Dalam
ingatan Diara, Juli tidak pernah sesendu ini sebelumnya. Cuaca yang berangin,
langit yang mendung. Ia merapatkan cardigan
abu-abu yang menyelimuti tubuhnya, matanya mengikuti daun-daun kecoklatan
yang melayang ditiup angin sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Diara selalu
mengingat hari ulang tahunnya sebagai hari yang cerah, hari dimana
kebahagiannya selalu disinari matahari tengah tahun.
“Udah
lama?” Sebuah suara membuatnya menoleh.
Diara
menggeleng, ia menatap wajah yang telah lama ditunggu-tunggunya. “Hai, Al”.
“Happy birthday to the sweetest girl on earth,”
Alec mengecup pipi Diara cepat, lalu menyerahkan satu buket bunga yang sejak
tadi ia sembunyikan di balik punggungnya.
Hydrangea
biru muda, hydrangea putih, mawar putih, dan baby’s breath. Diara menatap karangan bunganya dengan takjub. Karangan
bunga yang persis sama seperti yang selalu ia minta dengan merengek-rengek
kepada Alec. Diara meremas buketnya lebih keras, berusaha menahan keinginannya
untuk memeluk Alec.
“It takes a goodbye to make you give this to
me, huh?” Diara menatap laki-laki yang duduk di hadapannya. Mereka kini berada
di sisi luar Caftee & Bun, tempat dimana mereka dapat menikmati udara sore
tanpa harus diganggu oleh hiruk pikuk di dalam kafe.
Alec
menatap sepatu 3-stripes putihnya. Tembok pertahanan yang susah payah ia bangun
sejak penerbangan dari Houston hingga ke Jakarta runtuh seketika. “I’m sorry that I’ve to ruin your birthday”.
“I can’t forgive you for that,” Diara
tertawa kecil, ia berusaha memfiksasi tatapannya pada Alec. “Kamu tahu? Selama
tiga tahun terakhir aku selalu menantikan bulan Juli lebih dari apapun, bukan
karena Juli adalah bulan ulang tahunku, tapi karena aku tahu kamu akan pulang. You promise me you’ll be home on my birthday”.
Alec
diam. Ia tahu kata-katanya tidak akan memperbaiki apa pun. Ia tahu Diara berhak
marah padanya, tapi bukannya memakinya, gadis itu malah memberinya senyum
termanis yang ingin diingatnya sebelum ia meninggalkan gadis itu. Kamu jahat, Diara.
“Can’t we try to fix this?” Alec
mengangkat wajahnya.
Diara
menggeleng, berharap Alec tidak bertanya sekali lagi, karena, ‘ya’, demi apa
pun ia rela melakukan apa pun untuk bersama Alec lagi. Ia tidak ingin
melepaskan laki-laki itu, walau ia tahu mereka akan gagal lagi dan lagi. Mereka
tetap akan berjalan di tempat yang sama. Berdiri stagnan dan tak bergerak.
Suatu hubungan tidak seharusnya diam di tempat.
“It won’t work between us”.
“It won’t work between us,” Alec setuju.
Ia tahu itu, tapi melepaskan Diara—gadis yang selama tujuh tahun ini mengisi hari-harinya,
rasanya lebih menyakitkan dari yang dibayangkannya. Rasanya seperti merelakan
separuh tubuhnya untuk mati. Rasanya seperti melanjutkan hidup dengan setengah
denyut yang tersisa. Ia tidak tahu apa ia dapat melakukannya.
“Thank you, Al, for being a great boyfriend,” Setetes air mata jatuh di pipi
Diara. Angin yang bertiup semakin kencang membuat tubuhnya bergetar. “I never regret a single day when I was your
girlfriend”.
Alec
mengangguk. Ia merengkuh Diara dalam satu gerakan yang tak terelakkan oleh
gadis itu.
“I love you, Di”.
picturetakenfrom:pinterest.com |