Kimmy
memejamkan mata sambil menghirup napas dalam-dalam. Suara ombak yang memecah
tepian pantai, angin yang terasa lengket di kulit, aroma laut bercampur garam,
dan yang paling ia sukai—hangatnya sinar matahari yang menyentuh kulitnya. Ia
rindu suasana seperti ini, suasana yang nggak akan ia temukan di Glasgow,
tempatnya bersekolah. Tempat yang musim panasnya bahkan kadang masih dapat
membuatnya mengancingkan cardigannya
rapat-rapat.
Kimmy
membuka mata. Dihadapannya berdiri sebuah kafe kecil bercat putih. Hampir
seluruh sisi kafe itu terbuat dari kaca, membuat interiornya yang bernuansa
putih biru terlihat dari luar.
Sempurna.
Kimmy tidak tahan untuk tidak menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Sudah lama
ia menantikan liburan musim panas seperti ini. Hanya ia, laut, segelas es
kelapa, dan buku Other Colors-nya Orhan Pamuk yang menanti untuk dihabiskan.
Kimmy
melangkah menaiki tangga kayu menuju sebuah sofa kecil yang tampak nyaman.
Namun, baru saja ia hendak menghempaskan tubuhnya di sana, sudut matanya
menangkap sesuatu yang familiar. Ia menoleh ke kanan, ke sebuah balkon yang
menghadap ke laut. Seorang pria berdiri di sana.
Pria
itu berdiri menatap laut dengan kedua siku bertumpu pada pagar kayu di
depannya, rambutnya yang hitam kecoklatan tampak lembut tertiup angin laut,
garis punggungnya yang tegas tercetak jelas dibawah balutan t-shirt putih yang
dikenakannya. Kimmy terdiam selama sepersekian detik. Berusaha mencari tahu apa
yang membuat dirinya begitu tertarik pada sosok itu.
Tepat
saat Kimmy begitu ingin melihat wajahnya, laki-laki itu berbalik. Sepintas
memori melintasi otaknya. Kimmy membiarkan kedua bibirnya terbuka sedikit.
Kedua mata di hadapannya balas menatapnya, manik matanya yang hitam gelap
seakan mampu menusuk jauh ke dalam hatinya. Garis wajah laki-laki itu jauh
lebih tegas dan keras dari yang diingatnya, namun Kimmy tidak mungkin melupakan
wajah itu. Wajah yang pernah mengisi hari-harinya, membuatnya bermimpi dan
berharap, wajah yang pernah membuatnya tersenyum lebar, wajah yang pernah
membuatnya merona, wajah yang pernah dinantikannya setiap hari, wajah yang sama
yang pernah merobek hatinya, membuatnya hancur, dan tak pernah utuh lagi.
“Bill”.
“Kimberly”.
Untuk
beberapa detik yang lama mereka bergeming di tempat masing-masing. Hanya saling
menatap, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hingga akhirnya Bill lebih dulu
mengambil langkah berani.
“Gue
selalu yakin kita bakal ketemu lagi,” Bill menyunggingkan senyum jenaka yang
tak akan pernah Kimmy lupakan. Senyum yang pernah membuat jantungnya berdetak
lebih cepat.
“Oh
ya? Kenapa?”
“Karena
kamu suka laut. Kamu suka pantai”.
Kamu. Kimmy tersenyum tipis, rasanya tak
ada yang berubah dari mereka. Cara Bill memanggil dirinya masih terasa begitu
personal.
“Dan
aku tinggal di tempat yang kamu sukai”.
“Ada
banyak pantai dan laut di Indonesia, kenapa kamu bisa sangat yakin?”
Bill
tertawa kecil. Tawa yang masih begitu menggelitik telinga Kimmy.
Lagi-lagi
Bill menyunggingkan senyum boyish-nya.
Senyum yang jauh lebih hangat dari matahari pesisir. “Karena aku yakin semesta
punya caranya sendiri untuk mempertemukan orang-orang yang ditakdirkan untuk
bersinggungan”.
Kimmy
menaikkan kedua alisnya. “Darimana kamu belajar kata-kata itu?”
Bill
beranjak dari tempatnya, ia berjalan menuju Kimmy. “Hei, maaf kalau aku merusak
liburan musim panasmu, maaf kalau bertemu denganku membuatmu teringat akan
sakit hatimu. Tapi, aku senang kita bertemu lagi, dalam keadaan yang jauh lebih
baik, jauh lebih tenang. And once again
I’d like to say that I’m sorry.”
Kimmy
tak tahan untuk tidak mengulas sebuah senyum tipis di wajahnya. Sebenarnya, ia
juga senang bertemu dengan Bill lagi, dalam keadaan hati yang jauh lebih baik,
tanpa emosi, tanpa sakit hati, tanpa rasa marah. “It’s okay”.
“So, we’re cool?”
“Yeah, we’re cool”.