Aku
mengeluarkan ponsel. 1 Reminder: Rega’s Birthday. 18 Desember. Tujuh
hari sebelum Natal. Pukul 5.30 sore.
Kami
selalu merayakan ulang tahun Rega tepat pada jam lahirnya. Biar lebih afdol, Rega selalu beralasan. Aku memejamkan mata,
membayangkan Rega berada di hadapanku. Duduk bersamaku, bercerita tentang
banyak hal, tertawa saat ia meniup lilin ulang tahunnya.
Aku
mengeluarkan lilin yang telah kusiapkan dari dalam tas menancapkannya pada cupcake di hadapanku, kemudian
menyalakannya. Gula-gula putih yang bertaburan di atasnya terlihat berkilauan dalam
temaram cahaya lilin. Cantik. Mengingatkanku pada pemandangan serupa yang
pernah kulihat bersama Rega tahun lalu—kilauan air laut yang ditimpa matahari
senja. Kami menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di tepi pantai sore itu.
Tidak ada kegiatan praktis apapun. Hanya diam dan menikmati laut sambil
ditemani angin sore yang terasa lengket di kulit.
Lilin itu indah ya. Sebuah kalimat yang pernah
dilontarkan Rega tergiang begitu saja. Kelihatan
rapuh sekaligus kuat. Kayak manusia.
Aku menatap api yang menari-nari ringan
pada seutas sumbu putih yang menjadi tumpuannya. Seperti berusaha
mempertahankan keberadaannya yang nyaris hilang. Padahal ia bisa menjadi kuat
jika mau. Padahal, ia bisa menjadi senjata paling mematikan—menyulut kayu dan
membakar habis ruangan ini jika ia mau. Tapi toh lilin ini memilih berpendar
malu-malu, membakar habis dirinya sendiri. Seperti sudah bosan untuk hidup.
“Selamat
ulang tahun, Rega.” Aku meniup lilin tersebut, berharap Rega juga sedang
melakukan hal yang sama di mana pun ia berada.
Secuplik kisah Maira dan Rega, baca selengkapnya di novel
terbaru saya ‘Memoria’, sudah dapat dibeli di Gramedia terdekat :).
No comments:
Post a Comment