“Ck,
hujan,” protes Alex di sebelah gue diikuti dengan umpatan-umpatan yang biasa
dilontarkannya. “Nggak bawa payung lagi gue”. Gue berjalan di sebelahnya menuju
lobby sekolah tanpa komentar, di luar sana kilat dan petir bergantian
meramaikan langit yang gelap, hujan deras turun tanpa ampun. Beberapa anak
mengeluh karena mereka datang ke sekolah dengan berjalan kaki atau naik motor,
sebagian lagi bersyukur karena mereka pulang dengan mobil. Gue sendiri
bersyukur karena tadi pagi Ibu memaksa menyelipkan sebuah payung kecil di
ransel gue.
“Sialan,
baru cuci mobil juga gue kemarin sore,” Alex melanjutkan keluhannya, sementara
sudut mata gue menangkap sosok yang familiar sedang berdiri di undakan terakhir
lobby.
Kaira.
Gadis berambut hitam sebahu itu bergeming menatap tirai hujan yang berjarak
kurang dari sepuluh senti dari wajahnya. Ia mengigit bagian bawah bibirnya,
matanya terlihat muram.
“Eh,
lo mau pake payung gue, Lex?” Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala gue.
“Lo
nggak mau pulang?” Alex menatap gue curiga.
“Gue
baru inget masih harus nyelesaiin kerjaan OSIS dulu. Paling nanti juga udah
redaan hujannya”. Gue mengeluarkan payung biru navy dari rasnel gue dan menyodorkannya pada Alex.
“Bener
nih? Gue nggak sungkan-sungkan loh,” Alex mengambil payung gue.
Gue
mengangguk yakin.
“Oke
deh,” Alex mengangkat bahunya dan tersenyum lebar, mendadak air mukanya menjadi
lebih cerah. “Thanks, Bro!” Ia
melangkah lebar-lebar menerjang hujan sambil mengembangkan payung meninggalkan
gue.
Gue
mendekati Kaira setelah Alex menghilang di ujung jalan. “Oi,” sapaan gue
membuatnya menoleh. “Nggak bisa pulang ya?”
Kaira
mengangguk, rambutnya yang tergerai sempurna di punggungnya bergerak naik
turun, membuat gue membayangkan bagaimana rasanya jika dapat membelai rambut
itu.
“Nggak
bawa payung,” suaranya terdengar kecewa, membuat gue setengah menyesal telah
meminjamkan payung gue untuk Alex. Tapi kalau gue minjemin payung gue ke Kaira,
gue nggak bisa lama-lama nemenin dia nungguin hujan reda, dong.
“Emangnya
ada urusan yang urgent banget sampai
harus buru-buru pulang?” Gue berusaha menyembunyikan sebersit rasa bersalah gue
karena telah mencuri waktu untuk dapat bersama Kaira.
“Tokonya
tutup jam enam sore,” Kaira melirik jam tangannya, gue impuls melakukan hal
yang sama. Pukul lima lewat lima menit, pelajaran tambahan untuk anak kelas 12
yang mau UAN memang luar biasa menyebalkan dan menyita waktu.
“Apanya
yang tutup jam enam?” Gue menoleh ke arah Kaira, ingin menikmati wajahnya lebih
lama, menghirup aroma parfumnya lebih dekat—aroma buahnya yang segar membuat
gue ketagihan.
“Toko
bunga di dekat. Hari ini hari pernikahan bokap nyokap gue, tadinya gue mau
mampir dulu beli bunga, tapi kalau hujannya sederas ini kayaknya mustahil
sebentar lagi berhenti,” Kaira menjelaskan dalam satu tarikan napas, suaranya
bergetar, terdengar kecewa sekaligus kesal. Gue merasa sebentar lagi air mata
akan meluncur turun membasahi pipinya.
“Gue
tau kok toko bunga yang tutup lebih malam. Emang agak jauh sih, tapi masih bisa
ditempuh jalan kaki. Kalau lo mau nanti gue temenin beli, deh”. Gue menawarkan.
Kaira
menoleh. Senyumnya merekah seperti sinar mentari yang menyeruak di antara awan
mendung. Manis. Cantik. “Beneran?”
Gue
mengangguk, mau tak mau ikut tersenyum melihatnya.
“Wah,
makasih banget! Elo emang penyelamat deh!” Kaira nyaris melompat ditempatnya.
Gue
tergelak. Bahagia melihat Kaira sesenang itu.
Hei, Kaira, kalau ada kesempatan lain, boleh
kan kita menghabiskan waktu berdua kayak gini lagi?
|
picturetakenfrom:pinterest.com |