Jadi
Rega menghilang begitu saja? Tidak ada surat? Tidak ada barang yang ia
tinggalkan? Tidak ada tanda-tanda? Bahkan tidak ada memori tentang Rega dalam
ingatan orang-orang di sekelilingmu? Tak ada foto sama sekali?” tanya dokter
Wina.
“Ya,”
aku mengonfirmasi.
“Apa
teorimu tentang hal ini?” Ia menyeruput teh hangatnya dengan congkak. Dia tahu,
dia sudah menang.
Aku
tak menjawab. Apa yang bisa kukatakan?
“Apakah
ini masuk akal?”
Aku
menggelengkan kepala, menggigit bagian bawah bibirku. Aku enggan menatap
wajahnya yang sombong itu.
“Maira.”
Dokter Wina mengambil napas dalam-dalam. “Langkah awal dari penyembuhan adalah
penerimaan. Kamu harus mengakui dan menerima bahwa kamu...” dia mencari
kata-kata. Wajahnya tampak sangat mengibaku, membuatku mual. “Kamu butuh
pertolongan.”
Emosiku
menggelegak. Harus berapa kali aku
meyakinkan orang-orang di sekitarku bahwa Rega benar-benar nyata?! Harus dengan
cara apa lagi aku membuat mereka percaya?!
Dokter
Wina mendekatkan tangannya pada pundakku—seperti yang dulu sering dilakukan
Rega saat menenangkanku. Aku tak sudi. Kutampar tangan itu kuat-kuat sebelum
sempat mendarat pada tubuhku.
Aku
bangkit dari sofa, lalu keluar dengan membanting pintu. Ini adalah terakhir
kalinya aku membiarkan diriku terkurung dalam ruangan itu. Tak peduli kata Ibu,
tak peduli kata Nadin. Persetan dengan semua ini.
***
|
A glimpse of my upcoming book, “MEMORIA”. Nantikan di toko
buku – toko buku terdekat ya! :)
This reminds me of Jan and Denza somehow (am a big fan of that story! -- still wondering bout rest of the story tho haha) Anw, yours never cease to amaze me that's why I can't wait to read this book. Dieu bless you!
ReplyDeleteini dari cerpen yang biasa kamu tulis dengan judul untitled gak sih pris? CANT WAIT!
ReplyDelete