Mia
memandang pantulan dirinya dalam cermin. Average—kalau
nggak bisa dibilang di bawah standar, ia menyimpulkan. Tingginya 157 cm dan
berat tubuhnya ideal—masih dalam skala BMI normal, walau ia sering mengeluhkan
tumpukan lemak di lengannya. Kulitnya kecoklatan akibat terlalu sering naik
angkutan umum. Rambut hitamnya terurai sampai ke punggung namun teksturnya yang
sedikit kasar dan sulit diatur kerap membuatnya jengkel. Wajahnya bulat,
matanya terlalu besar, ia selalu merasa wajahnya tidak proporsional.
“Gue
sejelek itu ya?” Ia bergumam di sela alunan lagu Gravity-nya Sara Bareilles
yang mengisi seantero kamar.
“Lo
nggak jelek,” Giska—sahabatnya yang sedang asik tengkurap di ranjang miliknya
menjawab asal. Tangannya sibuk membalik halaman majalah LYFE edisi terbaru.
“Terus
kenapa dia milih cewek itu dibanding gue???” Mia bertanya kesal sambil
menjatuhkan dirinya ke tempat tidur, tepat di sebelah Giska hingga cewek itu
merasa terganggu.
Giska
menyodorkan sekotak tissue pada
sahabatnya, kalau-kalau Mia siap untuk menangis ronde lima.
“Nggak
usah,” Mia mendorong kotak tersebut menjauh,”Gue capek nangis”.
“Lupain
aja cowok kayak gitu,” Giska menanggapi.
“Kayaknya
emang gue yang nggak pantes buat dia deh. Iya, kan Gis? Jujur deh sama gue, lo
nggak perlu bohong. Pertama gue nggak cantik—“
“Mi—“
“Kedua,
badan gue nggak tinggi dan langsing. Ketiga, otak gue pas-pasan banget—“
“Mi—“
“Gue
juga nggak bisa dandan. Gue nggak ka—“
“Mia!”
Giska memotong gemas. “Berhenti jelek-jelekin diri lo sendiri”.
“Ya habis
gue sebel, Gis. Sepuluh bulan.” Mia menunjukkan kesepuluh jarinya di depan
wajah Giska. “Selama sepuluh bulan dia ngedeketin gue. SMS atau LINE atau
Whatsapp tiap hari. Nanyain kabar dan lain-lain. Cuma untuk jadian sama cewek
lain, terus putus, balik ngedeketin gue lagi, jadian sama cewek lain, putus,
dan sekarang ngedeketin gue lagi.” Nada Mia naik seoktaf.
“Cowok
kayak gitu mah jelas-jelas harus dibuang jauh-jauh,” Giska menatap sahabatnya.
“Tapi
gue sayang sama dia, Gis,” Mia mengigit bagian bawah bibirnya. “Gue jatuh
cinta”.
“Menurut
penelitian, hormon jatuh cinta mencapai puncaknya satu sampai dua tahun.
Setelah itu kadarnya bakal menurun, makanya hubungan cewek dan cowok nggak bisa
cuma berlandaskan kata ‘jatuh cinta’,” Giska menaikkan kacamatanya,”Lagian, bisa
aja elo nggak jatuh cinta. Elo cuma senang dikasih perhatian sama dia.”
“Tapi
kalau gitu maksud semua perhatiannya selama ini apa dong? Salah gue dimana
sih?”
“Elo
nggak salah dimana-mana,” jawab Giska tenang.
“Iya,
gue nggak salah dimana-mana. Muka sama otak gue kan udah nggak bisa diapa-apain
lagi,” jawab Mia sinis.
“Ralat,”
Giska menatap Mia tegas. “Salah lo satu. Lo nggak sayang sama diri sendiri. Lo
nggak bisa berharap seseorang sayang sama lo kalau lo sendiri nggak sayang sama
diri lo. Terima diri lo apa adanya, Mi. Kalau bukan lo yang ngelakuin itu,
siapa lagi?”
Mia
terdiam.
“Elo
nggak jelek. Pikiran lo bahwa lo jelek yang bikin elo nggak menarik di mata
orang lain. Kalau lo sendiri udah nggak percaya diri, gimana orang bisa ngeliat
daya tarik lo?”
Mia
menghela napas panjang. “Jadi menurut lo mending gue lupain aja dia?”
“Cowok
kayak gitu nggak pantes buat lo. Elo layak dapat seseorang yang ngeliat lo
melebihi fisik lo—melebihi hal-hal yang biasa dilihat dunia. Suatu saat gue
yakin kok akan ada orang yang mengasihi lo dengan tulus. You’re worth the wait”.
“Jadi
lupain nih?”
“Lupain.
Hapus contact-nya. Dan nggak usah
bahas-bahas dia lagi. A godly woman
deserves a godly man, Mi. Masalahnya cuma kita bisa sabar buat nunggu waktunya
Tuhan apa nggak”.
No comments:
Post a Comment