picturetakenfrom:weheartit.com |
Sepanjang
acara selalu ribut, asik sendiri. Beberapa anak balita bahkan maju-maju ke
dekat panggung, nari-nari, ada juga yang berisik mainin bangku. Sampai waktunya
khotbah, kebanyakan anak bahkan nggak mendengarkan cerita dari pendetanya. Well, jadi pembicara anak-anak memang
nggak mudah ya. Kalau saya yang berbicara di depan saya pasti sudah kesal
setengah mati. Saya jadi bertanya-tanya apa dulu waktu kecil saya juga kayak
gitu. Susah diatur, maunya asik sendiri. Untungnya sekarang udah nggak ya.
Tapi apa emang iya begitu? Pertanyaan
ini mendadak muncul di kepala saya. Apa saya yang sekarang juga nggak seperti mereka? Mungkin nggak
se-ekstrim anak-anak itu yang maju-maju ke depan atau ngobrol keras-keras.
Tapi, pada kenyataannya, saya memang masih sering seperti anak-anak sekolah
minggu itu. ‘Asik sendiri’ dan nggak mau mendengarkan saat Tuhan berbicara.
Terlalu fokus pada urusan saya sampai-sampai suara Tuhan yang keras dan jelas
saja nggak terdengar.
Kalau
saya melihat anak-anak itu saja sudah kesal. Mungkin Tuhan lebih kesal lagi
sama saya. Udah terlalu sering saya mengabaikan Dia dengan alasan sibuk dengan
urusan saya sendiri. Udah terlalu sering Tuhan berbicara pada saya dan saya
nggak berusaha untuk mendengarkan. Dan saya jadi sadar, ternyata berhenti menjadi
anak kecil secara fisik nggak berarti berhenti menjadi anak kecil dalam hal
rohani. Yang kelihatan—dan memang pada praktiknya kita menjadi dewasa, duduk
tenang di gereja, mendengarkan khotbah, saat teduh setiap hari, tapi, apa iya?
No comments:
Post a Comment