Beberapa
waktu lalu, editor saya tiba-tiba menghubungi saya. Kami bertukar kabar, ia
menceritakan proyek yang sedang digarapnya. Lalu, entah darimana ia memberitahu
saya kabar kerjasama editing-nya
dengan seorang komikus yang kebetulan saya kenal pula.
“The editorial last time didn’t work out, btw,”
Begitu ucapnya. “Mostly people just run
away when they start the editing process”.
Tentu
saja saya menyayangkannya, saya pikir karya komikus itu akan menjadi lebih baik
jika digarap oleh editor yang memang sudah banyak makan asam garam.
“You really should give yourself a pat on the
back for working hard on Memoria and everything else,” ia melanjutkan.
Saya
tersenyum tipis waktu itu. Diluar rasa kecewa saya, rasanya saya dapat memahami
apa yang dirasakan komikus itu.
“Aku
rasa editing memang proses paling
tidak menyenangkan dalam menulis, ya,” balas saya.
Karya
saya memang belum sebanyak penulis-penulis lain di luar sana. Namun, lewat
karya yang masih sangat minim itu saya paham bahwa sesungguh proses terberat
dalam menulis bukanlah mencari judul, atau mencari pembuka yang dapat memaku
pembaca di tempat duduknya, bukan pula menciptakan plot twist dan ending
yang mantap, melainkan sebuah proses bernama editing.
Editing sucks.
Karena
pada tahap ini kamu bekerja dengan orang lain, tidak hanya egois menuruti
keinginanmu sendiri. Karena pada tahap ini, semua kerja keras yang sudah kamu
bangun selama berbulan-bulan—atau bahkan bertahun-tahun, dapat luruh seketika
saat editormu bilang ‘ini kurang pas’, ‘masih jelek’, ‘it doesn’t quite right’, atau, ‘maybe
we can change that’. Sering rasanya
ingin berteriak, ‘What?! Of course ‘no!’,
BIG NO!’
Bayangkan
saja, saat saya memberikan draft
naskah ke penerbit, saya tentu sudah memastikan bahwa naskah itu adalah draft terbaik saya. Lalu tiba-tiba
seseorang datang, mengkritik, memaparkan semua kesalahan saya, mengatakan bahwa
rasanya banyak yang harus diberbaiki.
Percayalah, pada tahap ini rasanya seluruh keyakinan dan kepercayaan dirimu
akan rontok satu per satu. Dan diluar rasa kesal dan marah, kamu akan
mempertanyakan dirimu kembali.
Tidak
hanya dalam dunia menulis kok, saya rasa kita pun mengalami hal serupa dalam
kehidupan sehari-hari. Coba bayangkan ketika kamu melakukan sesuatu yang sudah
kamu anggap benar, lalu tiba-tiba datang seseorang mengatakan bahwa perbuatanmu
salah dan harus diperbaiki. Apa yang kamu rasakan? Harga dirimu tentu seperti diobrak-abrik,
bukan? Malu, kesal, marah, itu wajar. Tapi, percayalah, jika kamu tidak lari
sekalipun harga dirimu terluka hebat; jika kamu mau mencoba mendengar,
merendahkan hati sejenak, menganalisa kembali, memastikan bahwa kamu
benar-benar salah dan memperbaikinya, kamu akan berasa beruntung pada akhirnya.
Karena proses editing juga seperti
itu.
Setelah
ribuan kritik yang menghujam kepercayaan diri saya, ketika saya selesai
menghasilkan sebuah karya, saya melihat sebuah karya yang jauh lebih
indah—karya yang saya yakin tidak akan mampu saya buat sendiri tanpa bantuan editor.
Dan pada akhirnya, saya bersyukur karena tidak lari seperti kebanyakan orang.
Selain karena akhirnya karya saya dapat dinikmati banyak orang, ada pengalaman
dan pengetahuan yang tidak akan terbeli dengan uang ketika saya memilih duduk,
dikritik, dan memperbaiki pekerjaan saya.
It may be hard beyond measure, but don’t
run, bare it a little longer, it will be worth in the end!
picturetakenfrom:picjumbo.com |