Yesterday is the eighteenth day I wrote my
reflection. Jadi, saya dan beberapa teman gereja mengadakan kesepakatan
untuk saat teduh setiap hari. Kalau ada satu orang yang bolong saat teduh satu
kali, maka semua anggota lain harus membayar sebesar Rp 5.000,00 rupiah. Jujur,
buat saya nggak terlalu susah sih untuk rutin saat teduh, soalnya memang selama
ini saat teduh saya jarang bolong. It’s a
habit, I guess. Tapi, satu hal baru yang saya dapat dari kesepakatan ini
adalah refleksinya. Kalau biasa refleksi saya cuma sekadar lalu atau bahkan
cuma baca doang tanpa merenungkan isinya, sekarang karena harus menulis
refleksi tiap hari, saya jadi spare waktu
lebih untuk berefleksi. Sisi bagus lainnya adalah, jurnal saya jadi ada isinya,
hehe.. (berhubung saya paling nggak bisa tahan kalau liat jurnal lucu-lucu, tapi
habis beli nggak tahu harus diisi apa, soalnya saya sebenarnya udah punya
jurnal yang biasa saya bawa kemana-mana untuk nulis ide-ide yang muncul kapan
aja)
Balik
ke poin utama saya menulis ini, saya ingin share
apa yang saya dapat dari saat teduh semalam. Udah beberapa hari ini
renungan yang saya baca membahas kitab Kisah Para Rasul, terutama bagian saat
Paulus diadili di hadapan Agripa dan akhirnya harus di bawa ke pengadilan Roma.
Di tengah perjalanan menuju Roma, kapal yang ditumpangi Paulus diterjang badai.
Para awak kapal yang ketakutan buru-buru menyiapkan sekoci untuk menyelamatkan
diri, tapi Paulus berkata bahwa mereka harus tetap bersama-sama jika ingin
selamat. Maka, para prajurit yang ada di kapal itu memotong tali sekoci agar
tidak ada awak yang dapat melarikan diri (Kis 27: 27-38). Dalam bacaan ini ada
empat kelompok yang menjadi sorotan utama dalam kapal. Ada para pelaut yang
begitu mengenal lautan dan berpengalaman dalam menghadapi badai, ada prajurit
yang menjaga ketertiban seluruh penumpang, ada kepala pasukan yang menjadi
ketua dan mengarahkan jalannya kapal, dan yang terakhir para tawanan. Paulus
dalam hal ini masuk dalam golongan yang terakhir.
Walaupun
Paulus hanya seorang tawanan, tapi lihat apa yang Tuhan lakukan atas dirinya.
Paulus diberi kuasa. Kuasa untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Tuhan
tidak memakai para pelaut yang sudah begitu berpengalaman menghadapi kerasnya
lautan, Ia juga tidak memakai prajurit maupun kepala pasukan yang memiliki
jabatan lebih tinggi. Tuhan memakai seorang tawanan—seorang Paulus untuk
menyatakan kuasaNya.
Coba
lihat diri kita. Seberapa sering kita memperhitungkan posisi yang kita miliki?
Seberapa sering kita meremehkan posisi yang lebih rendah? Dari contoh yang
kecil aja, pelayanan di gereja misalnya. Jangan-jangan kita nggak mau pelayanan
kalau nggak berdiri di depan, jadi PL, singer, atau pemusik. Jangan-jangan
pelayanan kita ogah-ogahan saat kita harus berada di belakang layar. Semoga
nggak ya. Karena kalau iya berarti kita sudah salah fokus. Pelayanan dan hidup
kita bukan lagi berfokus pada Tuhan tapi malah berfokus pada diri kita sendiri.
Remember, it’s not about you. It’s not about you at all.
We live to glorify the King. Nggak
peduli apa pun posisi kita—di posisi paling rendah sekali pun, Tuhan bisa
memakai kita. Makanya, bukan posisi atau jabatan yang paling penting, melainkan
nama Tuhan yang dipermuliakan. Ketika berada di bawah, ingat bahwa Tuhan tetap
berkarya atas kita. Dan, ketika di atas, remember
to not steal His spotlight! To God be the glory!
picturetakenfrom:privatecollection |
No comments:
Post a Comment