Pernah mendengar cerita ‘Orang Samaria yang Baik Hati?’ Kira-kira begini ceritanya.
Saya sering mendengar cerita tersebut ketika masih duduk di Sekolah Minggu. Saya mendengarnya, namun tidak pernah berpikir bahwa di tengah lingkungan yang self-centered seperti sekarang, kita masih dapat menemukan ‘orang Samaria yang baik hati’ tersebut. Rasanya mustahil. Dulu, saat masih kecil, saya adalah tipe orang yang mau susah-susah ketika dimintai tolong oleh teman. Intinya, saya selalu mau memberikan yang terbaik untuk orang lain. Tapi, begitu beranjak remaja, saya mulai bertanya-tanya. Apa yang saya dapat ketika memberi banyak bagi orang lain? Setengah ragu saya melihat sekeliling saya, dan mulai menyadari bahwa banyak diantara mereka yang bermental ‘hanya baik kalau ada maunya’. Banyak hal yang telah saya berikan kepada mereka, namun sedikit yang saya dapat. Akhirnya lambat laun saya mulai berubah, saya jadi mengikuti arus dunia. Bersikap masa bodoh dan nggak mau repot apabila menyangkut orang lain, terutama orang asing. Saya hanya memprioritaskan diri saya dan teman-teman dekat saya.
Tapi, beberapa hari yang lalu seakan jadi wake up call untuk saya. Saat liburan ke Jepang adik saya sakit perut, dan begitu diperiksa, dokter mendiagnosis ia terserang flu perut. Penyakit ringan yang akan mereda dalam rentang 12 jam. Namun, setelah setengah hari sakitnya tidak kunjung berkurang bahkan disertai demam. Kami mulai mengira ia kena usus buntu, karena perut kanannya yang terasa sakit. Namun, karena sebentar lagi kami akan kembali ke Indonesia, kami memutuskan untuk diperiksa di Indonesia saja. Begitu diatas pesawat yang membawa kami untuk transit di Singapura sebelum ke Jakarta, kami bertemu dengan seorang pramugari. Pramugari tersebut menyarankan adik saya untuk dicek dulu kondisinya di Singapura, karena apabila meneruskan terbang, ia khawatir bahwa usus buntunya bisa pecah di atas pesawat. Singkat cerita, adik saya tidak boleh melanjutkan terbang dan harus segera dioperasi di Singapura. Yang membuat saya tertegun dan berpikir adalah kebaikan pramugari itu kepada keluarga saya. Selama penerbangan ia selalu menanyakan kondisi adik saya. Begitu sampai di Singapura pun ia dengan rela membantu kami mengurus keperluan untuk transfer ke rumah sakit dan memberika nomor teleponnya untuk dihubungi apabila terjadi sesuatu, dan begitu adik saya di operasi, ia pun datang menjenguk. Hal yang terlalu banyak bagi seseorang yang baru dikenalnya. Pertanyaan terbesar saya: Kok masih ada yah, orang yang seperti itu? Dia bahkan bukan siapa-siapa kami-totally a stranger.
Saya kembali merefleksi diri saya, dan merasa malu. Malu akan ceteknya mental saya dalam mempertahankan hati nurani saya untuk tetap terbuka dan peka. Saya malah sering kali nggak mau repot saat melihat orang lain susah. Saya lebih mementingkan apa yang akan saya dapat nantinya… Saya lupa bagaimana menyenangkannya ketika kita mau menolong orang lain…
Pada suatu hari ada seseorang yang jatuh ke tangan penyamun, ia dirampok, dipukul, dan ditinggalkan dalam keadaan setengah mati. Lalu lewatlah seorang imam, ia melihat namun tidak menolong orang tersebut. Tidak beberapa lama kemudian, lewat juga seorang Lewi, suku yang terpilih dari antara keduabelas suku Israel. Ia melihatnya, tapi juga tidak mau menolong orang asing tersebut. Akhirnya, seorang Samaria melintasi jalan tersebut. Ia melihat orang asing itu dan merasa kasihan. Kemudian ia membalut orang tersebut, dan mengantarnya ke sebuah penginapan serta membayar seluruh biayanya.
Saya sering mendengar cerita tersebut ketika masih duduk di Sekolah Minggu. Saya mendengarnya, namun tidak pernah berpikir bahwa di tengah lingkungan yang self-centered seperti sekarang, kita masih dapat menemukan ‘orang Samaria yang baik hati’ tersebut. Rasanya mustahil. Dulu, saat masih kecil, saya adalah tipe orang yang mau susah-susah ketika dimintai tolong oleh teman. Intinya, saya selalu mau memberikan yang terbaik untuk orang lain. Tapi, begitu beranjak remaja, saya mulai bertanya-tanya. Apa yang saya dapat ketika memberi banyak bagi orang lain? Setengah ragu saya melihat sekeliling saya, dan mulai menyadari bahwa banyak diantara mereka yang bermental ‘hanya baik kalau ada maunya’. Banyak hal yang telah saya berikan kepada mereka, namun sedikit yang saya dapat. Akhirnya lambat laun saya mulai berubah, saya jadi mengikuti arus dunia. Bersikap masa bodoh dan nggak mau repot apabila menyangkut orang lain, terutama orang asing. Saya hanya memprioritaskan diri saya dan teman-teman dekat saya.
Tapi, beberapa hari yang lalu seakan jadi wake up call untuk saya. Saat liburan ke Jepang adik saya sakit perut, dan begitu diperiksa, dokter mendiagnosis ia terserang flu perut. Penyakit ringan yang akan mereda dalam rentang 12 jam. Namun, setelah setengah hari sakitnya tidak kunjung berkurang bahkan disertai demam. Kami mulai mengira ia kena usus buntu, karena perut kanannya yang terasa sakit. Namun, karena sebentar lagi kami akan kembali ke Indonesia, kami memutuskan untuk diperiksa di Indonesia saja. Begitu diatas pesawat yang membawa kami untuk transit di Singapura sebelum ke Jakarta, kami bertemu dengan seorang pramugari. Pramugari tersebut menyarankan adik saya untuk dicek dulu kondisinya di Singapura, karena apabila meneruskan terbang, ia khawatir bahwa usus buntunya bisa pecah di atas pesawat. Singkat cerita, adik saya tidak boleh melanjutkan terbang dan harus segera dioperasi di Singapura. Yang membuat saya tertegun dan berpikir adalah kebaikan pramugari itu kepada keluarga saya. Selama penerbangan ia selalu menanyakan kondisi adik saya. Begitu sampai di Singapura pun ia dengan rela membantu kami mengurus keperluan untuk transfer ke rumah sakit dan memberika nomor teleponnya untuk dihubungi apabila terjadi sesuatu, dan begitu adik saya di operasi, ia pun datang menjenguk. Hal yang terlalu banyak bagi seseorang yang baru dikenalnya. Pertanyaan terbesar saya: Kok masih ada yah, orang yang seperti itu? Dia bahkan bukan siapa-siapa kami-totally a stranger.
Saya kembali merefleksi diri saya, dan merasa malu. Malu akan ceteknya mental saya dalam mempertahankan hati nurani saya untuk tetap terbuka dan peka. Saya malah sering kali nggak mau repot saat melihat orang lain susah. Saya lebih mementingkan apa yang akan saya dapat nantinya… Saya lupa bagaimana menyenangkannya ketika kita mau menolong orang lain…
Finally, I say this in my heart: God, give me a chance to be a Good Samaritan.
No comments:
Post a Comment