Saturday, May 19, 2018

Sebuah Paradoks



Those with humility do not seek their own honor. Yet they are the ones who receive it.(Humility comes before—leads to—honor)

Timothy Keller menuliskan kalimat tersebut dalam bukunya yang berjudul God’s Wisdom for Navigating Life. Sebuah paradoks yang terus terjadi sepanjang sejarah Alkitab. Tentang Allah yang memakai Sarah dan bukan Hagar untuk melahirkan keturunan Yesus; tentang Allah yang memilih Lea dan bukan Rahel; memilih Yakub daripada Esau; dan Daud daripada saudara-saudaranya yang lebih dewasa dan ‘meyakinkan’ di mata manusia. 

Kisah-kisah seperti ini adalah kisah yang umum terjadi di Alkitab—kisah tentang Allah yang memakai mereka-mereka yang terlupakan dan tak dikenal. Bahkan Allah sendiri turun ke dunia sebagai seorang anak tukang kayu alih-alih menjadi seorang panglima atau raja. Ia bahkan tak hidup untuk memenangkan kekuasaan, melainkan mati di kayu salib untuk membawa keselamatan bagi dunia. Penghinaan yang diterimanya di atas kayu salib mengantarkanNya pada sebuah kehormatan dan kemuliaan yang lebih besar. Sebuah fakta yang mengingatkan kita bahwa kekuatan terbesar sesungguhnya berada pada mereka yang cukup kuat untuk dapat menjadi lemah.

Sebuah kebaktian yang saya dan Benhard hadiri beberapa bulan lalu mengundang anak-anak sekolah minggu untuk mengisi pujian. Mereka membawakan dua buah persembahan pujian. 

Awalnya lagu yang dibawakan berjalan lancar, saya menikmati suara mereka yang terdengar murni dan 'angelic'. Namun, saat masuk lagu kedua, iringan piano tiba-tiba terputus. Salah intro rupanya. Anak-anak pun jadi terlihat bingung untuk masuk lagu.

Otomatis perhatian saya beralih ke si pemain piano yang ternyata adalah seorang bapak tua. Bapak itu mencoba lagi, namun sekali lagi, ia gagal. Raut kecewa dan frustrasi tampak jelas di wajahnya. Ia mengacak-acak rambutnya yang mulai memutih. Untungnya, setelah beberapa detik yang saya yakin terasa amat panjang baginya, ia dapat kembali fokus dan mengiringi pujian dengan baik.

Sebuah komentar dari Benhard,”Hebat ya mereka, mau memberi kesempatan orang yang baru belajar seperti itu untuk mengiringi”.

Saya setuju. 

Tua dan minim pengalaman. Bukankah hal tersebut sering menjadi alasan yang cukup bagi kita untuk membatasi seseorang dalam berkarya? Melihat anak-anak sekolah minggu yang tetap menyanyi seolah tak terjadi apa-apa, dan melihat senyum gembira mereka saat persembahan mereka selesai membuat saya salut sekaligus berpikir ulang. Jangan-jangan, sikap kita yang cenderung menilai seseorang dari kemampuannya justru membuat orang lain undur nyali untuk melayani. Padahal, Allah memakai mereka yang terlihat lemah dan tak rupawan adalah sebuah kisah klasik yang seharusnya tak boleh kita lupakan. 

“Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan.”-Amsal 15:33

Saya percaya kemampuan itu penting. Tapi hati yang mau melayani jauh lebih bernilai. Karena kemampuan bisa diasah kalau terbatas, tapi hati yang sedia dan mau merendah datangnya dari atas. 

Dan untuk kalian yang mungkin sedang meragu—terpanggil namun merasa tak mampu, ingatlah bahwa rupa dan kuat kita sesungguhnya bukanlah pengukuh paling mutlak. Ia yang melihat hati yang akan memampukan.

Thursday, October 19, 2017

Hidup Taat, Sebuah Peregangan Iman ala Tuhan


Ketika kita sedang lelah mendaki, mungkin tak jarang kita mendongak, dan melirik iri mereka yang sudah meraih puncak. Lalu muncul pertanyaan, "Untuk apa memikul  salib dan mengikut Dia, jika hidup mereka-mereka yang tidak melakukannya terlihat lebih menyenangkan?"

Baru-baru ini saya kembali menekuni pilates setelah sempat hengkang selama hampir satu tahun. Badan rasanya remuk redam, padahal gerakan-gerakan pilates mayoritas adalah peregangan dan gerakan-gerakan dinamis yang tidak terlalu heboh. Rasanya seperti kembali ke hari-hari pertama dulu, saat saya baru mengikuti kelas ini. Kata Mama, kalau ikut pilates tuh kayak langsung ketahuan semua jelek-jeleknya badan kita. Padahal sehari-hari kita merasa tidak ada yang salah dengan tubuh kita, rasanya sama-sama saja seperti orang lain; namun, begitu ikut pilates dan bertemu instruktur, baru deh ketahuan bahwa ternyata banyak sekali postur atau posisi tubuh kita yang ngaco.

Sejak ikut pilates saya jadi lebih ‘aware’ dengan postur tubuh saya, dan menyadari bahwa ternyata nggak gampang mengubah ‘posisi standar’ tubuh kita yang sudah salah selama bertahun-tahun. Butuh perjuangan yang tidak sebentar dan tidak mudah hingga tubuh kita mampu ‘mengingat’ posisi tubuh yang benar. Butuh latihan yang menyakitkan dan kesabaran ekstra untuk memperbaiki postur dan melenturkan tubuh yang terlanjur kaku.

Mungkin hidup ini juga demikian. Tak jarang kita berpikir, si ‘A ‘yang jauh dari Kristus tapi kok hidupnya ‘fine-fine’ aja, bahkan malah terlihat lebih santai dan tanpa beban. Jadi apa bedanya hidup dengan dan tanpa Kristus?

Kalau secara selintas kita lihat, seringkali hidup orang yang dekat dengan Kristus dengan orang yang tidak percaya rasanya sama-sama saja. Orang yang tidak kenal Kristus juga bisa sukses, bisa bahagia, bisa hidup mewah dan melimpah. Tapi, bila dilihat lebih dekat dan mendetil, tentu kita akan dapat melihat dan merasakan perbedaannya.

Sama seperti gerakan-gerakan pilates yang kebanyakan tidak ‘high impact’ namun sanggup membuat badan pegal-pegal. Hidup kita juga mungkin lebih sering ‘ditarik’ dan ‘diregang’ Tuhan melalui hal-hal kecil. Ia membentuk kita melalui kebiasaan-kebiasaan kecil—masalah sehari-hari, yang tanpa sadar mampu membentuk dan mempertahankan ‘postur’ iman dan karakter kita. Mungkin kalau dilihat sekilas tak berbeda dengan mereka yang hidup tanpa Kristus, tapi kalau diuji, kamu akan merasakan sendiri bedanya.

Jadi, kalau kita sempat berpikir dan melirik iri pada mereka yang hidupnya terlihat enak tanpa Kristus, buanglah jauh-jauh pikiran itu. Memikul salib memang bukanlah perkara mudah, bahkan tak jarang menyakitkan, tapi dengan demikianlah Allah membentuk kita. Menjadikan kita menjadi lebih kuat dan berkualitas dari yang lain.


Selamat menjadi berbeda!

Tuesday, October 17, 2017

Pecundang yang Menang dan Pemenang yang Kalah

Kalau mau ditarik mundur, rasanya konsep menang-kalah sudah begitu melekat dengan diri kita sejak kecil. Sejak kita belajar bersosialisasi dan berteman, sejak kita mulai bermain petak jongkok dan galasin bersama kawan di halaman rumah; sejak kita mengenal basket, sepak bola, dan olahraga lainnya; dan tentu saja sejak kita duduk di bangku sekolah dan berlomba-lomba meraih peringkat tertinggi.

Kita begitu akrab dengan konsep menang kalah ini. Yang duduk di ranking 10 besar dianggap berhasil, sementara sisanya gagal; yang berhasil menang lomba dipuji-puji dan dibanggakan, sementara sisanya hanyalah pecundang; begitu seterusnya. Dan sedihnya, hingga kita dewasa, kita begitu terbawa dengan konsep menang kalah yang seringkali hanya merupakan kamuflase semata.

Kita jadi terbiasa mengukur orang dari apa yang mereka miliki, seberapa sering mereka jalan-jalan keluar negeri, apa jabatannya di kantor, mobil apa yang dikendarainya, siapa pasangan hidupnya, tas merk apa yang dipakainya, sudah menikah atau belum, sudah punya anak atau belum, sudah mapan atau belum, dan seterusnya. Bahkan parahnya, kita seringkali jadi menghakimi dan membenci diri kita hanya karena konsep ‘menang-kalah’ atau ‘sukses-gagal’ yang keliru ini. Padahal menang kalah bukan sekadar angka, bukan sekadar prestasi, bukan sekadar jumlah uang yang bisa diukur dan dihitung, dan tentu saja bukan sekadar pencapaian hidup yang gemilang dan berlimpah.

Tidak percaya?

Tengok saja Bapak Mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini sedang menjalani masa tahanannya. Kekalahannya dalam proses peradilan memang membuatnya harus menjalani hidup di balik jeruji, namun apakah ia layak disebut sebagai seorang pecundang?

Menang atau kalah, sukses atau gagal, tidaklah sesederhana menghitung jumlah gaji, menakar jabatan, atau berlomba agar terlihat bahagia. Pada akhirnya kualitas kita ditentukan oleh karakter dan sikap hati. Sejatinya, seorang pemenang adalah mereka yang walau terlihat kalah oleh dunia, tetap menjaga iman dan integritasnya dalam hidup. Jadi, jika sekarang kamu sedang merasa kalah atau tak berhasil, jika kamu sedang merasa tertinggal, atau merasa hidupmu tak bergerak, jangan kecil hati. Ingatlah dalam sebuah permainan selalu ada mereka-mereka yang mengalah untuk menang, selalu ada mereka-mereka yang tak dijagokan namun bermain sportif, dan selalu ada mereka yang mengalah demi si anak bawang ;)


Selamat menjadi pemenang!

picjumbo.com

Monday, June 5, 2017

senandung sumbang di kelas sosiologi

Dulu, waktu saya masih di kelas 10, ketika belum ada pembagian kelas IPA-IPS  dan kami masih harus mempelajari semua mata pelajaran tersebut, ada satu mata pelajaran IPS yang benar-benar tidak saya sukai: Sosiologi.

Saya tidak membenci ilmunya, saya juga tidak membenci guru yang mengajar pelajaran tersebut. Saya membenci pelajaran sosiologi karena pelajaran ini mengharuskan saya menyanyi. Hampir pada setiap pertemuan, guru sosiologi kami akan memberikan pertanyaan, dan bagi yang salah menjawab pertanyaan tersebut, maka ia harus menyanyi di depan kelas pada pertemuan berikutnya. Saya tidak bisa menyanyi. Buat saya, pelajaran sosiologi adalah pelajaran paling menegangkan dan menyebalkan sepanjang kelas 10.

Beruntungnya, saya hampir berhasil melewati sepanjang tahun pertama saya di SMA dengan aman. Hampir. Karena ketika tinggal sedikit lagi menuju kenaikan kelas, satu pertanyaan membuat saya terpaksa harus menyanyi. Satu-satunya pertanyaan yang membuat saya harus memperdengarkan suara sumbang saya di depan kelas.

Menyebalkan? Sangat. But, that’s life. Shit happens. Hal-hal buruk terjadi di luar kendali kita. Saya tidak bisa terus menerus menjadi orang yang duduk di bangku belakang, menonton dan tertawa ketika melihat teman saya menyanyi di depan kelas. Sepandai-pandainya saya menjawab pertanyaan, pada akhirnya saya harus menyanyi juga—gantian menjadi orang yang ditertawai. Memang menyebalkan, tapi jalani saja. Seperti apa pun masalahmu hari ini. Seburuk apa pun itu, bersabar dan hadapilah. Nothing lasts forever anyway ;)




Wednesday, March 15, 2017

bukan dari semahal apa harganya.

Sekolah kedokteran membawa saya merasakan ‘sensasi’ tidur di banyak tempat. Mulai dari di atas lantai dengan hanya beralaskan selembar sleeping bag atau matras tipis, di ranjang kost-an yang ketika ditiduri kayunya berderit dan spring bed-nya melesak ke dalam, di atas sofa keras yang pernya menusuk tulang belakang, sampai tertidur di kursi dengan posisi duduk.

Orangtua saya bisa saja menyediakan ranjang yang empuk di kamar saya, memesan hotel berbintang dengan ranjang yang nyaman selama berlibur, tapi lucunya, saya merasa bahwa waktu tidur yang paling berharga justru bukan di tempat-tempat paling nyaman tersebut. Bukan tempat tidur full latex yang mengingatkan saya bahwa tidur adalah sebuah barang mewah, melainkan kerja keras sepanjang hari tanpa jeda. Saya jarang sekali teringat untuk bersyukur atas waktu tidur yang saya miliki ketika sedang libur di rumah. Sebaliknya, waktu tidur satu hingga dua jam di rumah sakitlah yang membuat saya bersyukur bahwa saya masih diberi kesempatan untuk beristirahat.

Jadi, kalau dipikir-pikir ternyata bukan seberapa mahal, seberapa nyaman, seberapa mewah tempatnya. Bukan seberapa banyak nilai materi yang melekat yang membuat suatu hal jadi berharga. Seperti tidur yang sangat berharga walau hanya diatas sehelai sleeping bag dan di atas lantai yang berdebu, seperti satu jam waktu tidur di tengah lelahnya jaga malam, banyak hal di dunia ini yang harganya tidak dapat dipatok berdasarkan angka, rupiah, dan gengsi.

Bersyukurlah :) 



Friday, March 3, 2017

resisten.

Dalam dunia medis, ada istilah resistensi antibiotik—resistensi yang terjadi pada bakteri terhadap suatu antibiotik. Dalam dunia teknik atau fisika, ada juga istilah resistensi listrik.

Saya rasa, manusia pun punya resistensi.

Banyak menghabiskan waktu di rumah sakit kadang membuat saya berpikir, saya jadi kebal terhadap penderitaan banyak orang. Kebal terhadap kesedihan mereka, kebal terhadap kekhawatiran mereka, kebal terhadap segala emosi yang terjadi dalam diri orang lain.

Tapi, diantara semua resistensi itu, saya rasa yang paling menakutkan adalah resisten terhadap kebahagiaan.

Bisa bayangkan ketika kita kebal terhadap hal-hal yang seharusnya membuat kita bahagia?

Sedih. Kecewa. Marah. Tentu saat kita menjadi resisten terhadap rasa bahagia, kita akan kehabisan alasan untuk bersyukur. Hidup akan terasa sangat melelahkan. Hari-hari akan terasa sama kalau tidak semakin kelabu.

Ingat ketika dulu kita pernah berbahagia karena setangkai lollipop? Atau melonjak kegirangan saat mendengar tukang es krim lewat di depan rumah? Bukankah kita berhenti bahagia karena hal-hal tersebut? Bukankah permen, es krim, gulali, sepeda, menjadi hal yang biasa bagi kita sekarang? Bukankah bahagia kita menjadi semakin mahal dan semakin kompleks? Semakin bergengsi dan semakin fana?

Berbahagialah. Berbahagialah untuk hal-hal kecil. Berbahagialah karena tidak semua hal sederhana yang ada padamu dapat dimiliki orang lain. Bersenang-senanglah untuk segala hal yang patut disyukuri. Tersenyumlah. Cobalah untuk melihat segelintir cahaya di tengah gelap.

Hari-harimu boleh saja melelahkan, membosankan, menyebalkan, menyedihkan, tapi ingat,

jangan pernah lupa untuk bahagia.