Aku
menatap jari-jariku yang menari lincah di atas deretan senar vertikal. Aku
tidak berkonsentrasi pada laguku—nada apa yang harus kumainkan setelah nada
sebelumnya, aku tidak berkonsentrasi pada permainan harpaku. Memainkan lagu ini
sudah menjadi otomatis sejak aku melatihnya gila-gilaan. Aku ingin permainanku
sempurna di atas panggung ini, saat ini, momen yang paling kunanti-nantikan
seumur hidupku. Momen di mana panggung ini adalah milikku sendiri. Musik ini
adalah jiwaku. I want it to be perfect.
But, the thing is, it can’t be perfect
without your presence.
Mataku
mulai terasa panas. Bukannya berkonsentrasi pada permainanku, aku malah
mati-matian berkonsentrasi agar air mataku tidak mengalir. Tepat satu minggu
lalu, di panggung ini, saat aku sedang melatih laguku, tepat ketika laguku
berakhir, kiamatku dimulai.
“Si…”
Raka menghampiriku, suaranya lebih rendah dari biasanya. Aku dapat melihat
matanya memerah. “Oma—”
Aku
tidak ingat jelas apa yang Raka ucapkan saat itu, detiknya berikutnya yang aku
ingat adalah saat aku menghambur masuk melalui pintu IGD seperti orang
kesetanan.
No, no, no, no, no. Please don’t let her
die. God, please don’t let her die. Seperti mantra, kalimat itu terus
kuulang sepanjang perjalanan sementara Raka menyetir dengan kecepatan penuh di
sebelahku.
God, please.
Aku
menyibak tirai dengan keras. Di sana ia terbaring. Begitu tenang, begitu diam,
sementara isak tangis keluarga yang lain memenuhi gendang telingaku. Tanpa
memedulikan beberapa perawat yang tengah membereskan peralatan resusitasi, aku
menyerbu masuk. Aku memeluk tubuhnya
sambil merasakan hangat yang perlahan mulai menghilang. “Oma…”
Raka
mengajakku duduk di sebuah bangku di rumah sakit, sementara keluarga yang lain
bergantian melihat Oma. “Oma janji mau datang ke konser tunggal aku,” Hanya
satu kalimat itu yang keluar dari mulutku setelah aku lelah menangis
meraung-raung. Satu janji yang sejak tadi terus menerus memenuhi otakku,
satu-satunya janji yang tidak akan pernah bisa ia tepati.
Raka
hanya diam di sebelahku. Aku tahu ia juga kehilangan. Raka telah mengenal Oma
jauh sebelum kami berpacaran—saat status kami masih sepasang sahabat. Oma
selalu menyambut hangat Raka jika aku mengajaknya ke rumah, bahkan Raka bilang
Oma adalah orang yang mendorongnya untuk menembakku.
“She is the closest person to a mother that I
have, Ka,” aku kembali terisak. Raka menaruh tangannya di kepalaku dan
membelaiku lembut. Sejak kedua orangtuaku bercerai, Oma menggantikan peran ibu
dalam hidupku. Ia yang mengantarku di hari pertamaku masuk sekolah. Ia yang
membujukku untuk makan saat aku sakit. Ia yang berlari-lari dengan payung
menjemputku saat hari hujan dan aku lupa membawa payung. Ia yang dengan sabar
mebacakan cerita untukku hingga aku terlelap. Ia yang pertama kali aku
ceritakan saat aku pertama kali jatuh cinta, ia juga yang memelukku saat aku
menangis berhari-hari karena patah hati. Dan Oma juga satu-satunya orang selain
Raka yang selalu mendukungku bermain harpa. Ia yang membelaku di depan Papa
saat Papa memaksaku mengambil kedokteran sementara aku memilih sekolah musik.
Ia juga yang membuatku tidak menyerah dan terus bermain harpa walau akhirnya
aku harus mengalah pada Papa.
Air
mataku akhirnya jatuh. Menimbulkan kilatan bening pada senar yang kupetik. Aku
memejamkan mata. Harusnya Oma ada di sini, berada di antara ratusan pasang mata
yang menatapku bermain saat ini. Mendengarku bermain. Aku bahkan belum bilang
padanya bahwa aku akan bermain di konser tunggalku sendiri, aku ingin hari ini
menjadi kejutan untuknya. Ia pasti akan sangat bangga padaku.
I can picture her sitting over there in the
crowd, smiling at me, whispering, ‘Well done, Sisi’.
Instead,
Here I am, playing for her up above,
whispering in my heart,
’Well done, Oma. You did great. Thank you
for being a great mother for me’.
picturetakenfrom:pinterest.com |
No comments:
Post a Comment