum tipis. "Ya. Tiga tahun terasa cepat sekali, terutama jika kamu melakukan hal yang disukai". Juna mengangguk setuju.
Tiga tahun... Tak pernah lagi kuinjakkan kaki di tanah air. Setiap hari kusangkal keinginanku untuk berpulang karena birokrasi akademi.
"Dan tempat pertama yang akan kamu kunjungi adalah tempat itu kan? Apa namanya? Rumah Merdeka?"
"Rumah Merdeka," aku mengangguk bersemangat. Rumah singgah yang mengubah hidupku. Tempat yang menerimaku dalam keadaan terburuk dalam hidupku. Selama delapan tahun di dalamnya, aku akhirnya menemukan diriku, passionku dalam dunia literatur. Dari sana aku mencecap pendidikan meski tidak formal, dari sana pula aku belajar bahasa Perancis yang kini menjadi nadiku. Aku beruntung sekali, tak pernah ku bayangkan sosokku yang kecil kumuh dulu, kini dapat duduk di sebuah kafe mewah jauh dari tanah kelahiranku. Kata Bunda Marni, pengasuhku di Rumah Damai, semua ini anugerah dan hasil kerja kerasku yang tak pernah berhenti belajar. Tapi bagiku, ini adalah hasil pengorbanan Ibu. Tanpa kejadian naas itu, aku tidak mungkin di sini sekarang, dengan gelar sarjana pada namaku. Jika Ibu masih ada, mungkin aku akan tetap mengamen di jalan, atau paling bagus, jadi penjual koran.
Sekalipun kini aku hidup mapan, jangan kira aku pernah bersyukur atas perginya Ibu. Kamu tidak akan dapat membayangkan sakit hatiku ditinggal Ibu. Setiap sebuah kelas selesai di Rumah Merdeka, aku selalu berharap dapat naik ke pangkuan Ibu dan menceritakan apa saja yang sudah kupelajari. Aku ingin dia tahu aku baik-baik saja, aku senang, cukup makan, dan kini aku cerdas. Aku kini tahu mengapa roda mobil dapat berputar, mengapa ada siang dan malam, mengapa langit dapat menangis, tapi Ibu tidak pernah ada untuk mendengarku. Aku ingin Ibu menyaksikan dan menemaniku bertumbuh, Aku ingin ia menasihatiku di hari pertama aku menstruasi, Aku ingin ia mengecupku di hari ulang tahunku yang ketujuh belas, aku ingin ia memelukku di hari aku mendapat beasiswa, aku ingin dia ada... di seluruh momen kehidupanku.
"Kamu akan mengunjungi makam ibu mu?" Juna tahu segalanya tentang ku. Tentang hidupku yang keras dulu di bawah himpitan kemiskinan, tentang Ibu yang memberikan nyawanya dan membebaskan ku dari semua belenggu itu.
"Ya. Ibu memang hanya peminta-minta, tapi dia telah memberikanku hidup yang luar biasa. Aku bisa sekolah tinggi, bertemu denganmu, dan mendapat pekerjaan yang layak. Aku berani bertaruh bahwa Ibu tidak pernah sedetik pun membayangkannya ketika membesarkanku".
Juna tersenyum lembut,"Kemerdekaan... Memang butuh pengorbanan ya?"
Aku menyetujuinya. "Aku yakin, masih banyak anak-anak sepertiku berkeliaran di jalanan Indonesia. Mereka yang memiliki potensi namun masih terjerat kemiskinan. Mereka yang hidup merdeka namun masih tidak berdaya. Aku harap, semua bisa berubah kelak".
"Bukankah untuk itu kamu pulang?" Juna mengingatkan,"Untuk meneruskan jejak Rumah Merdeka dengan caramu sendiri? Untuk memberi kebebasan memilih bagi anak-anak seperti mu? Pergilah, aku akan menyusulmu secepatnya".