Nicholas
Grey selalu tahu sahabatnya tidak akan bertahan lama. Matanya bisa melihat
itu,—bayangan yang mulai mengabur dari orang-orang yang waktunya hampir habis
di bumi. Kemampuan yang lebih dianggapnya kutukan daripada anugerah.
“…Nik,
Niko,” Miya menggucang lengan sahabatnya,”Nicholas Grey Putra!”
“Ya?”
Niko menjawab sekenanya, ia melirik sekilas gadis yang terbaring dengan selang
infus di sebelahnya. Lidah Jepang-Amerika Miya memang nggak pernah cocok menyebut nama belakangnya yang sangat Indonesia.
“Berhenti
ngelakuin itu, Niko,” tegur Miya galak. Matanya bersinar penuh semangat,
suaranya terdengar lantang, sama sekali nggak terlihat seperti orang sakit.
“Ngelakuin
apa?”
“’Melihat’
bayang-bayang gue,” Miya memutar bola matanya, selain wajah orientalnya yang
nampak pucat, tubuh gadis itu nampak segar bugar. Kalau saja Niko tidak
berpuluh-puluh kali menyaksikan gadis ini mengalami serangan dan kolaps, ia
tidak akan percaya pada apa yang dilihat mata batinnya. “Gue bosen dibacain
terus. Hari ini apa? Seberapa tipis bayangan gue? Berapa lama lagi gue hidup?
Berhenti mencari tahu semua itu, Nik. Gue nggak peduli.”
“Tapi,
gue peduli,” rahang Niko mengeras. Ia pertama kali bertemu dengan Miya empat
tahun lalu, kelas 3 SD, saat dihukum menjalani kegiatan sosial dari sekolah
gara-gara bolos selama tiga hari berturut-turut. Queency Hospital memang sudah
jadi langganan tetap sekolahnya mengirimkan murid-murid mereka untuk melakukan
tugas sosial. Dan hari itu, Niko ditugaskan ke bangsal anak untuk menemani
seorang gadis kecil sebayanya yang hendak menjalani operasi tumor otak.
Niko
ingat saat itu Miya menyambutnya dengan ceria, dengan senyum yang sanggup
membuatnya lupa betapa ia membenci tugasnya hari ini.
“Kamu ngelakuin apa sampai dihukum ke sini?”
itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Miya. Terlalu sering keluar
masuk rumah sakit, membuatnya jadi terbiasa dengan anak-anak seperti Niko yang
menemaninya sepanjang hari.
“Bolos,” jawab Niko singkat, bersyukur
ternyata gadis berwajah Jepang ini fasih berbahasa Inggris,“Kamu sakit apa?”
“Brain tumor,” Miya nyengir tatkala menunjuk
kepala botaknya,”Baru dicukur kemarin. Operasinya besok pagi”.
Niko mengerjap sejenak. Gadis cilik di
hadapannya ini menceritakan penyakitnya seperti mengatakan menu makan siangnya.
“Kamu nggak takut?”
“Takut apa?” alis Miya bertaut, seolah kata
itu tidak pernah ada dalam kamusnya.
“Mati,” Niko berkata lugas, nggak peduli
akan membuat gadis dihadapannya ini sedih. Toh, mereka tidak akan bertemu lagi
setelah hari ini.
“Kata dokter, aku akan dibius, nggak akan
merasa apa-apa. Berhasil atau nggak, mati atau hidup, aku nggak akan merasa
sakit. Jadi, untuk apa takut?”
“Kamu nggak takut kehilangan orang tua
kamu?”
“Tentu saja aku akan sedih. Tapi, mereka
bilang kami akan bertemu lagi nanti. Mereka bilang, nggak apa-apa untuk pergi
saat aku memang sudah nggak kuat”.
Niko tercenung mendengar penuturan jujur
tersebut. Di akhir hari itu, sebelum mereka berpisah, ia memberanikan diri
untuk mengintip bayang-bayang Miya.
Niko
nggak pernah berharap bisa bertemu dengan Miya lagi setelah hari itu.
Bayang-bayang Miya adalah bayang-bayang tertipis yang pernah ia lihat—seolah
gadis itu bisa pergi detik itu juga di depan matanya.
“Gue
peduli,” Niko menegaskan kembali, teringat pertemuan mengejutkan mereka di
kafetaria rumah sakit sebulan kemudian. Niko nyaris percaya kalau ia sedang
melihat hantu, kalau saja Miya tidak menepuk punggungnya bersahabat. Sejak saat
itu mereka berteman akrab. Menghabiskan waktu bersama. Saling berbagi rahasia.
“Gue peduli tentang berapa lama lagi elo bisa hidup, sampai kapan elo bisa
bertahan, bagaimana elo menghabiskan sisa hidup elo. Kalau lo nggak mau peduli
tentang semua itu, gue yang akan peduli”.
Miya
tersenyum tipis, ia akan merindukan saat-saat adu mulut seperti ini kalau ia
mati nanti. “Elo selalu bilang kemungkinan gue untuk hidup kecil kan? Dari
dulu, kalau elo melihat bayang-bayang gue, elo selalu bilang waktu gue nggak
lama lagi kan? Tapi apa yang terjadi sekarang? Gue masih di sini. Tumornya
masih ada dan akan selalu tumbuh di kepala gue, sementara gue tetap hidup. I survive. Many times. Gue jauh lebih
beruntung dari ibu-ibu yang nggak sengaja lo liat bayangannya di Grand Avenue
dan sedetik kemudian mati tertabrak mobil. Gue jauh lebih beruntung dari anak
lima tahun dengan kelainan jantung yang kita jenguk bulan lalu. Bukannya gue
nggak percaya dengan kemampuan lo, tapi gue sadar apa yang lo lihat bisa
berubah. Elo bisa mengubahnya—atau paling nggak berusaha mengubahnya. Makanya
gue selalu bilang you’re gifted, Nik.”
Niko
tahu semua yang dikatakan sahabatnya benar. Miya selalu punya sesuatu yang
nggak pernah dimilikinya sejak dulu—kemampuan untuk bersikap positif dalam
kondisi apa pun.
“Everybody dies anyway,” Miya berkata
ringan,”Dalam kasus gue, gue cuma lebih dekat aja sama kenyataan itu. Di mana
dan karena apa gue akan meninggal, cuma Tuhan kan yang tahu? Bahkan elo nggak
akan bisa melihat itu”.
“Even a death predictor needs God, huh?”
Niko tersenyum muram.
“Everybody needs God,” Miya tersenyum ke
arah sahabatnya,”And… someone to hang on
in the worst of their life”.
“Stop,”
Niko mengangkat sebelah tangannya, tahu kemana pembicaraan ini akan mengarah,
ia paling malas kalau Miya sudah mulai melankolis seperti ini.
“Thanks for being my best friend,” Miya
tertawa kecil.
“Gue
bilang stop. Jangan ngomong seolah kita nggak bakal ketemu lagi,” Niko menjitak
kepala Miya pelan.
“Siapa
yang mulai ngintip-ngintip bayangan orang seolah-olah kita nggak bakal ketemu
lagi?” balas Miya.
“Miyako
Ried…” Niko berseru gemas.
“Hahaha…
Easy, Nik. It’ll be another day I
conquer, trust me,” Miya mengacungkan jempolnya.
Niko
mengangguk. Miya yang dikenalnya selalu seperti ini, memilih menghibur orang
alih-alih dihibur, tertawa daripada menangis. Tapi yang paling Niko suka dari
sahabatnya adalah, ia selalu lebih memilih menang alih-alih kalah.
picturetakenfrom:weheartit.com |
No comments:
Post a Comment