Wednesday, April 20, 2016

a moment with you

“Ck, hujan,” protes Alex di sebelah gue diikuti dengan umpatan-umpatan yang biasa dilontarkannya. “Nggak bawa payung lagi gue”. Gue berjalan di sebelahnya menuju lobby sekolah tanpa komentar, di luar sana kilat dan petir bergantian meramaikan langit yang gelap, hujan deras turun tanpa ampun. Beberapa anak mengeluh karena mereka datang ke sekolah dengan berjalan kaki atau naik motor, sebagian lagi bersyukur karena mereka pulang dengan mobil. Gue sendiri bersyukur karena tadi pagi Ibu memaksa menyelipkan sebuah payung kecil di ransel gue.

“Sialan, baru cuci mobil juga gue kemarin sore,” Alex melanjutkan keluhannya, sementara sudut mata gue menangkap sosok yang familiar sedang berdiri di undakan terakhir lobby.

Kaira. Gadis berambut hitam sebahu itu bergeming menatap tirai hujan yang berjarak kurang dari sepuluh senti dari wajahnya. Ia mengigit bagian bawah bibirnya, matanya terlihat muram.

“Eh, lo mau pake payung gue, Lex?” Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala gue.

“Lo nggak mau pulang?” Alex menatap gue curiga.

“Gue baru inget masih harus nyelesaiin kerjaan OSIS dulu. Paling nanti juga udah redaan hujannya”. Gue mengeluarkan payung biru navy dari rasnel gue dan menyodorkannya pada Alex.

“Bener nih? Gue nggak sungkan-sungkan loh,” Alex mengambil payung gue.

Gue mengangguk yakin.

“Oke deh,” Alex mengangkat bahunya dan tersenyum lebar, mendadak air mukanya menjadi lebih cerah. “Thanks, Bro!” Ia melangkah lebar-lebar menerjang hujan sambil mengembangkan payung meninggalkan gue.

Gue mendekati Kaira setelah Alex menghilang di ujung jalan. “Oi,” sapaan gue membuatnya menoleh. “Nggak bisa pulang ya?”

Kaira mengangguk, rambutnya yang tergerai sempurna di punggungnya bergerak naik turun, membuat gue membayangkan bagaimana rasanya jika dapat membelai rambut itu.

“Nggak bawa payung,” suaranya terdengar kecewa, membuat gue setengah menyesal telah meminjamkan payung gue untuk Alex. Tapi kalau gue minjemin payung gue ke Kaira, gue nggak bisa lama-lama nemenin dia nungguin hujan reda, dong.

“Emangnya ada urusan yang urgent banget sampai harus buru-buru pulang?” Gue berusaha menyembunyikan sebersit rasa bersalah gue karena telah mencuri waktu untuk dapat bersama Kaira.

“Tokonya tutup jam enam sore,” Kaira melirik jam tangannya, gue impuls melakukan hal yang sama. Pukul lima lewat lima menit, pelajaran tambahan untuk anak kelas 12 yang mau UAN memang luar biasa menyebalkan dan menyita waktu.

“Apanya yang tutup jam enam?” Gue menoleh ke arah Kaira, ingin menikmati wajahnya lebih lama, menghirup aroma parfumnya lebih dekat—aroma buahnya yang segar membuat gue ketagihan.

“Toko bunga di dekat. Hari ini hari pernikahan bokap nyokap gue, tadinya gue mau mampir dulu beli bunga, tapi kalau hujannya sederas ini kayaknya mustahil sebentar lagi berhenti,” Kaira menjelaskan dalam satu tarikan napas, suaranya bergetar, terdengar kecewa sekaligus kesal. Gue merasa sebentar lagi air mata akan meluncur turun membasahi pipinya.

“Gue tau kok toko bunga yang tutup lebih malam. Emang agak jauh sih, tapi masih bisa ditempuh jalan kaki. Kalau lo mau nanti gue temenin beli, deh”. Gue menawarkan.

Kaira menoleh. Senyumnya merekah seperti sinar mentari yang menyeruak di antara awan mendung. Manis. Cantik. “Beneran?”

Gue mengangguk, mau tak mau ikut tersenyum melihatnya.  

“Wah, makasih banget! Elo emang penyelamat deh!” Kaira nyaris melompat ditempatnya.

Gue tergelak. Bahagia melihat Kaira sesenang itu.


Hei, Kaira, kalau ada kesempatan lain, boleh kan kita menghabiskan waktu berdua kayak gini lagi?

picturetakenfrom:pinterest.com

No comments:

Post a Comment