“Maaf,
ya,” Ayah meremas pundakku hangat. Senyum kecewa terukir jelas di wajahnya. Ia
menaruh selembar formulir yang berisi deretan nominal rupiah di atas meja.
“Ayah belum bisa sekolahin kamu jadi dokter,” ia menghela napas panjang.
Kerut-kerut kelelahan tercetak jelas di kedua sudut matanya.
Aku
menggeleng sambil tersenyum tipis. “Mungkin memang Kayla bolehnya jadi
insinyur, Yah. Menolong orang kan nggak melulu harus jadi dokter,” mungkin tak
dapat banyak membantu, tapi aku ingin Ayah tahu bahwa sekolah kedokteran
bukanlah segalanya—walau memang menjadi mimpiku sejak kecil.
“Kalau saja
kita masih seperti dulu, ya,” Ayah tersenyum getir. “Ayah bisa kasih kamu apa
pun yang kamu mau”.
“Kalau
memang bukan jalannya ya, mau sekaya apa pun juga nggak akan jadi, Yah,” aku
mengambil sepotong pisang goreng buatan Ibu, berusaha membuat suasana jadi
lebih santai. Pikiranku mau tak mau kembali ke masa lalu karena ayah
mengungkitnya.
Dulu
keluarga kami jauh lebih mapan dari sekarang. Dulu kami tinggal di sebuah perumahan
elite dengan rumah tiga tingkat yang
dijaga 24 jam oleh satpam. Dulu Ayah dan Ibu punya usaha yang seakan tidak
pernah berhenti mencetak uang.
Dulu.
Tidak mudah
memang ketika semua itu harus berakhir, ketika kami harus pindah ke pinggir
kota dengan rumah yang sederhana. Tidak mudah ketika akhirnya aku harus pindah
ke sekolah dengan harga yang lebih terjangkau. Tidak mudah belajar menyusuri
jalanan ibu kota dengan angkot atau bus TransJakarta. Berganti kebiasaan dari
yang tadinya bisa membeli baju kapan pun aku mau, menjadi harus cukup puas
dengan satu tahun dua kali paling banyak.
Tidak mudah
memang, tapi aku juga tidak ingin memarahi keadaan atau meratapi nasib. Aku
sendiri terkejut dengan diriku. Aku pikir aku akan jatuh dalam keadaan depresi,
tapi ternyata tidak. It’s hard—goddamn
hard, but somehow bearable.
Mungkin
karena kondisi kami yang baru membuatku melihat dan merasa banyak hal. Mungkin
karena usaha Ayah yang bangkrut membuat kami lebih sering makan sekeluarga di
rumah. Mungkin karena Ayah yang lebih sering ada di rumah sekarang membuat aku
sadar bahwa ternyata aku punya ayah yang senang bercanda. Mungkin karena
sekarang sumber bahagiaku bukan lagi dengan menghabiskan uang ketika
jalan-jalan ke luar negeri, melainkan cukup dengan bercerita banyak dan tertawa
banyak bersama ayah dan ibu di rumah.
Dulu aku
memang bahagia. Namun sekarang, ketika aku bahagia, bahagianya justru terasa
lebih bahagia,
Mungkin
karena bahagiaku sekarang tak terukur dengan materi, melainkan dengan sesuatu
yang lebih mahal harganya, seperti pelukan Ayah ketika aku hendak berangkat
sekolah, atau masakan Ibu yang menanti di meja makan.
Sesederhana
itu.
“Karena
sebenarnya banyak hal yang tadinya kita pikir membahagiakan untuk dibeli dengan
uang, ternyata tidak lebih berharga dari hal-hal kecil yang dapat kita peroleh
dengan cuma-cuma”.
kalau sepercik cahaya bisa menerobos masuk lewat tirai yang tertutup, maka kamu pun bisa bahagia |
No comments:
Post a Comment