Monday, August 27, 2012

A Journey to Eighteen Years Ago


There is a white-old-photo album in our living room’s cabinet. And yesterday, my little brother opened it.

Isinya foto-foto saya waktu masih bayi. Tinggal di kontrakan yang ukurannya mungkin hanya sebesar garasi rumah kami yang sekarang. Yang televisinya saya ingat betul ditaruh dalam lemari baju karena tidak ada tempat. Yang lantainya masih semen. Yang setiap sudut dindingnya dipenuhi coretan tangan saya. Yang kalau mau ambil air harus mompa manual dulu.

Lalu, kami tiba pada foto ulang tahun saya yang kedua. Saya berdiri sambil tersenyum gembira dalam kamar dengan kue tart dan lilin yang menyala-nyala. Melihat foto itu, Papa nyeletuk,”Dulu, nggak ada orang aja masih dirayain ya?” Saya mengangguk. Rumah kami yang sekarang dipenuhi banyak orang. Mama, Papa, saya, dan keempat adik saya, belum lagi kakek, nenek, dan PRT. Setiap ada perayaan ulang tahun pasti jadi ramai.

Rumah tempat saya lahir dulu memang jauh lebih kecil dari yang sekarang. Lebih sempit dan sepi. Tapi disanalah saya melangkahkan kaki saya untuk yang pertama kali, mengeluarkan sepatah kata untuk yang pertama kali, merayakan ulang tahun saya untuk yang pertama kali dengan ditemani kedua orang tua saya. Di rumah itulah saya menciptakan kenangan-kenangan masa kecil saya, mencetak foto-foto pertama saya, membaca buku pertama saya, dan belajar banyak hal yang serba pertama.

Kalau melihat dimana saya berada sekarang, saya nggak pernah menyesal—bahkan bersyukur pernah tinggal dikontrakan itu. Saya bersyukur pernah jadi bagian dari perjuangan orang tua saya, yang selalu mengingatkan saya bahwa Tuhan begitu baik kepada keluarga kami. Saya senang pernah tinggal di sana, karena kalau nggak, saya nggak akan bergereja di gereja saya yang sekarang, saya nggak akan bertemu teman-teman saya yang sekarang. Kalau pulang gereja, saya masih sering melewati kontrakan saya dulu, melihatnya selalu sanggup membuat saya tersenyum—berterima kasih untuk setiap pahit manis yang pernah saya kecap di sana.

Friday, August 24, 2012

Potongan Terakhir


Mereka bilang jika kamu diperhadapkan pada sebuah peristiwa yang hampir merenggut nyawamu, seluruh kilasan kejadian dalam hidupmu akan muncul bagai rentetan adegan film yang di fast forward.

Mungkin itu juga yang baru saja ku alami.

Kue ulang tahun dengan lilin angka 5 yang menyala-nyala; sepeda roda dua pemberian Ayah; seragam putih biru yang kukenakan sambil berputar-putar di depan cermin; pelukan kedua orang tuaku; kelas di mana aku pertama kali melihatmu 7 tahun lalu; hangatnya genggaman tanganmu; suara rendahmu yang kerap memarahiku saat salah, menghiburku saat sedih; kebaya wisuda SMA yang ku pesan jauh-jauh hari; hamparan bintang di langit Jakarta yang kita lihat bersama pekan lalu.

Aku tidak dapat melihat apa pun. Udara terasa begitu pengap dan berat. Jeritan-jeritan histeris di luar sana terdengar samar. Jantungku berdebar kencang. Aku tahu seharusnya aku panik. Bangkit, dan mencari jalan keluar. Tapi, seluruh kegelapan ini seakan melindungiku. Membuatku betah berlama-lama daripada harus menghadapi apa yang terjadi sebenarnya.

Bukan. Bukan aku memilih mati. Hanya saja tempat ini memberiku ruang untuk menyendiri. Menyediakan jeda yang selama ini aku perlukan. Berbaring tak berdaya di sini membuatku merasa seakan terasing dari perputaran semesta. Menjadikanku pengamat, individu yang terlepas dari dimensi waktu dan tempat. Aku ingin tenggelam dalam sepi ini. Aku ingin seperti ini lebih lama.

Suara batuk di sebelah membuatku menoleh. “Kamu baik-baik saja?” Suaramu yang penuh urgensi menggema di bawah reruntuhan yang menghimpit kita.

Aku mengangguk lemah, dan merasakan kedua telapakmu pada pipiku. “Kita akan baik-baik saja”.

Kamu bergerak, berusaha mencari celah yang mengizinkan kita bebas. Asap yang mencekik paru-paru mulai terhirup.

“Bertahanlah sebentar lagi,” kamu bergumam. Kepalaku seakan melayang hingga yang kulihat hanya bayang-bayang mu di sana, terduduk di sebelahku. Seperti malaikat penjaga yang akan melindungiku selamanya.

Keringat mengucur membasahi pelipisku. Panas. Mungkin di luar sana perapian raksasa sudah tercipta. Menjadi tempat di mana orang-orang berteriak putus asa sementara membayang orang yang mereka cintai.  Tapi aku bersyukur, di bawah himpitan reruntuhan gedung yang entah di mana ini, kamu ada untuk memperjuangkan hidup kita.

When you can't fight for yourself anymore, I will...


“Satu orang tua bisa ngurus sepuluh anak, tapi sepuluh anak belum tentu bisa ngurus satu orang tua,”—Ayah

It’s the time when I witness my grands getting old—weaker and more vulnerable day by day. Ada banyak masalah, mulai dari emosi, rewel, tingkah yang semakin kekanak-kanakan, penuaan yang masih fisiologis, sampai sakit yang serius.

Dan ketika kakek atau nenek jatuh sakit, saya selalu menyaksikan hal yang sama—bagaimana kedua orang tua saya beradu pendapat dengan saudara-saudara mereka. Bagaimana orang tua saya selalu bersikeras membawa kakek atau nenek ke rumah sakit sementara saudara-saudara mereka menentangnya, mengatakan kalau sakit itu hal yang biasa—namanya juga orang tua. Saya selalu mendengar keluhan yang sama dari mulut orang tua saya, tentang bagaimana saudara-saudara mereka tidak ada yang mau menjaga orang tua mereka ketika di rumah sakit—atau bahkan merawat mereka di rumah. Tentang bagaimana sebagai seorang anak, saudara-saudara mereka belum cukup memperjuangkan orang tua mereka. Tentang bagaimana takutnya mereka menjadi tua sementara mereka menyaksikan sendiri keadaan orang tua mereka.

“Sewa suster aja ya kalau Mama dan Papa udah tua, biar nggak nyusahin,” kira-kira begitu orang tua saya pernah berkata. Kalimat ini membuat saya miris. Manusia sering diperhadapkan padahal yang sama ketika dewasa; ketika kita terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, karir yang tengah menanjak, keluarga yang tengah kita bangun, kita sering kali jadi lupa melihat ke belakang. Kita tidak lagi ingat siapa yang pernah mati-matian berdiri di belakang kita, menjaga kita supaya tidak sampai terjatuh. Kita tidak lagi memperhatikan orang yang pernah memperjuangkan masa depan kita dengan keringat dan kasih sayang mereka.

Saya beruntung mengalami,—menyaksikan semua ini. Saya beruntung bisa meneladani bagaimana kedua orang tua saya memperlakukan orang tua mereka. Saya beruntung dididik untuk menghargai orang tua, bahkan kakek dan nenek. Dilahirkan dalam keluarga yang besar (5 bersaudara), membuat saya berharap, kelak, jangan sampai apa yang dialami orang tua saya dan saudara mereka terjadi juga pada saya dan saudara saya. Jangan sampai saya dan saudara-saudara saya menelantarkan kedua orang tua saya nantinya. Saya ingin membuktikan pada mereka, bahwa apa yang mereka lakukan hari ini—untuk orang tua mereka, akan mereka dapatkan juga ketika mereka tua nanti, bahkan lebih baik. Saya ingin memastikan bahwa mereka tidak sia-sia mendidik saya dan adik-adik saya. Saya ingin mereka tahu, bahwa ketika mereka tidak lagi bisa memperjuangkan diri mereka sendiri, saya dan saudara-saudara saya akan melakukannya untuk mereka.

Kemarin pagi, Mama berkata seperti ini saat sarapan pada Papa,”Dulu, orang tua kita mati-matian menjaga kita ya? Kita bentol sedikit aja karena digigit nyamuk, mereka khawatir. Masa sih, sekarang ketika sakit nggak ada yang mau sekadar membawa mereka ke rumah sakit?” Kalimat spontan tersebut membuat saya sadar, kasih sayang orang tua dan anak memang sama sekali nggak bisa dibandingkan. You’ll never pay enough for your parents’ love.

Sunday, August 19, 2012

Tough Day


Satu kata untuk hari ini: BERAT
Saat orang-orang lagi merayakan hari kemenangan, makan-makan, dan tertawa bersama keluarga besar, hari ini malah jadi hari yang berat banget buat saya. By the way, happy Eid Mubarak!

Entah kenapa saya lupa berdoa pagi ini. Entah kenapa saya hanya fokus pada kebaktian dan rapat hari ini. Entah kenapa saya hanya memikirkan stressnya main musik di gereja hari ini. Entah kenapa yang ada di otak saya malah segala persiapan ibadah mulai dari slide, mic, alat musik, kertas lagu, dan lain-lain. Entah kenapa saya hanya memikirkan hal-hal teknis. Entah kenapa saya lupa berserah pagi ini, lupa bersyukur untuk kesehatan dan hari baru yang masih boleh saya rasakan.

Jalanan sepi banget pagi ini. Mobil saya dapat mencapai kecepatan 120 km/jam di jalan raya (tapi saya cuma nyoba sampai 100 kok). Saya pikir, ‘wah, hari ini bisa cepat sampai gereja nih’. Tapi begitu saya mau berbelok di gang gereja saya, jalanan di tutup karena ada shalat Eid. Saya mencari jalan lain, ditutup juga, intinya semua jalan yang saya tahu menuju gereja ditutup. Panik. Hari ini saya jadi pemusik sekaligus pembriefing. Saya mencoba menelepon teman saya yang rumahnya dekat dengan rumah saya, dengan harapan ia belum berangkat ke gereja dan saya bisa ikut dia naik motor agar lebih cepat, namun panggilan saya tidak diangkat. Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke kompleks saya dan mencoba jalan tikus. Sayangnya, satu-satunya jalan yang saya tahu adalah lewat masjid, dan pasti ditutup. Sampai pada titik ini saya kesal setengah mati. Kenapa sih harus hari ini? Kenapa harus pada saat saya ada pelayanan? Kenapa harus saat semua orang rumah sedang tidak ada dan tidak ada yang mengantar saya naik motor atau membantu saya mencari jalan lain?

Keputusan terakhir saya adalah, menaruh mobil di rumah dan mencari bajaj dekat pasar. Saya pikir, tukang bajaj pasti lebih tahu jalan kecil, apalagi tadi saya lihat ada banyak tukang bajaj di pasar. Akhirnya saya mengajak mbak saya dari rumah untuk menemani saya mencari bajaj. Seakan masih belum cukup membuat saya menderita, tukang bajaj yang tadinya berjajar di jalanan depan pasar, mendadak hilang ketika saya kembali melewati jalan tersebut lagi dengan berjalan kaki. Saya benar-benar putus asa saat itu, saya tahu ada teman yang bisa menggantikan saya di gereja, tapi tetap saja rasanya nggak enak.

Beruntung saat itu ada seorang bapak yang lewat dengan motornya. Ia bersedia mengantar. Awalnya saya takut juga, bagaimana kalau dia orang jahat? Tapi, karena mbak saya bersedia menemani, saya pun akhirnya diantar bapak tersebut sampai gereja. Bodoh mungkin, seenaknya saja ikut orang yang tak dikenal, tapi bagaimana pun hari ini bapak itu menyelamatkan saya.

Sekarang, ketika saya menuliskan ini dan melihat kembali ke belakang. Konyol—malu rasanya mengingat saya menangis di depan teman-teman saya di gereja. Tapi, bukankah hidup memang seperti itu? Laluilah hal terburuk dalam hidupmu, dan ketika kamu berhasil mengatasinya, kamu bisa tertawa ketika mengingatnya.

Oh iya, dan jangan lupa untuk berdoa di pagi hari. Sesibuk atau sesantai apa pun harimu. :D

Friday, August 17, 2012

MERDEKA!


Pengen nulis sesuatu tentang 17 agustus—hari kemerdekaan, tapi bingung mau nulis apa. Udah terlalu banyak ajakan memaknai kemerdekaan dengan ikut berkontribusi bagi negara ini. Udah banyak yang bilang kalau kemerdekaan itu nggak sekadar lepas dari tangan penjajah, tapi juga korupsi, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya; nggak cuma merdeka dari, tapi juga merdeka untuk. Udah banyak yang bilang kalau kita dilahirkan di negara ini bukan karena suatu kebetulan. Udah banyak juga yang menyadari kalau nggak pantas terus menerus mengkritik pemerintahan negara ini sementara kita nggak berbuat apa-apa. Dan kesimpulannya, saya jengah dengan semua kata-kata indah di social media yang selalu ada tiap tahun, saya bosan membaca kalimat-kalimat nasionalis yang selalu meramaikan timeline entah untuk pencitraan atau memang benar-benar dimaknai. Setelah hari ini berlalu, lalu apa?

Saat saya menulis ini, saya juga sadar kok. Saya belum berbuat apa-apa untuk negara ini. Saya lahir dan tumbuh di Indonesia, negara ini mengajarkan saya banyak hal, tapi rasanya saya sama sekali belum membayarnya. Yang ada saya malah lebih sering mengkritik mereka yang duduk di bangku pemerintahan, cuek terhadap apa yang sedang dihadapi negara ini, dan merasa lelah serta pesimis dengan keadaan bangsa ini.

Jadi, hari ini saya mau nulis tentang hal-hal apa saja yang membuat saya kagum ketika melihat orang lain melakukan sesuatu untuk negara ini.

Saya selalu kagum dengan orang yang mau capek-capek sekolah di luar negeri dan kembali ke negara ini untuk memakai ilmunya. Banyak banget orang yang udah keenakan di luar, sampai nggak mau balik ke tanah airnya sendiri.

Saya selalu kagum dengan orang-orang yang mau berkarya tanpa melupakan nama Indonesia; yang selalu membawa nama Indonesia dalam karyanya baik itu tulisan, musik, fashion line, maupun produk-produk lain.

Saya selalu kagum dengan mereka yang menjadi sukarelawan di tempat-tempat terisolir di Indonesia. Tenaga-tenaga kesehatan dan pendidik yang mau susah dan meninggalkan zona nyaman mereka demi menjangkau mereka yang ada di pedalaman.

Saya kagum dengan mereka yang idealis yang duduk di lembaga pemerintahan, kagum dengan orang yang selalu berusaha berbahasa Indonesia yang baik dan benar baik dalam kata-kata maupun dalam tulisan, kagum dengan mereka yang menguasai kesenian daerah, kagum dengan mereka yang nggak malu untuk menghargai perbedaan, kagum dengan mereka yang berusaha sebaik mungkin dalam bidangnya untuk berkontribusi bagi negara ini.

Selamat bertambah usia, Indonesia! Semoga negara ini semakin dipenuhi oleh generasi-generasi yang mau peduli dan optimis terhadap masa depan Indonesia.

Tuesday, August 14, 2012

Once Upon A High School


Found this on my old laptop:


And this:



Dan masih banyak lagi foto kayak begini yang mirip-mirip gayanya.
Hahaha. When did you guys take these? I have no idea at all. Kayaknya, ini foto-foto waktu kelas 12 ya? Tapi nggak inget pas kapan. Dilihat dari orang-orang yang udah pada bawa tas, mungkin waktu pulang sekolah. Tapi, kenapa masih ada yang sibuk banget di belakang? Dan di mana saya waktu itu?

Anyway, berarti udah dua tahun lebih berlalu sejak foto ini diambil. Waktu benar-benar berlari ya? Jadi kangen.

Saya kangen pakai seragam putih abu-abu. Kangen mengejar bel di pagi hari. Kangen dicek ikat pinggang dan pinnya tiap pagi. Kangen nyalin PR mat nya Otoy. Kangen berharap hari hujan waktu pelajaran olahraga (karena saya paling nggak suka pelajaran olahraga, tapi sekarang malah jadi kangen olahraga juga, paling kangen sama main basketnya—satu-satunya olahraga yang paling saya bisa, mungkin?)

Saya kangen ngerjain dan berdebat tentang sebuah soal sama sahabat saya. Kangen sekelompok sama orang-orang yang males kerja. Kangen membujuk Pak Heri untuk beberapa menit open book waktu ulangan sejarah. Kangen menghitung waktu sampai bel berbunyi. Kangen mendengar aba-aba ‘Siap! Beri Salam!’. Kangen membujuk guru-guru supaya ulangan cepat dibagikan. Kangen membenci ulangan matematika yang terlalu sering. Kangen takut ketinggalan topi, dasi, dan pin, saat upacara.

Saya kangen renungan pagi yang lebih sering ribut daripada tenang. Kangen ngasih contekan saat ulangan (ini sekalian pengakuan dosa). Kangen berharap Bu Sugi asyik cerita tentang hal lain selain pelajaran sampai bel berbunyi. Kangen menyibukkan Pak HT dengan berbagai keperluan kelas yang nggak penting supaya nggak membahas soal fisika. Kangen memprotes soal-soal ulangan Pak Boan. Kangen mengosongkan laci dari buku-buku saat akan diadakan razia.

Saya kangen dibuat pusing oleh soal-soal mafia. Kangen jam kosong di sekolah. Kangen kebaktian sebulan sekali. Kangen menyalin dan memanipulasi data saat praktikum. Kangen membuat larutan yang salah saat lab kimia dan buru-buru membuangnya sebelum ketahuan oleh Pak SL atau CS. Kangen mendengar lagu-lagu lama saat lab inggris. Kangen mengerjakan soal dari Pak PP. Kangen berharap tiap ada pengumuman dari radio sekolah bahwa isinya adalah pemberitahuan bahwa hari ini atau besok pulang lebih awal (kalau bisa diliburkan).

Saya kangen semuanya. Bahkan rutinitas sepulang sekolah seperti les di Surkit dan Pak Lucky.

Saya kangen.



Tapi, ini emang ada teman SMA saya yang baca?
Ha.ha. 

Sunday, August 12, 2012

A Reunion


It’s just another high school reunion that day. Dan kebetulan saya yang ngajakin mereka untuk ngumpul. Di tempat yang biasa juga, Central Park. Saya sama sekali nggak merencanakan acara apa-apa hari itu. Nggak nonton, nggak makan, nggak beli apa-apa juga, pokoknya ngumpul aja. Saat sahabat saya nanya ‘sebenarnya kita mau ngapain sih hari ini?’ saya menjawab tidak tahu, dan teman saya yang lain menjawab ‘no plan is the best plan’ :P

Dan jadilah hari itu jadi acara ngumpul-ngumpul paling nggak jelas yang pernah saya alami. Begitu sampai Central Park, saya menemani sahabat saya belanja bahan kue. Setelah selesai, kami berenam duduk di Nanny’s Pavilion. Makan pancake dan minum sebentar, sehabis itu kami memutuskan untuk karaokean. Sayang, karena bulan puasa, tempat karaoke baru buka malam hari. Jadilah kami berputar-putar nggak jelas di Central Park. Tidak lama kemudian satu orang teman kami menyusul, karena dia belum makan, jadi kami menemaninya makan. Saat ditanya mau makan di mana, teman saya menjawab mau makan di Nanny’s, jadilah kami kembali ke restoran itu. Duduk lagi di sana, sambil berharap pelayannya nggak ngeh kalau kami baru saja dari sana. Baru saja selesai menemani teman kami makan, saat kami keluar restoran, teman kami yang lain datang menyusul. Lagi-lagi mengajak makan, dan saat ditanya mau makan di mana, lagi-lagi jawabannya adalah Nanny’s. -___-

Hari itu benar-benar cuma dihabiskan di Nanny’s aja rasanya. Tapi, saya senang. Bukan karena Nanny’s nya, tapi karena kesempatan ngobrol-ngobrol yang sangat langka. Duduk berlama-lama disebuah restoran; berbincang-bincang tentang segala macam hal mulai dari yang serius sampai yang nggak jelas; catch up sama sahabat; momen seperti ini yang saya rindukan sekali. Dan saya jadi sadar satu hal.
Ternyata ngumpul-ngumpul tuh sama sekali bukan masalah ‘ngapainnya’ tapi ‘sama siapa’.
Itu jauh lebih penting. 

Friday, August 10, 2012

Cinta atau bodoh?


Kalau memaafkan orang yang melakukan kesalahan yang sama berulang kali
Memberi kesempatan kedua lagi dan lagi
Itu cinta atau bodoh?

Kalau terus kembali pada orang yang sama, sekalipun ia menyakitimu berulang kali
Kalau terus mempercayainya walau ia tidak dapat dipercaya
Itu namanya cinta atau bodoh?

Kalau tidak bisa melupakan suaranya, walau suara yang sama memakimu bertubi-tubi
Kalau selalu ingin memeluknya sekalipun ia sudah mendingin
Itu cinta atau bodoh?

Kalau selalu menantinya sekalipun ia tidak ingin kembali
Kalau selalu menyemangatinya walau ia tidak pernah mendukungmu
Itu namanya cinta atau bodoh?

Orang bilang cinta nggak butuh alasan. Apa bodoh juga butuh alasan? Jadi apa cinta itu bodoh?

Thursday, August 9, 2012

Now, and Until Forever and Ever


“Gue kan cuma ke Belanda, bukannya pergi ke tempat yang elo nggak bisa datengin atau apa,” Rega berkata ringan,”Lagian kalo liburan juga gue pasti balik”.

“Iya, tapi kan Belanda nggak sedeket Singapura atau Bandung atau Australia,” ujar Maira ngotot.

Rega mendesah pelan,”Sekarang ada Twitter, Skype, kita kan nggak lagi hidup di zaman batu, Maira”.

Alis Maira bertaut,”Tetep aja. Beda dong ama ketemu dan ngobrol langsung. Gimana kalau seandainya gue ada masalah? Gue harus cerita ke siapa? Harus nangis ke siapa?”

“Dasar cengeng,” Rega menjitak kepala sahabatnya.

“Dan gue juga bakal kangen banget ama ini,” Maira mengelus kepalanya pelan, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

“Semua bakal baik-baik aja kok. Percaya ama gue. Kita bakal baik-baik aja,” Rega tersenyum.

Maira diam sejenak. “Elo nggak sedih ya, Ga?” ia menatap sahabatnya lama, berusaha mengingat setiap detil wajah dan garis tubuhnya,”Kenapa elo bisa setenang itu menghadapi semua ini?” Maira kadang nggak mengerti dengan pola pikir Rega. Sementara ia sendiri sudah stress berat menghadapi begitu banyak perpisahan dengan teman-teman SMA-nya, Rega malah santai saja dengan tanggal keberangkatannya yang sebentar lagi.

Kali ini Rega mengacak-acak rambut Maira, membuatnya semakin berat untuk berpisah. Ia akan merindukan semua ini, ngobrol-ngobrol tanpa arah di Kaftee & Bun; ngerjain PR dan belajar bareng; sampai makan malam di warung pecel lele kompleks sebelah. “Harus ada yang tetap kuat untuk semua ini kan?”

“Apa ya jadinya gue kalau nggak ada lo?” Maira bergumam,”It’s like you’re my only grip.”

“Elo ya elo. Dengan atau tanpa gue,” jawab Rega mantap,”Elo tetap Maira yang gue kenal, yang selalu tahu maunya apa. Dan gue nggak pengen waktu kita ketemu lagi nanti—enam bulan dari sekarang, elo jadi Maira yang kalah ama keadaan”.

Seulas senyum melengkung di bibir Maira. Sekarang atau nanti, Rega akan selalu jadi sahabatnya—orang yang memarahinya saat salah, memujinya saat ia melakukan sesuatu yang baik, menemaninya saat kesepian, menjadi tempat bersandar saat ia terlalu lelah menjalani hidup, dan ‘motor’nya saat ia sedang butuh tambahan energi. Kepergian Rega mungkin akan terasa berat, tapi ia tahu ia bukan satu-satunya yang harus menjalaninya. Rega pun merasakan hal yang sama. Mereka adalah penopang bagi satu sama lain, makanya sekarang giliran ia yang mendukung Rega. Men-support cita-cita sahabatnya itu. “No worries, Ga. No worries”.

Monday, August 6, 2012

What’s make your day?

picturetakenfrom:weheartit.com

Sometimes it is a kindness from a total stranger that makes your day. Sebuah kebaikan sederhana yang tidak berasal dari orang terdekat kita. Seperti petugas parkir yang rela mengalah seribu rupiah saat tidak ada kembalian. Seperti sapaan dari satpam kampus yang selalu ada setiap pagi. Seperti traktiran sepiring nasi uduk dari si penjual saat kita membeli banyak. Sometimes it just takes simple things to make you smile. I call it a day from a stranger. Would you be that stranger to someone today?

Saturday, August 4, 2012

WISH


I believe every person on earth at least has one wish.
Wish that they treasure so much. Wish they eager to fulfill.
Wish they desperate enough to see it happen.
Wish that make them ask to their God—kneel before Him.
I wonder if people who don’t believe in God also pray for their wishes.
They do have wishes—dreams, don’t they?

picturetakenfrom:weheartit.com

Wednesday, August 1, 2012

Passion


picturetakenfrom:weheartit.com
“Apa sih impian lo?” Seseorang menanyakan itu pada saya beberapa waktu lalu. Impian?  Saya jadi sadar betapa pertanyaan seperti itu jarang sekali terlontar dalam pembicaraan sehari-hari—bahkan dari orangtua sekali pun. ‘Mau kuliah apa?’, ‘Ambil jurusan apa?’, itu yang lebih sering terdengar. Dan saya baru menyadari, kuliah dan impian bisa jadi sesuatu yang benar-benar beda.

Tanya saya tentang impian saya dua tahun lalu, saya akan menjawab tidak tahu. Tapi, sekarang ketika—sudah mengambil jurusan kedokteran, dan kembali diperhadapkan pada pertanyaan yang sama, bohong kalau saya menjawab impian saya adalah menjadi dokter. Impian saya jauh dari itu. Impian saya adalah menjadi penulis. Passion saya adalah menulis.

Dulu, waktu masih sekolah, saya sering iri melihat teman-teman saya yang walaupun nilainya jelek di beberapa mata pelajaran, tapi punya pelajaran favorit—entah itu matematika, melukis, atau musik. Rasanya enak banget punya sesuatu yang disukai, punya sesuatu yang bisa menjadi tujuan hidup, punya sesuatu yang bisa jadi cita-cita. Dulu, saya tidak punya itu. Banyak teman saya yang ingin jadi seperti saya—bisa punya nilai bagus di semua mata pelajaran, sementara saya ingin jadi seperti mereka. Nilai bagus bukan segalanya, sama sekali bukan. Karena sesuatu yang mahir kamu lakukan bukan berarti sesuatu yang kamu suka untuk lakukan.
You can be good at something without loving it.

I struggled to decide my major. Saya bisa masuk jurusan apa pun tanpa saya harus menyukainya, tapi saya nggak mau hidup yang seperti itu. Saya mau hidup dengan passion saya. Dan akhirnya, walau baru menemukan itu setelah nyemplung ke kedokteran, saya tetap bersyukur. Karena saya tahu, banyak banget orang yang bahkan hingga dewasa nggak tahu apa passion-nya.

Buat saya, passion adalah sesuatu yang nggak pernah ingin berhenti kamu lakukan sekalipun kamu gagal berulang kali. Passion adalah sesuatu yang membuat kamu bersemangat saat melakukannya, enjoy saat berada di dalamnya. Passion adalah sesuatu yang membuat hidup jadi lebih hidup.  Passion adalah sesuatu yang kamu sukai, nggak perlu jago. Karena suka dan jago itu beda banget. Kamu bisa jago dalam bidang tertentu tanpa harus menyukainya. Dan… buat saya, passion itu adalah menulis.

Kalau kamu belum menemukan apa passion mu, jangan khawatir! Every body has their own, hanya bagaimana cara kita mencarinya. Coba deh hal-hal baru yang belum pernah kamu lakukan, karena kamu nggak akan tahu apa yang kamu suka tanpa mencobanya!