Mereka bilang jika kamu diperhadapkan pada sebuah peristiwa
yang hampir merenggut nyawamu, seluruh kilasan kejadian dalam hidupmu akan
muncul bagai rentetan adegan film yang di fast
forward.
Mungkin itu juga yang baru saja ku alami.
Kue ulang tahun dengan lilin angka 5 yang menyala-nyala;
sepeda roda dua pemberian Ayah; seragam putih biru yang kukenakan sambil
berputar-putar di depan cermin; pelukan kedua orang tuaku; kelas di mana aku
pertama kali melihatmu 7 tahun lalu; hangatnya genggaman tanganmu; suara
rendahmu yang kerap memarahiku saat salah, menghiburku saat sedih; kebaya
wisuda SMA yang ku pesan jauh-jauh hari; hamparan bintang di langit Jakarta
yang kita lihat bersama pekan lalu.
Aku tidak dapat melihat apa pun. Udara terasa begitu pengap
dan berat. Jeritan-jeritan histeris di luar sana terdengar samar. Jantungku
berdebar kencang. Aku tahu seharusnya aku panik. Bangkit, dan mencari jalan
keluar. Tapi, seluruh kegelapan ini seakan melindungiku. Membuatku betah
berlama-lama daripada harus menghadapi apa yang terjadi sebenarnya.
Bukan. Bukan aku memilih mati. Hanya saja tempat ini
memberiku ruang untuk menyendiri. Menyediakan jeda yang selama ini aku
perlukan. Berbaring tak berdaya di sini membuatku merasa seakan terasing dari
perputaran semesta. Menjadikanku pengamat, individu yang terlepas dari dimensi
waktu dan tempat. Aku ingin tenggelam dalam sepi ini. Aku ingin seperti ini
lebih lama.
Suara batuk di sebelah membuatku menoleh. “Kamu baik-baik
saja?” Suaramu yang penuh urgensi menggema di bawah reruntuhan yang menghimpit
kita.
Aku mengangguk lemah, dan merasakan kedua telapakmu pada
pipiku. “Kita akan baik-baik saja”.
Kamu bergerak, berusaha mencari celah yang mengizinkan kita
bebas. Asap yang mencekik paru-paru mulai terhirup.
“Bertahanlah sebentar lagi,” kamu bergumam. Kepalaku seakan
melayang hingga yang kulihat hanya bayang-bayang mu di sana, terduduk di
sebelahku. Seperti malaikat penjaga yang akan melindungiku selamanya.
Keringat mengucur membasahi pelipisku. Panas. Mungkin di
luar sana perapian raksasa sudah tercipta. Menjadi tempat di mana orang-orang
berteriak putus asa sementara membayang orang yang mereka cintai. Tapi aku bersyukur, di bawah himpitan
reruntuhan gedung yang entah di mana ini, kamu ada untuk memperjuangkan hidup
kita.
No comments:
Post a Comment