Aku
duduk di pinggir lapangan basket yang kosong sore itu, angin yang berhembus
membuatku setengah mengantuk. Aku melirik jam tanganku, masih ada lima belas
menit lagi sebelum ekskur cheerleading
Renza bubar. Aku mengalihkan pandanganku ke depan gerbang sekolah, pada
kendaraan-kendaraan yang hilir mudik tanpa mempedulikan keberadaanku.
“Hai,”
sebuah suara memecah lamunanku. Detik berikutnya orang itu sudah duduk di
sebelahku, ikut bersandar dan menikmati suasana sore yang teduh.
“Lagi
nungguin Renza selesai latihan cheers,
kan?” tebaknya dengan senyum cerah yang khas.
Aku
mengangguk, masih setengah terkejut karena mendapati orang yang seharusnya
tidak pernah berbicara denganku kini duduk bersebelahan denganku. Ini bukan
kali pertama kami berbicara. Ini adalah kali kesekian yang membuatku
bertanya-tanya apa yang membuatnya mau berbicara denganku.
Aku
bukan anak populer. Kalau saja aku tidak bersahabat sejak kecil dengan Renza
yang adalah anak cheers, mungkin aku
tidak akan punya teman sama sekali. Aku adalah anak yang duduk di pojok kelas,
mengikuti pelajaran, lalu pulang. Tidak akan ada yang peduli jika aku tidak
masuk, tidak akan ada yang menyadari jika aku bolos kelas. Aku adalah bagian
yang tidak terlihat—the invisible,
begitu aku selalu memandang diriku.
“The
Zahir, Paulo Coelho.” Ia membaca judul buku di atas pangkuanku. “Yang kemarin
udah selesai dibaca, ya? Yang ini bagus?”
“Bagus,”
lagi-lagi aku mengangguk. Apa yang membuatnya tidak bosan berbicara denganku?
Aku tidak punya ribuan kosa kata yang sanggup membuatnya tertarik.
“Baru
selesai latihan band?” aku mencoba
bertanya, tidak ingin terlihat membosankan di hadapannya.
“Iya,
untuk closing cup minggu depan,” ia
menjawab. Arga, gitaris band sekolah,
masuk dalam jajaran anak paling populer. Punya banyak penggemar, supel, siapa
pun mau berteman dengannya—he is all
visible.
Aku
menatapnya lama. Arga adalah orang pertama yang mau mencoba mengakrabkan diri
denganku selain Renza. Ia adalah satu-satunya orang yang tertarik dengan apa
yang kubaca di sekolah. Ia mau berlama-lama berdiri di depan mading dan membaca
tulisanku. He doesn’t laugh at me when I
told him I love the smell of the new book. He is the one, who compliments me for what I wrote. He is the one who
makes me comfortable with myself.
“Ngomong-ngomong,
ingat buku yang belum lama lo baca sebelum ini?” Arga bertanya. “The Fault in Our Stars?”
Aku
mengangguk.
“Gue
udah baca. Ceritanya sedih ya, gue sampai nangis”.
“Bohong,”
aku menaikkan alisku.
“Elo
nggak percaya gue nangis?”
“Gue
nggak percaya lo baca buku itu”.
“Really? Tampang kayak gue bukan tampang
baca buku, ya?” Ia tertawa kecil. “Gue benar-benar baca loh. Hazel Grace? Augustus Waters? I love the
idea of the infinity in their story”.
Aku
mengulum senyum, “Iya, iya. Gue percaya.” Apa yang membuat orang seperti Arga
mau bergaul denganku?
“Arga!”
teriakan dari seberang lapangan membuat kami menoleh.
“Eh
udah dulu ya, gue pulang bareng Rio,” Arga bangkit sambil menyandang gitarnya.
“Ngomong-ngomong, elo datang ke closing
cup minggu depan?”
“Gue
nggak suka keramaian,” aku menjawab.
“Oh
ya? Sayang banget. Padahal gue sama anak-anak main. I’ll treat you something if you come,” Arga tersenyum jenaka.
Aku
membalas tatapan Arga, laly tersenyum. “Oke, coba gue pikir-pikir dulu kalau
gitu.”
“Great. Gue duluan ya!” Arga melambaikan
tangannya lalu berbalik pergi.
“Arga
lagi?” Renza muncul di belakangku sebelum sosok Arga menghilang sepenuhnya.
“Kelihatannya dia suka sama lo, tuh,” Renza menyikutku dengan senyum jahil.
“Apa
sih, Za?” Aku memasukkan novel di pangkuanku ke dalam tas. “Yuk ah, udah sore
nih.”
“Eh,
ngomong-ngomong, tiket closing yang kemarin lo beliin buat gue masih ada?”
Aku bertanya.
“Loh,
katanya nggak mau dateng?”
“I think I’ll consider it,” Aku menggigit
bagian bawah bibirku.
“Ah,
gue tau. Lo pasti pengen liat Arga main kan?” Renza tertawa kecil. “You like him, right?”
“Well, I don’t hate him,” Aku menunduk
dalam-dalam. “He read John Green for me”.
“Arga?
Baca buku?” Renza membelalak. “Whoaa, he
definitely likes you! Elo juga suka dia kan? Ya udah tunggu apalagi?
Akhirnya ya, temen gue yang kutubuku ini dapet pacar juga!”
“Zaaa,”
Aku memutar bola mata. “Gue bilang gue nggak benci dia. Bukan berarti gue suka,
kan?”
“Ya,
ya, ya.” Renza masih cekikikan kecil,”Tinggal tunggu waktu aja kok sampai lo ngaku. Congrats,
ya!”
“Renzaaa…”
Aku menatap sahabatku dengan wajah yang terasa panas. Entahlah, munkin Renza benar,
mungkin juga tidak. Tapi satu hal yang aku sadari di tengah sore yang
menyenangkan ini adalah, untuk pertama kalinya aku menyukai diriku. Karena
Arga. Dan kupu-kupu yang tengah bermain di perutku.
No comments:
Post a Comment