Entah
sial atau apa, tahun ini adalah tahun kedua saya menghabiskan malam tahun baru
di rumah sakit. Rasanya ingin mengeluh, iri melihat teman-teman saya yang lain
dapat menghabiskan malam tahun baru dengan berlibur di luar negeri, atau
menunggu detik-detik pergantian tahun dengan makan malam bersama. Sementara
saya, saya harus merelakan dua malam tahun baru saya berlalu begitu saja tanpa
seremoni apa pun.
Tahun
lalu, saya melalui malam tahun baru di sebuah rumah sakit di Sukabumi, dan
harus puas dengan sepotong pizza ditengah-tengah kelelahan menerima pasien. Dan
kemarin, saya menghabiskan malam tahun baru saya di sebuah ruang perawatan
intensif, ditemani bunyi monitor sebagai penghitung waktu mundur menuju tahun
baru. Kesal rasanya, saya ingin protes, tapi toh saya sadar, siapa saya hingga
saya berhak untuk marah. Karena di tengah-tengah kekesalan saya, saya menyadari
banyak hal. Bahwa di bawah gemerlap nyala kembang api yang menyelimuti ibu
kota, ada seorang pria yang sedang meregang nyawa. Bahwa di sisi lain, di saat
sebuah keluarga sedang menghabiskan makan malam dengan penuh canda, ada
keluarga lain yang sedang menatap sebuah bangku kosong karena ini adalah malam
tahun baru pertama yang mereka lewati tanpa orang yang mereka kasihi. Bahwa di
saat sebagian dari kita menghitung detik-detik menuju tahun baru, ada seorang
ibu yang sedang menghitung napas anaknya, berharap anaknya dapat hidup satu
detik lagi, satu menit lagi, satu hari lagi. Bahwa di antara riuhnya bunyi
terompet tahun baru, ada sedu sedan sebuah keluarga yang baru saja kehilangan
seorang ayah. Bahwa tidak semua dari kita menyambut tahun yang baru dengan
sukacita.
Selamat
tahun baru, selamat mensyukuri hal dan orang-orang terkasih yang masih kita
miliki hingga saat ini.
picturetakenfrom:pinterest.com |
Great as always :)
ReplyDelete