Thursday, February 16, 2017

selalu ada sepercik cahaya


Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. “Mungkin memang Kayla bolehnya jadi insinyur, Yah. Menolong orang kan nggak melulu harus jadi dokter,” mungkin tak dapat banyak membantu, tapi aku ingin Ayah tahu bahwa sekolah kedokteran bukanlah segalanya—walau memang menjadi mimpiku sejak kecil.

“Kalau saja kita masih seperti dulu, ya,” Ayah tersenyum getir. “Ayah bisa kasih kamu apa pun yang kamu mau”.

“Kalau memang bukan jalannya ya, mau sekaya apa pun juga nggak akan jadi, Yah,” aku mengambil sepotong pisang goreng buatan Ibu, berusaha membuat suasana jadi lebih santai. Pikiranku mau tak mau kembali ke masa lalu karena ayah mengungkitnya.

Dulu keluarga kami jauh lebih mapan dari sekarang. Dulu kami tinggal di sebuah perumahan elite dengan rumah tiga tingkat yang dijaga 24 jam oleh satpam. Dulu Ayah dan Ibu punya usaha yang seakan tidak pernah berhenti mencetak uang.

Dulu.

Tidak mudah memang ketika semua itu harus berakhir, ketika kami harus pindah ke pinggir kota dengan rumah yang sederhana. Tidak mudah ketika akhirnya aku harus pindah ke sekolah dengan harga yang lebih terjangkau. Tidak mudah belajar menyusuri jalanan ibu kota dengan angkot atau bus TransJakarta. Berganti kebiasaan dari yang tadinya bisa membeli baju kapan pun aku mau, menjadi harus cukup puas dengan satu tahun dua kali paling banyak.

Tidak mudah memang, tapi aku juga tidak ingin memarahi keadaan atau meratapi nasib. Aku sendiri terkejut dengan diriku. Aku pikir aku akan jatuh dalam keadaan depresi, tapi ternyata tidak. It’s hard—goddamn hard, but somehow bearable.

Mungkin karena kondisi kami yang baru membuatku melihat dan merasa banyak hal. Mungkin karena usaha Ayah yang bangkrut membuat kami lebih sering makan sekeluarga di rumah. Mungkin karena Ayah yang lebih sering ada di rumah sekarang membuat aku sadar bahwa ternyata aku punya ayah yang senang bercanda. Mungkin karena sekarang sumber bahagiaku bukan lagi dengan menghabiskan uang ketika jalan-jalan ke luar negeri, melainkan cukup dengan bercerita banyak dan tertawa banyak bersama ayah dan ibu di rumah.

Dulu aku memang bahagia. Namun sekarang, ketika aku bahagia, bahagianya justru terasa lebih bahagia,

Mungkin karena bahagiaku sekarang tak terukur dengan materi, melainkan dengan sesuatu yang lebih mahal harganya, seperti pelukan Ayah ketika aku hendak berangkat sekolah, atau masakan Ibu yang menanti di meja makan.

Sesederhana itu.


“Karena sebenarnya banyak hal yang tadinya kita pikir membahagiakan untuk dibeli dengan uang, ternyata tidak lebih berharga dari hal-hal kecil yang dapat kita peroleh dengan cuma-cuma”.

kalau sepercik cahaya bisa menerobos masuk lewat tirai yang tertutup, maka kamu pun bisa bahagia

No comments:

Post a Comment