Thursday, May 14, 2015

until we try

“You must help him,” a friend of mine asked me. Her eyes were all gleaming with tears. For a brief moment I was stunned. Staring at her. Don’t know what to say. I have no idea if I can help him. I never have any idea that I can help him.

“You must help him,” she said it again. Twice. Begging this time. “Please”. I was still in my silence.

Maybe, I thought. Maybe too often we are just don’t realize things that we’re capable of. The truth that we can make a change. Maybe we are just sitting there all this time, waiting for something to happen. But, we don’t realize, that that something maybe won’t happen if we don’t make it happen.

Maybe we think that we are too tiny to make a difference, that we are powerless, incompetent, or too incapable to stand any chance. But the truth is we don’t know anything.
Not a single thing.
Until we try.
To make a change.


A difference.

Monday, May 11, 2015

those days

Tirsa menatap seragam putih abu-abu yang tergantung di pintu lemari kamarnya. Ia menyentuhnya dengan ujung-ujung jari, merasakan lembut dan dinginnya kain menyentuh kulitnya. Ia akan merindukan saat-saat itu, hari-hari dimana ia harus berlomba dengan jarum pendek yang bergerak menuju ke angka tujuh setiap pagi, hari-hari dimana ia harus berkutat dengan deretan angka dan rumus yang bahkan ia tidak tahu gunanya, hari-hari dimana hal yang dikhawatirkannya hanyalah tugas dan ulangan untuk keesokan harinya.

Tirsa tersenyum tipis. Semua itu kini usai.

Ia tidak akan menunggu-nunggu bel yang akan berbunyi setiap 45 menit lagi. Ia tidak perlu lagi buru-buru memasukkan kemeja putihnya yang keluar saat akan berhadapan dengan guru piket. Tidak akan ada lagi ujian matematika yang sanggup membuat siapa pun sakit perut. Tidak akan ada lagi dongeng dari guru sejarahnya yang sanggup membuatnya tertidur di Senin pagi.

Ia akan merindukan hari-hari itu. Rutinitas yang ia pikir selalu ia benci, namun tanpa sadar telah membuatnya jatuh cinta. Teman-teman dan sahabat yang bertumbuh bersamanya, orang-orang yang selama tiga tahun berbagi tawa dan air mata bersamanya.

Ia akan merindukan Vanya, sahabat yang mengetahui segala ceritanya—bahkan hingga yang tergelap sekali pun. Ia akan merindukan Gory, orang yang selalu dapat ia ajak ‘gila’ bersama, mulai dari mengerjai teman hingga guru-guru paling killer di sekolah mereka. Ia akan merindukan Veska dan Tanya, dua perempuan yang selalu menjadi sumber gosipnya, teman yang selalu dapat ia datangi jika ia butuh bantuan saat pergi ke pesta. Ia akan merindukan Glen yang selalu menghabiskan makanannya di kantin, atau bahkan Viory, saingannya dalam memperebutkan peringkat satu. Dan tentu saja, ia tidak akan melupakan Toby, orang yang membuat lembaran pertamanya di SMA menjadi semanis gula kapas.

Tirsa tidak akan pernah melupakan momen-momennya dengan Toby. Debaran pertamanya saat cowok itu untuk pertama kali mengirimkan pesan singkat kepadanya. Wajahnya yang terasa panas saat mereka asik berbincang di tengah pelajaran fisika dan ditegur oleh guru. Perasaan  senangnya saat mereka berdua dihukum membersihkan lapangan bersama sebelum sekolah dimulai. Dan tentu saja, rasa sakit hatinya saat ia mengetahui bahwa Toby menyukai Viory.

“Tirsa!” Sebuah ketukan di pintu membuat Tirsa menoleh. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Gadis yang tiga tahun lalu baru memakai seragam putih abu-abu kini memakai terusan krem selutut yang tampak manis.


“Iya, Van!” Tirsa menyunggingkan seulas senyum sebelum berbalik. Ini adalah malam terakhirnya bersama teman-teman SMAnya, malam terakhir sebelum mereka berpisah mengambil jalan masing-masing. Ia sedih, namun ia bahagia pernah mengenal mereka satu per satu. Dan ia akan bersulang untuk itu malam ini. Untuk segala rasa manis dan pahit yang pernah mampir di hatinya. Untuk segala debaran dan sakit hati yang pernah ia terima. Ia bersyukur untuk segalanya.

picturetakenfrom:pinterest.com

Sunday, May 10, 2015

the reason why

“Kayaknya gue udahan deh,” Windy menghela napas berat sambil menyandarkan punggungnya pada kursi kantin kampus.

“Apanya?” Rei yang sejak tadi menekuni makanannya mendongak saat sahabatnya datang dengan wajah kusut.

“Gue sama Kevin, kayaknya kami udahan deh”.

Really?” Rei mengangkat kedua alisnya. “After these eight years?

After these eight years.” Ulang Windy,”What’s so glorious about eight years? Orang-orang bilang gila gue pacaran awet banget. But sometimes things don’t just work out and we have nothing to do about it”.

“Elo nggak mau coba memperjuangkan lagi, Win?”

“Elo pikir gue nggak mikir sejuta kali sebelum bilang kayak gini? Delapan tahun, Rei. Delapan. Elo pikir apa yang gue sama Kevin udah coba lakuin untuk hubungan kami?”

Rei terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

“Cinta itu bukan hitung-hitungan di atas kertas, Rei”.

Tepat saat itu, ponsel Rei berbunyi, dan laki-laki itu tersenyum tipis saat melihat pesan yang masuk ke dalam ponselnya. “Gue tahu,” Rei menjawab sekenanya.

Oh tentu saja, Rei adalah salah satu orang yang paling tahu hal itu. “Mia?” Tebak Windy. Karena kalau cinta adalah hitung-hitungan di atas kertas, Rei tidak akan bersama Mia saat ini.

Rei mengangguk. Ia memperlihatkan foto makanan yang baru saja dikirim Mia kepada Windy.

“Masuk rumah sakit lagi?” Windy melihat sticker yang tertera di bawahnya. Mia tentu saja tidak suka makanan rumah sakit.

“Udah dari tiga hari lalu,” jawab Rei. “Habis ini gue mau ke sana. Mau ikut?”

“Boleh, udah lama gue nggak ketemu Mia,” Windy mengangguk. “Tell me, Rei. Apa yang membuat lo nggak pernah ninggalin Mia?”

“Elo tahu gue sempat berpikir untuk nyerah berkali-kali,” Rei memutar bola matanya.

“Tapi lo nggak pernah benar-benar ninggalin dia”. Windy menatap Rei. “Apa yang membuat lo bertahan? Mia bukan orang yang bisa lo ajak jalan-jalan kemana pun lo mau, dia bukan orang yang bisa nonton pertandingan futsal lo dan nyorakin lo dari pinggir lapangan. Mia bukan orang yang bisa lo ajak naik gunung sesuai dengan hobi lo, dia bahkan nggak bisa lo ajak berdesak-desakan di tempat umum.”

Rei mengaduk es jeruknya dengan tatapan menerawang. Seulas senyum tipis menghiasi bibirnya. “Berada di samping Mia nggak pernah mudah, Win. Melihat Mia berjuang melawan lupusnya selalu semakin sulit setiap hari. Dan seperti yang elo bilang, lupus membuat Mia nggak bisa melakukan banyak hal. Kami nggak pernah kencan di luar ruangan siang-siang karena Mia nggak bisa kena panas matahari, gue nggak bisa ajak dia nonton konser yang mau gue tonton, dan masih banyak lagi. Iya, kadang gue iri dengan pasangan lain, kegiatan kami begitu terbatas. Iya, kadang gue kesal Mia nggak bisa diajak capek dikit. Dan iya, sering banget gue mikir bahwa mungkin lebih baik gue sama Mia udahan aja. Toh, Mia juga minta putus saat pertama kali dia tahu dia kena lupus. Kami baru pacaran, dan kehidupan setelah pacaran pasti akan lebih sulit. Mia bilang kami mungkin nggak akan punya anak, dan gue dia juga nanya apa gue siap nemenin dia yang sakit-sakitan seumur hidup.”

Windy menunggu Rei melanjutkan.

“Tapi di saat gue pengen banget nyerah, kehidupan tanpa Mia lebih menakutkan buat gue. Karena rasa es krim yang gue makan nggak akan semanis dulu lagi, dan musik yang gue dengar nggak akan seindah saat gue mendengarnya dengan Mia. Lagi pula, gue bisa ngebayangin Mia akan melakukan hal yang sama kalau keadaannya terbalik. Ingat saat SMA dulu, waktu tangan kanan gue patah? Mia tiap hari datang ke kelas gue untuk nyalinin catatan gue selama tiga bulan penuh.”

“Walau kadang ngomel dan minta traktiran,” Celetuk Windy sambil tersenyum nostalgis. Ia tahu sahabatnya memilih orang yang tepat, walau sebagian orang tidak melihatnya demikian. “Menurut lo kalian akan menikah?”


Rei mengangkat bahu. “Perjalanan gue dan Mia masih panjang. Gue tahu dia bisa hidup seperti orang normal selama ia berobat dengan baik. She’s Mia after all. Tapi hubungan kami juga nggak akan mudah, dan gue nggak tahu apa yang akan kami hadapi nantinya. Seperti yang lo bilang, cinta bukan hitung-hitungan di atas kertas. Tapi untuk sekarang, gue hanya ingin di sampingnya—di saat ia paling membutuhkan gue dalam hidupnya. Gue ingin berjuang bersama Mia. Gue rasa itu cukup”.


What are words
If you really don't mean them
When you say them

What are words
If they're only for good times
Then they're done

Every single promise I'll keep
Cause what kind of guy would I be
If I was to leave when you need me most

I'm forever keeping my angel close

-What Are Words

picturetakenfrom:pinterest.com