Love is not blind, it sees, but it doesn’t mind.—Ares
Liv
menatap ke dalam cermin. Ia nyaris tidak mengenali sosok yang dilihatnya. Wajah
pucat dengan kepala yang terbalut scarf hitam
polos milik Ibu. Setiap memandang dirinya sendiri seperti ini selalu membuat
hatinya sakit. Kemoterapi merenggut hidupnya sedikit demi sedikit. Tidak ada
lagi rambut sepunggung yang selalu ia ikat satu saat ke sekolah. Bagian bawah
matanya kini menghitam, bibirnya kering dan pecah. Satu-satunya yang masih
bertahan di sana hanyalah binar matanya yang entah sampai kapan masih dapat
dipertahankannya.
“Liv,
koper lo gue taro sini ya,” suara Ares membuatnya menoleh. Liv mengangguk pada
Ares yang berada di samping lemari kamarnya. Di mata Ares, seperti apa ya
dirinya yang sekarang?
“Thanks
ya, Res,” Liv nggak tahu apa yang membuat Ares masih bertahan di sisinya.
Menemani dirinya bolak balik kemo ke rumah sakit, membersihkan bekas
muntahannya, bergantian dengan Ibu menjaganya selama diopname.
“Udah
ya, gue balik dulu. Jangan capek-capek—“
“Eh,
Res,” Liv mendadak teringat sesuatu. Ia membuka laci meja belajarnya. “Gue
belum sempat ngasih lo kado ulang tahun kemarin ini. Padahal gue udah beli”.
“Mana
ya…” Liv mengobrak-abrik isi lacinya. Mencari kotak kado marun yang seingatnya
ia letakkan di sana. Tidak ada. Ia kemudian berpindah ke lemari dan membongkar
isinya.
“Pelan-pelan
aja carinya, Liv,” Ares duduk di atas ranjang Liv. Emosi Liv yang naik turun
belakangan ini sering membuatnya khawatir.
“Kenapa
nggak ada ya—“ Liv mulai panik, belakangan ini ia lebih sering melupakan banyak
hal. Kebanyakan sepele, namun tetap saja hal-hal tersebut membuatnya takut.
“Gue yakin kok udah gue beli. Gue ingat, gue—“
“Liv!”
Kaki Liv tersandung boneka beruang yang terjatuh saat gadis itu hendak
berbalik, namun untungnya Ares berhasil menahan pergelangan tangannya.
Liv
terdiam karena kaget. Ia tidak dapat berkata apa-apa, namun setetes air mata
mengalir di pipinya. Ia merasa semakin tidak mengenal dirinya sendiri
akhir-akhir ini. Tumor di otaknya seakan mengambil alih hidupnya, menjadikannya
orang lain.
“Pelan-pelan
aja, Liv. Nggak ketemu sekarang juga nggak apa-apa kok”.
“Kenapa,
Res?” Suara Liv bergetar. “Kenapa lo masih ada di sini? Keadaan gue nggak akan
tambah baik, gue mungkin akan ngelupain lebih banyak hal termasuk elo. Emosi
gue akan semakin nggak stabil, gue akan lebih sering marah-marah, gue akan
lebih sering nyakitin lo. Jadi, kenapa elo masih di sini?”
“Karena
ini elo, Liv. Karena ini elo makanya gue masih di sini,” Ares menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal, lalu dengan kikuk ia merogoh kantongnya dan
mengeluarkan sebuah kalung.
Liv
menatap benda itu lekat. Hanya kalung imitasi, namun tetap saja ia terkejut. “Boleh
gue jadi pacar lo?”
This post was made in the middle of a never-ending business plan task *sigh* and I wrote this while my other friends were busy doing their tasks. enough for the quick break, let's get back to work. And oh, forget this unimportant note.
No comments:
Post a Comment