Aku
terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela kamarku.
Rupanya aku lupa menutup tirai semalam. Masih pukul tujuh pagi, aku melirik
ponsel, lalu menatap langit-langit kamarku.
Masih
terlalu pagi untuk bangun di hari Sabtu, dan… hari kasih sayang.
Valentine.
Aku
menghembuskan napas berat. Seharusnya hari ini jadi hari yang menyenangkan dan
tentu saja romantis.
Seharusnya.
Jika
aku masih bersamanya.
Hatiku
terasa perih. Satu bulan sejak kami memutuskan untuk berhenti, namun rasa sakit
itu masih tetap ada. Kenangan akan momen-momen yang pernah kami lewati bersama
masih kerap hadir dalam mimpi-mimpiku. Suaranya masih sering menghantuiku. Aku
bahkan masih dapat menghirup aromanya pada waktu-waktu tertentu.
Semua udah berakhir, Liandra. Aku
mengingatkan diriku sendiri sebelum air mata mulai memenuhi sudut mataku.
Sebuah
ketukan di pintu kamar mengejutkanku.
“Pagi,
Putri cantik!” Sebuah suara yang dalam dan berat menyapaku riang, wajahnya
menyembul dari balik pintu. Aku tak dapat menahan senyum melihatnya. Ia selalu
mampu mengusir awan-awan kelabu yang berarak di atasku. “Ayo, siap-siap, jangan
tidur terus. Hari ini kita kencan!”
“Kencan?”
Aku bangkit dari posisi tidurku.
“Iya,
kencan. Hari ini hari valentine, kan? Atau kamu sudah punya teman kencan lain?”
Wajahnya berubah muram saat mengucapkan pertanyaan terakhir.
Aku
menggeleng cepat.
“Oke,
kalau begitu, lima belas menit lagi kita berangkat,” Ia kemudian menutup pintu
kamarku.
Lima
belas menit?! Aku buru-buru membuka lemari, mencari pakaian paling cantik yang
dapat kukenakan di hari secerah ini. Pilihanku jatuh pada terusan selutut
bermotif bunga-bunga yang manis.
*
Tiga
puluh menit kemudian kami sudah duduk di sebuah restoran sambil menikmati
sarapan kami. Aku suka restoran ini. Hampir seluruh sisi restoran ini terbuat
dari kaca, membuat sinar matahari pagi menjadi satu-satunya sumber cahaya di
sini. Bagian interiornya yang didominasi oleh kayu membuat tempat ini terkesan
nyaman.
“Kamu
cantik,” Pujinya.
Aku
tersenyum lebar.
“Dira
pasti menyesal udah mutusin kamu”.
Aku
tertawa.
“Kamu
kapok jatuh cinta?” Aku tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari
mulutnya. Topik seperti ini tidak pernah keluar dalam pembicaraan kami.
Aku
berpikir sejenak. Aku tidak tahu. “Mungkin bukan kapok, tapi belum siap untuk
memulai yang baru”.
Ia
tersenyum lembut. Senyum yang selalu mampu menenangkanku. Bersamanya aku selalu
merasa aman, bersamanya aku selalu merasa dapat menceritakan apa pun. Ia
mengangguk paham. “Jangan pernah takut untuk jatuh cinta, Liandra. Tapi ingat,
saat kamu jatuh cinta, kamu menjadi rapuh, dan saat itu, kamu harus siap untuk
terluka. Mencintai seseorang itu menyenangkan, tapi kamu juga harus siap untuk
hal-hal tidak menyenangkan yang menyertainya, kamu harus siap untuk berkorban,
bahkan kamu harus siap untuk merasa sakit”.
Aku
mengangguk. “Aku cuma nggak nyangka rasanya sesakit ini”.
Sosok
di hadapanku tertawa renyah. “Time heals,
Liandra. Suatu hari nanti kamu akan siap untuk memulai kisah yang baru. Dan
sementara itu, sampai kamu siap, ada Ayah di sini”.
Aku
tersenyum menatapnya. Betapa beruntungnya aku memilikinya, orang yang selalu
mendukungku, membiarkanku mencoba, dan menangkapku saat aku jatuh.
“Terima
kasih, Ayah”.
Aku
tidak akan melupakan hari ini.
Kencan
pertamaku dengan Ayah.
picturetakenfrom:pinterest.com |
No comments:
Post a Comment