Saturday, March 31, 2012

Have Some Hope!

Belum basi kan ya kalau saya ngomongin masalah demonstrasi? I’m not going to judge anyone here, I’m just saying my opinion.

Demo. Nggak ada yang salah kok dengan aksi satu ini, sebagai negara demokrasi kita berhak menunjukkan aspirasi kita. Entah itu melalui media cetak, elektronik, atau seperti yang dilakukan teman-teman mahasiswa kemarin—turun ke jalan. Kegiatan demonstrasi bahkan diatur dalam undang-undang. Yang salah, tentu saja kalau sudah mengganggu ketertiban, merusak fasilitas, atau dengan kata lain melakukan vandalisme.

Saat para demonstran kemarin ini memulai kericuhan, diantaranya dengan membakar kendaraan polisi dan merusak pagar gedung DPR/MPR, saya mencoba memposisikan diri sebagai mereka. Dan rasanya saya bisa mengerti. Bukannya saya mendukung loh ya, perbuatan mereka sih tetap salah, salah banget… Seingat saya, belum pernah ada dalam sejarah Indonesia, sebuah aksi demonstrasi—sebesar apa pun itu, yang dapat membatalkan kenaikan harga BBM (correct me if I’m wrong). Dari sini saya berpikir, kalau demo yang dulu-dulu aja nggak bisa mempengaruhi pemerintah, apakah kalau demo kali ini dijalankan dengan tertib bisa membatalkan kenaikan harga BBM? Saya rasa mustahil. Andai nggak ada ribuan mahasiswa yang turun ke jalan, membuat keributan, dan menunggu keputusan rapat sampai pagi, saya rasa harga BBM akan tetap naik per 1 April. (Sebenarnya harga BBM memang akan tetap naik sih kayaknya. Cuma ditunda aja…) Tapi ya intinya itu, pemerintah yang nggak peka dengan keadaan rakyat sekarang, nggak akan mau mendengar opini masyarakat kalau nggak dipaksa untuk mendengar. Dan unjuk rasa yang adem ayem nggak akan membawa efek apa pun. Again, I understand, but don't agree. Apalagi banyak juga diantara para demonstran yang bukan benar-benar mahasiswa, dan yang mahasiswa pun pasti banyak yang nggak ngerti. Selain itu, banyak juga aksi mereka yang justru merugikan rakyat kecil seperti pedagang atau satpam yang notabene mereka bela haknya.

Beralih ke pihak mahasiswa lain, yang marah-marah dan mengkritik habis-habisan kelakuan para demonstran. Saya juga bisa paham, karena saya adalah salah satunya. Kesal rasanya melihat aksi anarki lewat televisi, belum lagi aktivitas jadi terganggu karena beberapa jalan ditutup. Apalagi mengingat harga minyak dulu memang pernah mencapai Rp 6.000,00 tanpa harus pakai ribut. Memang mudah bagi kita untuk mengkritik, karena kita mungkin nggak secara langsung merasakan dampak kenaikan harga BBM. Atau naiknya harga minyak hanya sedikit mempengaruhi kehidupan kita. Tapi, perlu diingat, dengan begitu heterogennya kondisi perekonomian di Indonesia, pasti banyak juga pihak-pihak yang kehidupannya jadi ‘jungkir-balik’ kalau harga BBM sampai naik. Dan tentu saja mereka butuh didengarkan aspirasinya.

Tentang pemerintah kita, para anggota dewan yang semalam rapat sampai pagi. Haaaah… what can I say? They definitely spoke for themselves, baik yang menolak maupun yang menyetujui, mereka sama-sama punya kepentingan politik. Walau saya percaya sih, pasti masih ada beberapa diantara mereka yang idealis, yang berusaha menyampaikan suara rakyat.

Dan… diantara begitu banyak hal yang nggak beres di Indonesia, pemerintah yang korup, negara yang masih perlu belajar menjadi dewasa dalam berdemokrasi. Saya masih tetap optimis kok dengan negara ini. Kita punya banyak generasi muda yang lebih peduli dan melek politik, yang jauh lebih cerdas dan nggak gampang dibodohi, yang mau belajar dan berdemokrasi dengan elegan. I just hope when the time comes for them to sit at those chairs, their idealisms aren’t corrupted. Saya percaya, yang sedang dibutuhkan negara ini adalah sebuah harapan dan aksi dari pemudanya bukan sebuah keputusasaan dan sikap apatis.

Wednesday, March 28, 2012

Lebar, Sempit, Pilih yang Mana?


Jadi, long weekend kemarin, saya pergi ke Puncak bersama mama, tante, sepupu, dan adik-adik saya. Berhubung adik bungsu saya ada ujian balet, kami baru bisa berangkat Sabtu siang, dan seperti yang sudah bisa diprediksi, lalu lintas macet total. Sebenarnya, bukan macet karena padat sih, tapi karena jalan menuju puncak ditutup selama (nggak kira-kira waktunya) lebih dari dua jam! Akhirnya saya mengusulkan untuk beristirahat dulu di Sukabumi, baru kemudian sekitar jam tujuh malam kami putar balik ke arah Puncak.

Karena nggak pernah menempuh rute tersebut sebelumnya, saya dan Mama agak bingung menentukan jalan. Apalagi, Papa nggak ikut karena ada urusan pekerjaan, maka jadilah kami berdua sibuk berdiskusi tentang jalan mana yang harus ditempuh. Singkat cerita, akhirnya kami mengambil putaran yang salah dan malah masuk ke jalan alternatif. Jalan itu memang mengarah ke Puncak sih, tapi rutenya jauh lebih panjang dan tentu saja memakan waktunya yang lebih lama. Sepanjang perjalanan, kami mulai khawatir karena daerah yang kami lalui lumayan sepi, tidak jarang kami memutuskan untuk bertanya pada penduduk sekitar apakah kami masih berada dalam rute yang tepat atau tidak.

Satu hal yang menarik, selama dalam perjalanan menempuh jalur alternatif tersebut saya jadi berpikir, hidup kita mungkin juga seperti itu ya… Kita nggak selalu bisa berada di jalan utama, ada kalanya kita terpaksa melintasi jalan yang sempit, gelap, dan jauh lebih berliku. Kita nggak tahu di mana ujungnya, masih berapa jauh lagi, yang bisa kita lakukan adalah tetap membuka mata lebar-lebar untuk mencari papan petunjuk. Nggak jarang, saat ada papan petunjuk pun kita masih ragu apakah kita berada pada jalan yang benar atau tidak karena jalan itu tidak banyak dilalui orang, dan saat itulah kita mulai meragukan diri kita sendiri, mempertanyakan keputusan yang telah kita ambil, atau bahkan menyesalinya. Tapi tentu saja, selalu ada orang-orang yang Tuhan sediakan dalam hidup untuk membantu kita mencapai tujuan, teman-teman yang selalu bisa jadi sandaran kita, mengarahkan kita, dan membantu kita membuat keputusan. Seperti dua anak muda dari pengajian yang akhirnya menuntun jalan kami dengan motor malam itu:)

And at the end of the day I realize: Bukan jalan yang lebar dan lancar yang membuat kamu belajar, melainkan jalan yang sempit dan penuh naik turun.

Saturday, March 24, 2012

A Silent Melody


For it was not into my ear you whispered, but into my heart. It was not my lips you kissed, but my soul –Judy Garland

Aku sedang membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan seorang pelanggan saat ia datang. Laki-laki penyandang gitar dengan rambut sedikit acak-acakan yang memiliki senyum jahil mempesona. Parasnya yang kekanakan membuatku ikut tersenyum saat melihatnya. Sudah seminggu ini ia rajin mampir ke sini, menikmati iced coffee di sudut ruangan sambil mencorat-coret kertas partitur.

Pandangan kami bertemu. “Halo,” sapanya. Aku membungkuk sedikit sambil tersenyum.

“Aku pesan yang biasa,” ia berkata lagi sebelum berjalan menuju tempat favoritnya, sofa di dekat jendela, di sebelah pojok akustik kafe.

“Terima kasih,” ia mendongak saat aku meletakkan gelas minumannya. Ini adalah satu-satunya saat dimana aku dapat menatapnya lebih dekat. Menikmati setiap garis wajahnya dan menghirup aroma musk yang dipakainya. Sulit rasanya untuk tidak terpikat.

“Hei,” ia menyentuh lenganku sebelum aku sempat berbalik, sekujur tubuhku menegang, dan jantungku berdebar dua kali lebih cepat dari yang semestinya. Ia mengisyaratkanku untuk duduk.

“Laguku sudah selesai,” ia berkata sambil membuka sarung gitarnya,”Dan aku mau kau mendengarnya. Lagu ini terinspirasi darimu”.

Aku? Aku menunjuk diriku sendiri, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku.

Ia mengangguk, lalu tersenyum. Perlahan ia memetik gitar. Aku melihatnya memejamkan mata, merasakan setiap melodi yang bergulir. Setelah beberapa saat, ia mulai bernyanyi. Aku mengamatinya dalam diam, tersentuh oleh untaian perasaan yang diciptakannya.

Saat lagu itu habis, ia menatapku dalam. “Bagaimana?” tanyanya.

Aku bertepuk tangan, lalu mengacungkan jempol.

Keningnya berkerut samar,“Kenapa aku tidak pernah mendengarmu bicara?”

Aku mengambil pensil dan membalik partiturnya sehingga dapat menuliskan sesuatu di sana.

AKU TULI DAN BICARAKU TIDAK LANCAR

Ia membaca kertas yang kusodorkan. Sejenak rautnya terlihat kaget. Ia pasti menyesal telah membuat lagu untuk orang yang tidak bisa mendengar. Tapi, kemudian ia menuliskan sesuatu di bawah tulisanku, lalu menunjukannya.

MAAF, AKU TIDAK TAHU

Aku menggeleng. TANPA MENDENGAR SAJA, AKU TAHU LAGUMU BAGUS.

BENARKAH? BAGAIMANA CARANYA? Ia nampak heran.

Aku tersenyum, lalu menggambarkan sesuatu: HATI.

Ia ikut tersenyum, lalu membalas tulisanku.
TERIMA KASIH. SENANG BERKENALAN DENGANMU. BOLEH, AKU MEMBUATKANMU SATU LAGU LAGI?

picturetakenfrom:pinterest.com


Thursday, March 22, 2012

Tentang Menjadi Dewasa...


Tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan.

Kutipan itu pasti udah sering teman-teman dengar. Saya sendiri pertama kali membaca quote di atas dari tulisan salah satu penulis favorit saya. Awalnya saya setuju, tapi kok dengan makin bertambahnya usia, saya jadi kurang sreg ya?

Kalau boleh saya ubah, saya akan mengganti kalimat tersebut jadi:
Tua itu pasti, menjadi dewasa itu mesti.
Nggak ada orang yang bisa menentang penuaan, manusia dilahirkan untuk bertambah umur. Tentu saja seiring dengan pertambahan usia tersebut, kita dituntut untuk bertambah dewasa pula. Di dalam hidup, kita pasti bertemu masalah, kesulitan, tantangan, dan semua itu mau nggak mau membuat kita lebih dewasa. Menurut saya sih, nggak ada orang yang bisa melakukan pencapaian lebih dalam hidup tanpa melalui proses pendewasaan. Seseorang dikasih kepercayaan karena dianggap cukup dewasa untuk bertanggung jawab terhadap tugas tertentu, seseorang diberi jabatan karena dirasa cukup dewasa untuk mengisi posisi tersebut. Nggak mungkin kan, seorang atasan mempercayai anak buahnya jika ia tidak menganggap anak buahnya itu cukup dewasa?

Jadi menurut saya, being mature is not even a choice. Mau nggak mau, suka nggak suka, kita harus menjadi dewasa. Karena hanya dengan cara itu kita bisa mendapatkan lebih, hanya dengan menjadi dewasa kita bisa jadi lebih baik dari yang sekarang. Kamu tidak bisa berusia dua puluh namun memiliki tingkat kedewasaan setara dengan anak yang berusia empat belas, malu banget sama umur. Sekali lagi, ini menurut saya loh. Hehe…

Tell me if you have different opinions, it’d be great to hear from others :)

Wednesday, March 14, 2012

A Coffee Shop


Beberapa hari yang lalu saya nge-blogwalking, dan nggak sengaja menemukan sebuah ilustrasi tentang kedai kopi yang bagus banget. Saya minta izin penulisnya untuk share di blog ini, dan dikasih. It was written by Emma Montezuma, and you can check out the original article here. Thanks a lot Emma!

Ok, so here we go:

Kedai kopi itu selalu ramai. Gak mungkin sepi. Disana ada banyak kalangan manusia.

Ada yang datang untuk menunggu, ada yang datang untuk bekerja, ada yang datang untuk beristirahat.

Namun yang menarik dari sebuah kedai kopi adalah, ia tidak memandang darimana anda, siapakah anda. Kedai kopi akan selalu melayani semua dengan sama rata, yaitu sebagai costumer. Dia gak mungkin cuekin yang satu dan care sama yang lain. Gak mungkin yang satu gak dikasih orderan minumnya, tapi yang cuma lewat dikasih satu kulkas.

Ke semua sama baiknya, ke semua sama adilnya.
Ke pelanggan baru disambut dengan baik.
Ke pelanggan setia dikasih award, dan mungkin di-treat sedikit special.

Hidup kita mesti nya kayak kedai kopi, gak sih?

Kalau hidup kita itu kedai kopi, maka para costumer itu adalah orang-orang di kehidupan kita. Ada banyak kalangan orang di kehidupan kita, tapi bukan berarti kita harus membeda-bedakan mereka kan?

Ada yang datang untuk ngegosip, ada yang datang untuk urusan kerja.
Ada yang datang untuk cari kedamaian, ada yang datang dengan masalah.
Ada yang datang sebagai tamu yang kebetulan lewat.
Ada yang datang dan menganggap kedai kopi, atau kamu, sebagai hidupnya.

Dan waktu orang-orang itu datang silih berganti, apa kamu sudah memberi layanan yang terbaik? Apa kamu sudah membuat mereka nyaman?

Apa kamu sudah menjawab persoalan mereka? Apa kamu sudah memberi kesan tersendiri di kehidupan mereka?

Satu hal lagi yang aku suka dari kedai kopi ini. Semakin lama ia berdiri, semakin cantik tempatnya. Semakin lama ia berdiri, semakin nyaman tempat nya. Semakin lama ia berdiri, semakin terjaga rasa kopinya.

Aku mau hidupku seperti kedai kopi. Tidak perlu besar-besar, tidak perlu mewah. Cukup memberi arti. Yang penting kamu nyaman, dengan kedaiku.



Setelah membaca tulisan tentang kedai kopi ini, saya jadi berandai-andai seperti apa hidup saya jika diibaratkan dengan kedai kopi, and it turns out like this:
Kedai kopi ku kecil, terletak di pojok jalan.
Tidak banyak yang tahu tentangnya, namun kedaiku selalu penuh oleh pelanggan setianya.
Kamu dapat mendengar tawa-tawa bahagia bercampur harum aroma kopi ketika membuka pintunya.
Kedai kopi ku hangat, nyaman, dan dapat membuatmu merasa pulang ketika duduk di dalamnya.

Jika belum tahu, kapan-kapan mampirlah ke kedaiku, dan jangan lupa ceritakan juga tentang kedaimu:D

Tuesday, March 13, 2012

Kedai Buku

Toko itu kecil. Terletak di sudut jalan dan jarang diperhatikan orang. Mengingatkanku pada diriku sendiri.

Aku tersenyum miris sambil menyeberang jalan.

Pertama kali aku melewati toko itu aku langsung terpaku di depannya. Tumpukan buku-buku tua yang berantakan membuat aku tersedot kedalamnya.
Aku tidak bisa berhenti sebelum masuk dan membuka sebuah buku dari lemari berdebu yang nampak reyot.
Tempat itu bagai gua harta karun yang menunggu untuk dijelajahi.

“Hatchiiii!”Aku buru-buru menutup hidung.

“Johann Wolfgang von Goethe,” sebuah suara laki-laki membuatku menoleh. Aku tersenyum menyambutnya, putra pemilik toko buku tua ini,”The Sorrows of Young Werther”. Ia melirik buku yang baru saja kuambil.

“Perlu ini?” ia bertanya sambil menyodorkan sebuah masker.

Aku menggeleng,”Terima kasih, tapi kalau pakai itu wangi bukunya jadi tidak tercium”.

Ia tertawa kecil,”Dasar aneh”.

“Semua orang menganggapku begitu,” kataku cuek, lalu duduk di sebuah sofa hijau.

War and peace-nya sudah selesai?” ia duduk di hadapanku. Dengan kami berdua duduk berhadapan seperti sekarang, lorong di toko buku ini sudah tidak bisa dilalui siapa pun, tapi siapa yang peduli? Toko buku ini tidak pernah mendapat lebih dari sepuluh pengunjung setiap harinya.

“Bagaimana aku bisa berhenti membaca karya Leo Tolstoy?” aku mengeluarkan sebuah buku dari tas dan menyerahkannya pada si pemilik,”Terima kasih”.

“Great expectations? Dickens?” ia menawarkan buku bagus lain untuk dipinjam.

“Sudah pernah baca, aku penggemar fanatik Charles Dickens tahu? Christmas Carol, Little Dorrit, David Copperfield, Oliver Twist, I have almost all of his books”.

“Emma, ada?” aku bertanya.

“Jane Austen? Ternyata ada juga sastra terkenal yang belum kamu baca,” ia tersenyum, lalu beranjak dari tempatnya,”Sebentar”.

Lima menit kemudian ia kembali dengan sebuah buku yang disampul rapi. “Ini punyaku sendiri.”

Aku mengambilnya.

“Kamu boleh meminjamnya selama yang kamu mau,” ia menambahkan, lalu kembali duduk ditempatnya dan meraih sebuah buku untuk dibaca.

“Twilight?” aku mengernyit saat melihat buku yang dipegangnya.

“Kenapa?” ia menatapku jenaka.

Aku teringat pertemuan pertama kami, saat aku pertama kalinya masuk ke toko ini. “Kalau kamu mencari Twilight atau Breaking Dawn di sini tidak ada,” katanya dengan nada meremehkan saat aku melihat-lihat isi lemari.

“Bagaimana kalau aku mencari Les Misérables?” aku menarik sebuah buku yang terlihat usang.

“Oh, selera yang aneh,” gumamnya.

“Apa?” tanyaku pura-pura tidak mendengar.

“Tidak, kamu tidak membaca karya-karya Stephenie Meyer?” ia nampak heran, namun nadanya berubah ramah.

“Baca. Tapi, Anna Karenina jauh lebih menarik bagiku,” aku tersenyum,”Kamu sendiri? Pernah membaca Twilight?”

“Tidak,” ia mengangkat bahu,”Tidak tertarik. Bagaimana aku bisa tertarik, kalau aku dikelilingi karya-karya terhebat sepanjang masa?”

”Sekali-kali kamu harus baca serial Twilight, itu karya yang bagus”. Aku tertawa lalu meninggalkannya.

Sejak hari itu aku rajin mampir ke sini, membaca buku selama berjam-jam dan ia selalu menemaniku.

"Twilight bagus juga," ia berkomentar, lalu melanjutkan membaca.

Aku tersenyum kecil.

Mungkin bukan hanya buku yang membuatku kembali ke toko ini lagi dan lagi, tapi kehadirannya.

Sosoknya diantara buku-buku yang hampir dilupakan, perbincangan kami seputar literatur, dan penerimaannya.

Aku tenggelam dalam kehadirannya dan sastra-sastra klasik. Anggap aku aneh. Aku tidak peduli.

Aku merasa nyaman di sini, di sebelahnya.

picturetakenfrom:weheartit.com

KAKU


picturetakenfrom:weheartit.com

Aku baru tahu kalau sebuah hubungan bisa berakhir setragis ini.

Seperti jarum jam yang berhenti berputar.
Seperti sebatang besi yang menolak untuk dibentuk.
Seperti jari-jari keriput yang enggan digerakkan di pagi hari.
Seperti tubuh-tubuh yang kehilangan jiwa dan mendingin.

Aku. Kamu.

Dua kata yang tidak pernah lagi menjadi satu: Kita.

Apa yang terjadi dengan masa-masa itu?
Saat derai tawamu adalah eliksir di penghujung hari.
Saat kita masih saling berbagi.
Saat kita saling mengerti walau tanpa jembatan kata.
Sejak kapan kita berbicara dalam bahasa yang berbeda?
Sejak kapan bumi kita berhenti berotasi?

Beku.
Kaku.

Monday, March 5, 2012

Menangislah


Aku tertawa.

Kamu diam.

Aku masih tertawa, sambil sesekali menyeka air mataku.

Lagi-lagi kamu bergeming. Hanya menatapku. Aku bahkan tidak bisa membaca arti sorotmu itu.

Tawaku mereda, namun masih terdengar sisanya.

Pelan… pelan… hingga akhirnya berhenti.

Hening. Kita sama-sama diam.

Aku menunggumu mengatakan sesuatu. Mengomel tentang betapa bodohnya aku, atau menertawai nasibku yang benar-benar sial. Tapi tidak sepatah kata pun kamu ucapkan. Kenapa?

Aku menatapmu.

“Menangislah,” katamu akhirnya.

Aku memandangmu bingung. Saat orang-orang lain berkata jangan menangisi yang sudah terjadi, mengapa kamu mengatakan sebaliknya?

“Menangislah,” kamu berkata lagi. Kali ini sambil membelai kepalaku lembut. Aneh. Sentuhanmu seolah mengenai lukaku. Sakit. Tenggorokanku tercekat. Aku menunduk dalam-dalam.

Kamu menarikku ke dalam pelukanmu.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku.

Kamu diam, hanya mengelus punggungku. Menungguku mengeluarkan apa yang selama ini aku sembunyikan.

Perlahan air mataku meluruh. Aku mulai terisak, hingga akhirnya menangis tersedu-sedu.

“Bodohnya aku… Percaya pada laki-laki seperti itu… Harusnya aku mempercayaimu… Harusnya aku tidak terlalu mudah jatuh cinta…” tuturku dengan napas putus-putus,”Ini semua salahku…”

“Tidak pernah ada kata salah dalam hidup,” kamu mengurai pelukanmu dan menatapku dalam,”Kamu hari ini adalah hasil kesalahanmu yang dulu. Air matamu hari ini akan membuatmu menjadi lebih baik”.