“Waktu
itu tahun 2013,” Wanita tua di sebelahku berkata seraya memandang jauh ke
langit senja yang menaungi rumah kecil kami. Keriput-keriput di wajah, dan
bagian tubuhnya yang lain semakin jelas dari hari ke hari. Duduknya tak lagi
tegak. Warna rambutnya pun kian menghilang di makan usia. Tapi ia satu-satunya
yang ku punya setelah kakek tutup usia satu tahun lalu. “Ibumu 15 tahun saat ia
tahu kamu ada di dalam kandungannya”.
Aku
sudah mendegar cerita ini berkali-kali. Aku juga tahu bagaimana akhirnya. Tapi
Oma tidak pernah bosan menceritakannya padaku, terutama pada hari ulang tahunku
seperti hari ini.
“Hari
itu, ketika Mama memberi tahu Oma yang sebenarnya. Apa yang ada di pikiran
Oma?” ini adalah pertanyaan yang tidak pernah kulontarkan sebelumnya. Oma tidak
pernah sekali pun menceritakan reaksi dirinya.
“Marah,
tentu saja,” kontras dengan kata-katanya, Oma malah tersenyum menatapku.
Matanya yang sudah lamur membentuk dua buah garis tipis. “Oma tidak mendidik
mamamu menjadi gadis yang bodoh. ‘Cintai dan kenali Tuhan Allahmu terlebih
dulu’ itu yang selalu Oma katakan.”
Aku
terdiam. Oma juga mengajarkan itu padaku. Oma selalu berkata,’Jangan pacaran
kalau hanya ingin merasa utuh. Sebaliknya, merasa utuhlah dulu, baru pacaran’.
Aku tidak mengerti awalnya, namun sekarang di usiaku yang kedua puluh, aku rasa
aku paham. “Lalu, ketika Mama ingin melakukan aborsi, kenapa Oma mencegahnya?”
Oma
menatapku tegas—sedikit kemarahan terpancar dari wajahnya. “Kamu pikir hidup
yang sudah diciptakan dapat dibuang begitu saja? Setiap nyawa adalah berharga,
kamu berharga, terlepas dari bagaimana kamu dilahirkan. Mamamu harus
bertanggung jawab atas dirimu.”
“Tapi
bukankah dengan mempertahankanku, akan ada begitu banyak alasan untuk tidak
mencintaiku?”
“Mamamu
berusia lima belas saat itu. Kekasih yang menghamilinya tidak mau bertanggung
jawab. Mamamu masih memiliki begitu banyak mimpi—cita-cita yang ingin
dikejarnya. Mamamu tidak memiliki pekerjaan untuk menghidupimu. Ia belum matang
secara emosi. Dan terlebih lagi, dokter mengatakan, di usia semuda itu,
melahirkan anak memiliki risiko yang sangat besar. Wajar jika mamamu tidak
menginginkamu”.
“Tapi?”
Aku tahu jawabannya. Tapi aku tidak pernah bosan melontarkan pertanyaan yang
sama hanya untuk mendengar kalimat Oma selanjutnya.
“Tapi,
saat Oma mencegahnya melakukan aborsi, ia tahu jauh di dalam hatinya ia sudah
melakukan hal yang tepat. Mamamu tahu ia mengasihimu. Hanya butuh waktu saja
sampai cinta itu tumbuh semakin besar, hingga ia rela mempertaruhkan nyawanya
untuk melahirkanmu. Makanya ia menulis—“
“Surat
ini,” sambungku sambil mengangkat sehelai kertas kekuningan di pangkuanku.
Tinta di atasnya sudah mengabur, dan di atas tulisan-tulisannya terdapat banyak
bekas air mata yang kuteteskan saat membacanya. Hari ini, di ulang tahunku
yang ke-20 aku akan membacanya sekali lagi.
“Baca
yang keras supaya Oma juga bisa dengar,” pinta Oma sambil membelai kepalaku.
Dear Rhea,
Maaf jika Mama tidak dapat melihatmu
bertumbuh. Maaf membiarkanmu besar tanpa sosok seorang ibu maupun ayah. Maaf
jika kata pertama yang kamu ucapkan bukanlah ‘Mama’ atau ‘Papa’. Maaf bila Mama
tidak ada di sana untuk melihat langkah pertamamu dan menangkapmu ketika jatuh.
Maaf jika Mama tidak dapat mengantarmu di hari pertama masuk sekolah. Maaf jika
Mama tidak pernah ada saat kamu pulang sekolah dan ingin menceritakan semua
keluh kesahmu. Maaf jika kamu tidak pernah bisa menghabiskan waktu berbelanja
dengan Mama seperti remaja putri kebanyakan.
Ketahuilah, Mama sangat ingin melakukan itu
semua. Mama ingin menjadi orang pertama yang mendengar suaramu. Mama ingin
menjadi satu-satunya orang yang merawatmu saat kamu sakit. Mama ingin menjadi
orang yang dapat membacakan dongeng sebelum tidur sampai putri kesayangannya
terlelap, lalu mengecup keningnya sebelum mematikan lampu kamar. Mama ingin ada
di sana untuk memelukmu di saat kamu bersedih dan menangis. Mama ingin menjadi
orang tua yang khawatir saat putrinya pulang larut malam. Mama ingin menjadi
orang pertama yang mendengar tentang cinta pertama gadis kebanggaannya. Mama
ingin selalu ada di sisimu, melihat mu dewasa dari hari ke hari.
Jika kamu membaca ini, berarti Oma memberi
tahumu tentang Mama. Tentang kehadiranmu di usia Mama yang masih terlalu muda.
Tentang kesalahan Mama dan Papamu. Tentang segala pergumulan Mama
mempertahankanmu.
Jika kamu membaca ini, ketahuilah Mama tidak
menyesal memperjuangkanmu. Dan Mama ingin kamu selalu mengingat hal ini: Kamu
bukanlah rancangan kecelakaan. Orang-orang mungkin mengatakanmu kecelakaan,
tapi Mama tahu kamu adalah pemberian Tuhan yang paling indah. Aku mengasihimu.
Sangat mencintaimu. Dan Mama ingin kamu tumbuh dengan mengingat bahwa kamu
sangat sangat berharga. Dan kamu sangat dicintai.
Salam Sayang,
Mama
No comments:
Post a Comment