Gitar.
Vida
menghembuskan napas panjang saat mendengar petikan alat musik tersebut mengalun
lembut.
“Salah
deh gue bawa lo ke sini,” Mario mengaduk-aduk Frapucinnonya yang baru saja
tiba. Sekali lihat gestur Vida saja ia sudah tahu gadis itu memikirkan apa—memikirkan
siapa. Padahal mereka cuma nongkrong di Kaftee & Bun, tempat hang out sejuta umat pelajar di Jakarta
Prime. Kenapa sih kafe ini jadi punya program live music tiap Jumat malam? Mario jadi kesal sendiri karena
melihat gelagat Vida saat menyaksikan permainan band di sudut kafe. Vida nggak kenal pemain gitar tersebut. Mario
juga nggak kenal, paling hanya anak band
dari sekolah-sekolah di sekitar kompleks ini yang diundang oleh pihak kafe.
Masalahnya bukan orang yang memainkan gitar tersebut, bukan juga soal lagu yang
mellow yang dihasilkannya. Tapi
gitarnya itu sendiri.
“Garin
juga suka main gitar,” Vida berbisik, matanya mulai basah oleh selaput tipis
air mata. Ini nih yang paling Mario benci, kalau sahabatnya itu mulai nangis
karena ingat mantan pacarnya. Vida yang putus, ia juga ikut-ikutan menderita.
“Garin
pernah bikinin lagu buat gue,” lanjut Vida lagi, suaranya bergetar. Mario hanya
diam. Ia udah pengalaman banget mendengarkan curhatan Vida pasca putus. Rekor
terlama Vida ngelupain mantan pacarnya adalah satu tahun, dan tercepat dua
bulan. Mario hanya berharap supaya Garin berhasil memecahkan rekor tercepat. Ia
malas mendengar ocehan panjang lebar Vida tentang mantan-mantan pacarnya,
termasuk Garin. Tapi, toh Mario tidak pernah bisa menolak. Ia akan selalu ada
untuk Vida. Menjadi telinga bagi gadis itu. Menjadi bahu untuk Vida menangis
dan bersandar.
“Gue
juga pernah bikinin lagu buat lo,” Mario menjawab asal-asalan.
“Tapi
itu kan beda. Lo sahabat gue. Garin pacar gue,” debat Vida, ia menyeka air
matanya dengan tissue.
“Mantan,”
Mario menegaskan.
“Apa
sih yang salah dari gue?” Vida terisak lagi. “Gue potong rambut demi dia, pake
baju yang dia suka. Gue belajar make up
buat dia, sementara lo tau sendiri gue nggak pernah dandan. Gue ngerelain waktu
gue sama lo buat dia. Gue bahkan berusaha sabar dan nggak marah saat dia
berkali-kali lupa janjian sama gue. Di mana sih salah gue, Yo?”
“Lo
mau gue jujur?” Mario melirik sahabatnya.
“Gue
nggak mau berubah demi cowok mana pun lagi,” Vida bersedekap.
“Nah,
itu lo sadar,” Mario menyeruput minumannya. “Cari pacar yang menerima lo apa
adanya, Vid. Yang nggak masalah kalau lo jalan sama dia tanpa make up. Yang nggak maksa lo pake baju
yang lo nggak suka. Cari cowok yang menghargai dan mau mengerti agenda lo. Yang
bisa marahin lo karena dia sayang sama lo, dan sebaliknya bisa lo tegur tanpa
dia harus jadi marah balik ke elo. Cari cowok yang—“
“Cowok
kayak gitu cari di mana?” Vida menghembuskan napas berat.
“Ada
kok.” Mario menatap Vida sementara gadis itu menatap si pemain gitar dengan
tatapan kosong. “Orang kayak gitu ada di dekat lo. Dekat banget”.
Maybe I annoy you with my choices
You annoy me sometimes too with your voice
But that ain't enough for me
To move out and move on
I'm just gonna love you like the woman I
love
We don't have to hurry
You can take as long as you want
I'm holdin' steady
My heart's at home
With my hand behind you
I will catch you if you fall
I'm just gonna love you like the woman I
love
Sometimes the world can make you feel
You're not welcome anymore
And you beat yourself up
You let yourself get mad
And in those times when you stop lovin'
That woman I adore
You can relax
Because, babe, I got your back
I got you
I don't wish to change you
You've got it under control
You wake up each day different
Another reason for me to keep holdin' on
I'm not attached to any way you're showing
up
I'm just gonna love you like the woman I
love
Yeah I'm gonna love you
Oh, Yeah I'm gonna love you
'Cause you're the woman I love
The Woman I Love—Jason Mraz
No comments:
Post a Comment