Alana
menatap kosong lampu-lampu natal yang berpendar di sekitarnya. Samar-samar
alunan lagu little drummer boy versi
Pentatonix memenuhi gendang telinganya. Ia menerawang jauh, mengabaikan barisan
pohon natal bernuansa silver yang menghiasi kawasan taman Tribeca siang itu,
mengabaikan tawa dan canda para pengunjung yang berlalu lalang di
sekelilingnya.
Alana
menghembuskan napas berat. Ini adalah pagi natal, dan ia rindu keluarganya. Ia
kangen Yogyakarta. Padahal ini baru tahun pertamanya menghabiskan natal di
ibukota, namun ternyata kentalnya suasana natal di tempat ini membuatnya
merindukan rumah dan merayakan natal di sana.
Seorang
wanita berusia tiga puluhan melintas di depan Alana, wanita itu mendorong
seorang nenek yang berada di kursi roda, di belakangnya seorang bocah laki-laki
yang kurang lebih berusia lima tahun mengikutinya dengan langkah lebar-lebar
sambil memegangi topi santa yang kebesaran di kepalanya. Satu sudut bibir Alana
tertarik keatas, hatinya terasa pedih, ia berharap berada di rumah saat ini. Ia
berharap detik ini ia sedang duduk di salah satu kursi di meja makan kayu
bersama Ibu, Ayah, Opung, dan Bima, adiknya. Ia dapat membayangkan aroma ayam
panggang bercampur rempah buatan ibu yang menguar memenuhi ruang makan. Lalu
Ayah akan menyetel lagu-lagu natal dari piringan hitam legendarisnya. Opung
akan mengajak mereka semua berdoa sebelum makan, dan Bima akan mencuri-curi
mencicipi ayam panggangnya terlebih dulu saat mereka berdoa. Diakhir hari
mereka akan sama-sama berangkat ke gereja untuk menghadiri perayaan natal.
Tapi, Alana harus merelakan semua tradisi itu tahun ini karena kuliahnya.
Natal di Jakarta juga nggak buruk-buruk
amat, kok, begitu seorang teman pernah menghiburnya saat ia mengeluh soal
tidak dapat kembali ke kampung halamannya tahun ini. Alana tersenyum kecut
sambil menghapus setitik air mata yang mulai muncul di sudut matanya. “Coba
buktiin kalau natal gue nggak akan buruk-buruk amat,” Alana berbicara sendiri.
“Oke,
akan gue buktiin”.
Alana
mendongak mendengar sebuah suara bariton menjawabnya. Ia kenal suara itu.
Keeve. Benar saja, di hadapannya laki-laki itu tersenyum lebar sambil
menampakkan deretan gigi putihnya. Belum sempat Alana bereaksi, Keeve sudah
menarik tangan gadis itu kasual.
Keeve
membawa Alana ke gedung apartemen miliknya yang berada tidak jauh dari taman
Tribeca. Mereka kini berada di depan sebuah pintu kayu dengan Christmas wreath mungil yang tergantung
di depannya. “Siap?” Keeve mengerling jenaka pada Alana, membuat kedua alis
gadis itu bertaut. Tidak sampai satu detik setelahnya, laki-laki itu membuka
pintu di hadapan mereka.
“MERRY
CHRISTMAS!!!” Sambutan meriah di hadapannya membuat Alana mundur beberapa
langkah. Ia mengerjap beberapa kali. Di depannya, berdiri Ailin, Dera, Thomas,
Aria, Kika, dan masih banyak lagi teman sekelasnya, semua menyambutnya dengan
senyum lebar.
“Sini,”
Aria menarik tangan Alana dan mengenakan bando bertanduk rusa di kepalanya,
membuatnya sama seperti yang lain. Aria mempersilahkan Alana yang masih
terkejut untuk duduk bergabung dengan mereka di sofa. Alana memperhatikan meja
di hadapannya yang tampak meriah. Ada pizza berukuran besar dengan berbagai
macam topping, beraneka jenis minuman
soda, kue tart sewarna salju yang aroma vanillanya memenuhi sudut ruangan.
Kedua sudut bibir Alana mau tak mau tertarik ke atas. Ia baru sadar ternyata
natal dapat hadir dalam berbagai macam kemasan.
“Tuh
kan, gue bilang juga apa,” Alana merasakan napas hangat Keeve di telinganya. “Nggak
buruk-buruk banget kan?”
Alana
mengangguk. Mungkin bukan natal terbaik yang pernah dilaluinya, tapi mungkin
suatu hari nanti ia akan merindukan momen ini. Sebuah pagi di hari natal yang beraroma
vanilla.
picturetakenfrom:pinterest.com |
No comments:
Post a Comment