“OB/GYN Strike Reaches Jakarta as Doctors
Threaten National Walk Out,” Siena membacakan judul salah satu artikel yang
ditemuinya di the Jakarta globe
sambil terus men-scroll tabletnya ke
bawah, membaca keseluruhan berita.
“And here they are today, doing the protests”.
Wida menimpali sambil terus menekuni buku teks ilmu penyakit dalam yang super
tebal. “Why don’t save life, instead of
doing the protests?”
“Jadi
lo nggak setuju sama aksi demo dokter hari ini?” Siena mengalihkan tatapan pada
sahabatnya—Wida si kamus Dorland, tanyakan pada sahabatnya itu tentang istilah
kedokteran apa pun, ia pasti bisa menjawabnya.
“Demo
dan menelantarkan pasien?” Wida menggeleng. “Sekali pun kasus darurat masih
tetap ditangani, isn’t that kinda cheap? Demo-demo
kayak buruh, kita kan kaum intelek.”
“Apanya
yang cheap?” Siena mengangkat alis.
“Bukannya kita hidup di negara demokrasi ya? Justru karena kita kaum intelek,
kita harus sadar bahwa udah seharusnya aspirasi kita didengar. Dan salah satunya
adalah dengan cara yang udah difasilitasi negara—demo yang nggak anarkis. We have the rights to be heard, kalau
diam aja, bagaimana mereka bisa tahu kalau selama ini kaum dokter merasa
diperlakukan nggak adil?”
“Tapi
gue nggak suka sama sikap dokter-dokter yang merasa di atas angin. Merasa nggak
bisa disentuh hukum dengan mengatasnamakan profesi kedokteran yang ‘luhur’,”
Wida membetulkan letak kacamatanya. “Being
a doctor and saving life doesn’t mean they can do whatever they want.
Seharusnya mereka sadar, bahwa menjadi dokter berarti menjadi perpanjangan
tangan negara untuk memenuhi kebutuhan hak masyarakat atas kesehatan. Not playing god as much as they like”.
Siena
mengangguk kecil, lalu tersenyum hambar. “Lucu ya, dari kecil gue selalu
berpikir it’s kinda cool to become a doctor one day. Saving life is heroic in my opinion. Then I grow up, masuk fakultas
kedokteran, tahu betapa susahnya jadi dokter. Baca puluhan buku teks yang
tebal-tebal, ujian tiap dua minggu sekali, siap-siap kerja rodi tapi gaji
kecil, siap-siap dituntut kalau pasien salah paham. Suddenly becoming a doctor doesn’t sound that cool anymore.”
“Elo
mau nyerah?” Wida memiringkan kepalanya.
“Nope,” Sienna menggeleng. “Gue cuma jadi
mikir, segalanya ternyata nggak sesederhana itu ya. Nggak cukup dengan sekadar
niat baik, and voila! You become an angel
and everybody loves you. Mau berbuat baik, tapi malah jadi bumerang. For god’s sake, siapa sih yang mau bikin
orang meninggal? Gue nggak akan jadi dokter kalau mau nyelakain orang.”
“Tapi
niat baik bukan berarti bisa jadi pembenaran atas segala tindakan lo. There are rules, dear”.
Siena
balas tersenyum, sedikit banyak ia setuju sih dengan Wida. Masalah tuntut
menuntut dokter ini pasti nggak akan selesai dalam waktu singkat. Tapi tentu
saja ia nggak akan berhenti jadi dokter hanya karena hal tersebut. Ia punya
segudang alasan untuk jadi dokter—untuk jadi dokter sebaik yang ia bisa. After all, she still thinks that becoming a
doctor is cool!
haha sembari curhat ya pris? :p
ReplyDelete