Elena
mengernyitkan dahi tatkala menatap langit yang siang itu tampak cerah tanpa
awan. Dalam hati ia mengeluh karena lupa memakai sunblock tadi pagi. Alarm yang tidak berbunyi tanpa sebab
membuatnya terburu-buru berangkat ke kampus, dan kini, sengatan matahari pukul
tiga siang terasa membakar kulitnya yang tidak mempunyai melanin sebanyak orang
Indonesia kebanyakan.
“Elena!”
Sebenarnya Elena enggan menoleh, ia ingin cepat-cepat masuk ke dalam mobil
untuk menghindari sinar matahari yang terasa semakin membara. “Elena!” panggil
suara itu lagi, yang akhirnya membuat Elena berbalik sambil melengos malas.
“Sky
Bar? Malam ini?” Seorang pria berambut kecoklatan dengan kacamata berbingkai
kotak menghampirinya.
Elena
menggeleng. “Gue pass deh malam ini,
Do".
“Really? Kita baru aja selesai ujian dan
dapet libur satu setengah bulan, and you
don’t even want to celebrate it? Ini nggak elo banget, El. Ada apa sih?”
“Nggak
ada apa-apa,” Elena tersenyum hambar. “Lagi nggak mood aja. Lain kali mungkin,” Ia melambaikan sebelah tangannya,
lalu berbalik, berharap Nando tidak mengejarnya untuk meminta penjelasan lebih
lanjut.
Elena
menekankan sidik ibu jarinya pada kenop mobil hingga pintu terbuka. Ia masuk,
dan secara otomatis mesin mobil segera menyala. “Rumah,” perintah Elena tanpa
semangat.
“Ada
tujuan lain sebelum rumah?” Terdengar suara seorang wanita yang berasal dari
komputer mobil. “Tidak,” Elena menggeleng.
“Kemudi
manual atau otomatis?” Komputer itu bertanya lagi.
“Otomatis”.
Mobil segera melaju meninggalkan pelataran parkir kampus. Elena meraih tablet
dari dalam tasnya. Benda tipis transparan tersebut langsung menyala begitu ia
menyentuhnya. Elena mengecek e-mailnya. Ia tersenyum tipis saat menemukan
e-mail yang dicarinya—terselip di antara banyaknya e-mail hasil ujian yang
dikirim langsung oleh professor yang mengajarnya. Elena membuka e-mail
tersebut, e-mail konfirmasi bahwa pesanannya tiba hari ini. Sebuah pohon natal mungil berdesain gaya
lama—bukan pohon natal dengan rancangan lean
dan modern yang membosankan seperti yang sekarang sedang tren. Elena
menatap foto pohon natal hijau pesanannya dengan puas.
Mobil
yang ditumpanginya berhenti di depan gerbang, menunggu hingga gerbang terbuka
otomatis dan mobil itu terparkir manis dengan sendirinya. Elena menatap dua
mobil yang juga terparkir di garasi dengan tatapan keruh.
“Sudah
makan?” suara komputer menyambutnya begitu ia menginjakkan kaki di rumah.
“Sudah,”
Elena berbohong, ia sedang tidak ingin makan apa pun. Ia hendak menaiki tangga
dan mendapati Mama sedang duduk di pantry
sambil menyesap secangkir kopi. Elena membuka mulut, namun ia mengurungkan
niatnya. Elena tersenyum kecut sambil menelan kembali perkataannya. Padahal
Mama di rumah, padahal Papa di rumah, tapi tetap saja yang menyambut
kepulangannya adalah komputer.
Elena
membuka pintu kamar dan mendapati sebuah kotak transparan berisi pohon natal
pesanannya. Masih polos, tapi sebentar lagi ia akan menghiasnya. Elena
menyapukan pandangannya ke sekeliling kamar. Ruangan yang tadinya serba putih
itu kini penuh dengan dekorasi merah dan hijau. Ia suka sekali berada di
kamarnya, berbeda dengan suasana di luar yang dingin dan kaku—kamarnya kini
terasa hangat dengan aura Natal yang pekat.
Baru
saja Elena menggantung beberapa ornamen pada pohon natalnya, suara ribut
terdengar dari lantai bawah. Elena mengigit bibir—berusaha tidak peduli pada
kegaduhan tersebut, ini bukan pertama kalinya terjadi di rumah. Ia bahkan sudah
hampir terbiasa dengan hal semacam ini.
PRAAAANGG!!
Elena menebak benda apalagi yang hari ini menjadi korban. Ia beranjak menuju player-nya, dan menyetel musik dengan
volume maksimal. Tapi suara-suara itu tetap tidak hilang. Kesal, akhirnya Elena
menyambar tabnya.
“Richie,
elo dimana?” Beberapa detik kemudian wajah Richie muncul di layar.
“Di
gereja, latihan buat Christmas Carol,” jawab sahabatnya itu.
“Oke,
gue ke sana.”
“Great, kebetulan ada sesuatu yang pengen
gue kasih ke elo”. Elena segera menyambar tasnya tanpa menghiraukan kalimat
terakhir Richie. Ia menuruni tangga, berusaha untuk tidak mendengar dan melihat
pertengkaran kedua orang tuanya di ruang tengah. “Gereja,” ia memberi perintah
pada komputer mobilnya. “Kemudi manual”. Elena menginjak pedal gasnya
dalam-dalam.
“Gue
benci Natal tahun ini,” Elena membiarkan kalimatnya keluar begitu saja,
sementara Richie duduk di sebelahnya. “Dan tahun-tahun sebelumnya. Gue nggak
ingat kapan terakhir kali gue natalan dengan tenang”.
“Ini
soal orang tua lo lagi ya?” Richie menatap sahabatnya itu lama.
“It’s like I get a terrible Christmas gift every
year!” Nada Elena naik seoktaf, tidak peduli dengan tanggapan Richie.
Selama ini hanya pada Richie ia bisa bercerita tanpa sensor tentang apa pun.
Hanya sahabatnya itu yang bisa membiarkannya menumpahkan segala kekesalannya
dan membiarkannya menangis sampai puas.
“Natal
bukan soal kado, iya kan?” Richie berusaha untuk tetap tenang di sebelah
sahabatnya yang meledak-ledak. “Let’s
say, you get an awful present, it can’t be the reason to say that you’re having
a bad Christmas. Bukannya itu alasan elo tetap suka Natal? Bukannya itu
alasan elo tetap menghias kamar lo tiap tahunnya? Christmas is about who have came years ago, and will come back anytime
soon, isn’t it?” Richie berhenti sebentar sebelum akhirnya melanjutkan.
“Dan lagi, mungkin tahun ini kado Natal lo nggak akan seluruhnya buruk”. Ia
menyodorkan sebuah kotak berpita putih.
Elena
menatap Richie tidak percaya, baru kali ini sahabatnya itu memberinya kado
Natal. “Elo sehat?”
“Sehat
banget,” Richie nyengir.
Elena
menarik pita yang membungkus kotak tersebut, lalu membukanya. Isinya adalah
sebuah bando bertanduk rusa. Elena tertawa kecil. Satu lagi yang ia suka dari
Richie adalah cowok itu selalu tahu cara menghentikan tangisnya di saat yang
tepat.
Richie
mengambil bando tersebut dan memakaikannya pada Elena. “Mau datang ke malam
Natal bareng?”
Elena
tersenyum, mungkin Natal tahun ini nggak seburuk yang ia bayangkan.
picturetakenfrom:weheartit.com |
I love the idea about computerized things in this short story. :))
ReplyDelete