Rahel
menatap lautan kertas post-it yang
tertempel di hadapannya. Sudah hampir setengah jam ia duduk tanpa melakukan apa
pun di depan meja belajar. Buku biologi yang terbuka lebar dibiarkannya begitu
saja, semangat untuk membaca baris demi baris kalimat yang digarisnya dengan
stabilo warna-warni sudah menguap sejak tadi.
Rahel
membaca setiap tulisan dalam post-it itu satu persatu. Mulai dari catatan bahan
ulangan, rumus, jadwal les dan rapat OSIS, deadline
tugas, sampai yang nggak penting seperti quotes dan doodles yang
dibuatnya di sela-sela jam pelajaran, serta lirik-lirik lagu ciptaannya yang
selalu muncul saat otaknya jenuh seperti saat ini.
Rahel
menghembuskan napas keras. Sebuah kertas post-it
yang sengaja ditempelnya agak jauh dari kumpulan post-it lain menangkap perhatiannya. Tulisan pada kertas itu
berbeda dari yang lainnya—acak-acakan dan hampir tidak terbaca. Tapi Rahel
sudah tahu isinya tanpa harus membacanya lagi, ia sudah hapal isinya lantaran
terus menerus melihatnya selama hampir seminggu ini:
On Ground. Sabtu 29 September. Pk 19.30. Gonna be awesome!
Semuanya
berawal dari keisengannya Senin kemarin, sepulang rapat OSIS. Tiba-tiba saja ia
tergoda untuk masuk sebentar ke ruang musik. Dan tanpa ia sadari, ia sudah
mengeluarkan sebuah gitar akustik dari lemari dan memetiknya pelan. Sebuah
melodi yang sudah sejak jam pelajaran fisika tadi terngiang-ngiang di
kepalanya, sebuah ide untuk lagu barunya.
“Bagus,”
sebuah suara dalam mengejutkannya. Rahel menoleh, mendapati Erga, teman
sekelasnya bersandar di pintu dengan kedua tangan di saku celana.
“Sejak
kapan elo nguping?” nada Rahel terdengar ketus tanpa sengaja. Baru kali ini ada
orang yang mendengar lagu ciptaannya. Bahkan baru kali ini ada orang selain
Mama dan Papa yang mendengarnya bermain gitar.
“Cukup
untuk tau elo jago,” Erga nyengir, lalu duduk di belakang drum. “Ada kertas?”
Rahel
menggeleng sambil mengerutkan kening. “Post-it boleh?”
“Post-it will do,” Erga tersenyum, lalu
menerima kertas post-it yang memang selalu dibawa Rahel ke mana-mana. Dengan
cekatan ia menuliskan beberapa kalimat di sana, lalu memberikannya pada Rahel.
“On
Ground?” Rahel membaca tulisan yang tertera. Ia pernah sekali diajak Yoris
sepupunya ke sana. Sebuah kafe yang menampilkan band-band independen setiap malamnya, kalau beruntung pengunjung
bisa mendapat kesempatan mendengar musik-musik yang luar biasa.
“Sabtu
ini gue line-up di sana. You’re welcome to join if you wish,”
Erga tersenyum hangat,”Jangan lupa bawa gitar lo”.
Rahel
terdiam sejenak. “Elo serius? Gue?”
“Kaget?”
“Gue
nggak sekompeten itu. Gue nggak jago,” Rahel menggeleng, selama ini main gitar
cuma jadi guilty pleasure-nya—pelariannya
kalau ia sudah jenuh dengan tugas dan segala macam urusan organisasi. Nggak
pernah kepikir sama sekali untuk mengembangkan hobinya yang satu itu.
“Jangan
merendah,” cibir Erga. “Sayang banget kalau kemampuan sebagus itu disia-siain. You’ll never know what you’ll become right?”
Pikiran
Rahel kembali ke saat ini. Elo kan nggak
tahu elo bakal jadi apa nantinya. Selama ini ia pikir profesi cuma itu-itu
aja: dokter, pengusaha, arsitek, desainer, karyawan. Nggak pernah terlintas
dalam benaknya kalau ia bisa aja banting setir berkarya di dunia seni. Yah,
untuk saat ini ia memang belum memutuskan untuk mencari makan di bidang itu
sih. Tapi, teringat penuturan Erga beberapa hari lalu, ia jadi tergelitik untuk
menjajal kemampuannya di On Ground. Toh, nggak ada salahnya kan meninggalkan
sebentar urusan akademik demi mengasah minatnya? Siapa tahu, ia bisa jadi
musisi nantinya!
No comments:
Post a Comment