“Cantik…
Cantik… Can-tik”.
Naia
tidak menoleh sampai buku yang sedang dibacanya diambil paksa oleh sesorang.
“Hei,
Cantik,” seorang anak laki-laki tersenyum lebar di hadapannya. Darren? Naia berusaha mengingat-ingat.
Baru seminggu ia berada di sekolah baru, ia belum hafal betul nama teman-teman sekelasnya.
“Maaf,
lo salah orang,” Naia kembali merebut buku bacaannya dari tangan Darren. “Nama
gue bukan Cantik. Dan elo nggak boleh berisik di perpustakaan”.
“Nalissya
Adriana. Naia, kan?” Tutur Darren setengah berbisik, namun nadanya tetap penuh percaya
diri. “Elo cantik”.
Naia
menurunkan buku yang sejak tadi ia angkat hingga menutupi wajahnya. Kalau saja
ia seperti gadis kebanyakan, ia pasti sudah melengos pergi mendengar gombalan
macam ini. “Elo aneh,” kening Naia berkerut.
“Nggak
pernah ada yang bilang lo cantik?” Darren memiringkan kepalanya. Senyum boyishnya yang jenaka sedikit membuat
Naia salah tingkah.
“Cuma
orang aneh yang bilang kalau cewek yang punya luka bakar di muka itu cantik,”
Emosi Naia mendadak tersentil karena Darren membuatnya mengatakan hal yang
paling dibencinya. Darren mengingatkannya pada luka bakar yang memanjang di
sepanjang pipi kirinya. Luka karena kecelakaan dua tahun lalu, luka yang
membuat sebagian besar hidupnya jungkir balik.
“Elo
cantik,” sahut Darren masih tidak mau kalah.
*
“Hei,
cantik”.
“Panggil
gue Naia. Gue nggak cantik,” Naia memutar bola matanya saat seseorang duduk di
sebelahnya. Darren.
Hari
itu jam istirahat kedua, dan ia memilih duduk di lantai teratas sekolahnya,
menikmati semilir angin yang berhembus.
“Tumben
nggak ke perpus hari ini,” Darren mengacuhkan ucapan Naia barusan.
“Gue
males ketemu orang yang tiap hari nyusulin gue ke perpus dan manggil gue
cantik”.
“Elo
emang cantik”.
“Darren, please—“
“Gue
nyanyiin lagu ya,” potong Darren lalu mulai memetik gitar yang sejak tadi
dibawanya.
“Berhenti.”
Ucap Naia tajam,”Gue benci orang yang suka main gitar”.
Darren
menghentikan permainannya. “Oh ya? Kenapa?”
“Benci
aja,” jawab Naia dingin.
“Ah,”
Darren mengangkat kedua alisnya lalu tersenyum lebar,”Gue tahu! Mantan lo suka
main gitar, ya?”
Naia
tidak menjawab, namun tangannya refleks meraba bekas luka diwajahnya.
“Dan
kalian putus gara-gara itu?” Darren yang menyadari gestur Naia membungkukan
tubuhnya, berusaha mencari kedua mata gadis itu.
“Boleh
pegang?” tanya Darren.
“Apa?”
Naia mengangkat wajahnya.
“Gue
mau coba sentuh,” Darren meletakkan tangannya kira-kira lima senti dari pipi
kiri Naia. “Boleh?”
Untuk
sejenak Naia ragu, namun akhirnya ia mengangguk.
“Elo
nggak malu temenan sama gue?” Naia memejamkan mata, merasakan hanganya telapak
tangan Darren di wajahnya. Ibu jari laki-laki itu mengusap lembut bekas
lukanya. Aneh, bukannya merasa risih, Naia justru ingin lebih lama seperti ini.
“That’s cheap,” Darren tidak menjawab
pertanyaan Naia. “Mutusin elo hanya karena hal sepele kayak gini. Lo berhak
dapet laki-laki yang lebih baik”.
“Well, luka bakar di wajah seorang anak
perempuan bukan hal yang sepele, Darren,” Naia membuka matanya, lalu tersenyum
pahit. “I hate myself for years.
Bahkan sampai sekarang.”
“Kalau
gitu, berhenti membenci diri lo dari sekarang,” Darren menatap Naia
sungguh-sungguh. “Everybody have a scar
anyway, punya lo cuma kelihatan lebih jelas aja. Dan, ehm—“ Darren berdeham
sambil menggaruk tengkuknya,”Your scar
makes you look sexy—and tough, I mean”.
“Darren!”
Naia mau tak mau tergelak melihat ekspresi jenaka yang bermain di wajah lawan
bicaranya. “Elo gombal banget sih!”
“Gue
nggak gombal,” Darren tersenyum tulus. “Seriously,
you look beautiful with your mark, Adriana”.
Naia
menggigit bagian bawah bibirnya. Ia tidak tahu harus merespon apa. Wajahnya
memanas dan ia hanya bisa mengalihkan pandangannya ke tempat lain selain wajah
Darren.
“Gue
mainin satu lagu ya,” Darren berdeham, berusaha memecah kecanggungan yang
tercipta.
“Udah
gue bilang, gue benci cowok yang main gitar”.
“Gue
akan bikin lo suka lagi kalau gitu,” sahut Darren tidak mau kalah.
And you will fall in love again, Adriana.
Yes, you will.
picturetakenfrom:pinterest.com |
No comments:
Post a Comment