Tangan
kanan Vana mencengkeram cangkir kopi di hadapannya hingga rasa panas membakar
telapak tangannya. Matanya menatap jauh ke depan, kepada tulisan yang
terpampang besar-besar di dinding Caftee
& Bun ‘Everything you want is on the other side of fear’. Sebuah
kalimat yang dengan sangat tepat merangkum semua kegelisahan hatinya.
Vana
menghembuskan napas berat. Ia menatap Alan yang sejak tadi bergeming di
hadapannya. Pandangan pria itu terus terpaku pada satu titik. Sebuah formulir
pendaftaran beasiswa ke Juilliard. Secarik kertas yang dapat menjadi tiket Vana
untuk hengkang dari kehidupan yang menghimpitnya sekarang.
Kamu tuh, Van, jangan suka neko-neko, ya.
Lulus SMA, kuliah kedokteran, ambil spesialis, menikah dengan sesama dokter,
lalu berumah tangga sambil meneruskan karir mu. Ucapan Ibu terngiang-ngiang
di telinga Vana, ucapan yang entah sudah berapa ratus kali diulang Ibu bahkan
hingga kini ia hampir mengakhiri kepaniteraan kliniknya di fakultas kedokteran.
Ucapan yang memaku seluruh keberaniannya untuk membanting setir dan mengambil
kemudi atas seluruh hidupnya.
“Van…”
Alan mendorong kertas yang sejak tadi begitu menarik perhatian Vana. Gadis itu
harus mencengkeram pinggir kursinya erat-erat untuk mencegah tangannya meraih
kertas itu dengan kesetanan. Bagaimana tidak, seluruh mimpinya dapat dimulai
pada selembar kertas itu.
“Bagaimana
kalau gue gagal, Lan?” Suara Vana bergetar. Satu ketakutan terbesarnya adalah
apabila ia gagal kelak, semua orang akan mencibirnya, Ayah dan Ibu akan
memandanganya sinis dan berkata,’Kan sudah kami bilang’.
“Bagaimana
kalau lo berhasil?”Alan menatap mata sahabatnya tajam. “It’s Juilliard, for god’s sake. Juilliard! elo nggak boleh ngelewatin ini, Van! Cuma orang gila yang
menyia-nyiakan kesempatan ke Juilliard. Ini mimpi lo, cita-cita lo!”
Cita-cita. Vana tertegun. Mungkin di
dunia ini hanya Alan yang ingat dirinya masih punya cita-cita, bahwa dirinya
masih punya mimpi untuk menari di atas panggung Juilliard.
“Ayolah,
Van, mau sampai kapan elo terus ngangguk-ngangguk sama nyokap lo? Hidup lo kan
lo yang jalanin, kalau lo nggak bahagia, nyokap dan bokap lo bukan orang yang
akan setiap hari merasakan ketidakbahagiaan lo”.
Alan
benar. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin memberanikan diri untuk keluar dari
kehidupan yang telah diplot Ibu sedemikian rupa, hanya saja ia tidak punya
cukup nyali untuk melakukannya.
“Gue
menyedihkan, ya, Lan?” Vana tersenyum pahit. Lucu bagaimana semua orang melihat
dirinya begitu sempurna, lahir dalam keluarga yang serba berkecukupan, anak
dari dua dokter terkenal yang kini sedang membangun jalan mengikuti kedua orang
tuanya pula. Lucu bagaimana seluruh dunia menilai Ivana Tirtakencana hanya dari
materi, gelar, dan latar belakang keluarganya saja. Padahal ia lebih dari itu,
ia adalah mimpinya, ia adalah tarian yang berhasil ditampilkannya pada sebuah
pentas di gedung kesenian Jakarta tahun lalu, ia adalah keinginannya untuk
hidup lepas dari embel-embel ‘anak dokter’ dan sukses dengan keringatnya
sendiri,
“Elo
menyedihkan kalau lo nggak memperjuangkan mimpi lo, Van.”
Vana
membiarkan jarinya yang bergetar mengambil kertas yang sejak tadi terletak
manis di atas meja. Lagi-lagi Alan benar, ia memang takut untuk membanting
setir, tapi ia lebih takut lagi jika suatu hari nanti ia menoleh ke belakang
dan melihat hidupnya, ia akan menyesal tidak mengambil kesempatan ke Juilliard
hari ini.
Untuk
kali ini saja, ia ingin mencoba memperjuangkan hidupnya sendiri, dengan caranya
sendiri, menurut skenarionya sendiri, bukan skenario milik Ibu.
picturetakenfrom:pinterest.com |